Benarkah Jokowi Effect Basi? IHSG Sulit Naik Jelang Dilantik

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
16 October 2019 14:43
Janji Manis Tak Terealisasi
Foto: Presiden RI Jokowi (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Mundur ke tahun 2014, pelaku pasar saham tanah air begitu mengapresiasi terpilihnya Jokowi karena pada saat itu, mantan Wali Kota Solo tersebut menjanjikan gebrakan dengan anggaran raksasa untuk membangun infrastruktur.

Pembangunan infrastruktur secara masif diharapkan bisa mendorong laju perekonomian secara signifikan lantaran berbagai sumber daya yang ada di Bumi Pertiwi akan bisa dimanfaatkan secara maksimal.

Saking optimisnya, Jokowi bahkan mematok target pertumbuhan ekonomi di level 7% dalam masa kampanyenya. Wajar jika investor kemudian melakukan aksi beli dengan intensitas yang besar di pasar saham begitu Jokowi terpilih sebagai presiden dan menjelang pelantikan.

Kala perekonomian melaju dengan pesat, pendapatan dari perusahaan-perusahaan yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) akan terkerek naik. Valuasi pun meningkat sehingga bisa menjustifikasi aksi beli yang dilakukan pelaku pasar.

Namun nyaris tuntas periode pertamanya sebagai pemimpin tertinggi di negara ini, tak ada ceritanya janji manis itu terealisasi. Tak usahlah kita berbicara mengenai pertumbuhan ekonomi sebesar 7%, keluar dari batas bawah 5% saja kita tidak bisa.

Melansir data Refinitiv, pada tahun 2015 atau tahun pertama di mana Jokowi menjabat penuh sebagai presiden, pertumbuhan ekonomi justru longsor ke angka 4,79%. Selepas itu, pertumbuhan ekonomi selalu nyaman berada di batas bawah 5%.

Teranyar, pada awal Agustus, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka pertumbuhan ekonomi periode kuartal II-2019. Sepanjang tiga bulan kedua tahun 2019, BPS mencatat perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,05% secara tahunan (year-on-year/YoY), jauh melambat dibandingkan capaian kuartal II-2018 kala perekonomian mampu tumbuh sebesar 5,27%.

Pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan kedua tahun 2019 juga melambat jika dibandingkan capaian pada kuartal I-2019 yang sebesar 5,07%. Untuk periode semester I-2019, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,06% YoY.

Oh ya, pertumbuhan ekonomi di era Jokowi juga kerap kali berada di bawah target yang dicanangkan di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ataupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) yang jauh lebih konservatif ketimbang janji manisnya kala berkampanye yang sebesar 7%.

Sedikit mundur ke tahun 2017, perekonomian ditargetkan tumbuh sebesar 5,1% dalam APBN. Pemerintah kemudian seakan menyombongkan diri dengan menaikkan targetnya menjadi 5,2% dalam APBNP 2017. Padahal, biasanya target pertumbuhan ekonomi dalam APBNP justru diturunkan. Realisasinya, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,07% pada tahun 2017.

Pada tahun 2018, perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,17%. Padahal, pemerintah mematok target sebesar 5,4%. Ada selisih yang sangat jauh antara target dan realisasi.

Untuk diketahui, sekuritas-sekuritas besar berbendera asing kini memproyeksikan bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh di bawah 5% pada tahun 2019.

Melansir konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg, JPMorgan Chase memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 4,9% pada tahun ini, sementara Deutsche Bank menaruh proyeksinya di level 4,8%.

Selain karena optimisme yang sudah tak setingi dulu terhadap pemerintahan Jokowi, pelaku pasar juga tak kelewat gencar melakukan aksi beli di pasar saham tanah air menjelang pelantikan lantaran mereka menunggu pengumuman susunan kabinet dari Jokowi.

Kini, ada kemungkinan bahwa Partai Gerindra yang diketuai oleh Prabowo Subianto akan bergabung ke koalisi Jokowi. Untuk diketahui, belum lama ini Jokowi dan Prabowo yang merupakan lawannya dalam kontestasi Pilpres 2019 sudah bertemu secara empat mata guna membahas hal tersebut.

Selepas bertemu Prabowo, Jokowi mengonfirmasi kemungkinan Gerindra bergabung ke dalam koalisi pemerintah Jokowi-Ma'ruf Amin. Namun, menurut Jokowi, semua itu belumlah final, tergantung dinamika yang ada.

Berdasarkan informasi yang dihimpun CNBC Indonesia, masuknya Gerindra ke dalam koalisi pemerintah Jokowi-Ma'ruf tidaklah gratis. Partai berlambang Burung Garuda itu disebut-sebut meminta jatah tiga kursi menteri antara lain menteri pertanian.

Jika Partai Gerindra benar berlabuh ke kubu pemerintah, kemungkinan besar bagi-bagi kursi di kabinet semakin kencang. Sebelum Partai Gerindra Bergabung saja, koalisi Jokowi untuk periode dua sudah lebih gemuk ketimbang periode satu.

Ada kekhawatiran dari pelaku pasar bahwa racikan kabinet di periode kedua pemerintahan Jokowi menjadi kurang ciamik lantaran dibebani banyaknya partai yang meminta jatah kursi menteri.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(ank/hps)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular