
Benarkah Jokowi Effect Basi? IHSG Sulit Naik Jelang Dilantik

Jakarta, CNBC Indonesia - Efek terpilihnya Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden tampaknya sudah mulai tak ada bagi pelaku pasar saham. Selepas gelaran pemilihan presiden (Pilpres) 2019, kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) justru terbilang mengecewakan.
Sekedar mengingatkan, Pilpres pada tahun ini digelar berbarengan dengan pemilihan anggota legislatif, yakni pada 17 April 2019. Pada hari itu juga, hasil hitung cepat dari berbagai lembaga kompak memenangkan pasangan calon nomor urut 01 yakni Jokowi- Ma'ruf Amin.
Jika kita mundur ke Pilpres tahun 2014 yang digelar pada tanggal 9 Juli, IHSG membukukan apresiasi sebesar 1,46% sehari setelahnya (10 Juli 2014). Kenaikan pasar saham merespons kemenangan Jokowi dikenal dengan istilah Jokowi effect.
Jika dibandingkan dengan kinerja IHSG yang hanya naik tipis 0,4% pada tanggal 18 April 2019 (sehari setelah Pilpres 2019), di sini saja Jokowi effect bisa dibilang sudah agak 'basi'.
Jika ditarik lebih jauh lagi, semakin terkonfirmasi bahwa Jokowi sudah agak 'basi' bagi pasar saham. Terhitung dalam 46 hari perdagangan di bursa saham tanah air pasca Pilpres 2019, IHSG membukukan koreksi sebesar 1,49%. Sementara itu, dalam 46 hari perdagangan pertama pasca Pilpres 2014, IHSG melejit hingga 3,65%.
Kini menjelang pelantikan presiden dan wakil presiden, fenomena serupa bisa didapati kembali. Untuk diketahui, pelantikan pelantikan presiden dan wakil presiden akan digelar pada hari Minggu (20/10/2019).
Mundur ke tahun 2014 kala pelantikan Jokowi juga digelar pada tanggal 20 Oktober, dalam lima hari perdagangan terakhir menjelang tanggal 20 Oktober 2014, IHSG melejit sebesar 1,33%. Sementara itu, dalam dua hari perdagangan pertama di pekan ini, IHSG baru menguat 0,86%.
Memang, masih ada sisa tiga hari lagi bagi IHSG untuk mencoba menyamai capaian menjelang pelantikan presiden tahun 2014. Namun, agaknya sulit bagi IHSG untuk mengalahkan capaian tahun 2014. Pasalnya pada perdagangan hari ini, Rabu (16/10/2019), IHSG justru melemah sebesar 0,15% per akhir sesi satu.
IHSG melemah pada perdagangan hari ini kala mayoritas bursa saham utama kawasan Asia justru sedang melaju di zona hijau: indeks Nikkei melejit 1,24%, indeks Hang Seng naik 0,01%, indeks Straits Times terapresiasi 0,6%, dan indeks Kospi bertambah 0,5%.
Adalah fundamental rupiah yang rapuh yang membuat IHSG tak bisa berkutik pada hari ini. Hingga siang hari, rupiah melemah 0,11% melawan dolar AS di pasar spot ke level Rp 14.175/dolar AS. Jika tak juga mampu membalikkan keadaan, maka rupiah akan melemah selama tiga hari beruntun.
Rilis data perdagangan international periode September 2019 masih menjadi momok bagi rupiah. Kemarin (15/10/2019), Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa ekspor jatuh sebesar 5,74% secara tahunan (year-on-year) pada bulan lalu, sementara impor turun 2,41% YoY.
Penurunan ekspor lebih rendah ketimbang konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan ekspor akan jatuh hingga 6,1% secara tahunan. Sementara itu, kontraksi pada pos impor lebih baik karena konsensus memperkirakan kontraksinya akan mencapai 4,5%.
Namun begitu, neraca dagang pada bulan lalu membukukan defisit senilai US$ 160 juta, berbanding terbalik dengan konsensus yang memperkirakan adanya kehadiran surplus senilai US$ 104,2 juta.
Dengan adanya defisit neraca dagang yang mengejutkan tersebut, dikhawatirkan bahwa defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit (CAD) masih akan bengkak pada kuartal-III 2019.
Untuk diketahui, pada kuartal I-2019 Bank Indonesia (BI) mencatat CAD berada di level 2,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB), jauh lebih dalam ketimbang CAD pada kuartal I-2018 yang berada di level 2,01% dari PDB. Kemudian pada kuartal II-2019, CAD membengkak menjadi 3,04% dari PDB. CAD pada tiga bulan kedua tahun ini juga lebih dalam ketimbang capaian pada periode yang sama tahun lalu di level 3,01% dari PDB.
BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> Janji Manis Tak Terealisasi
Mundur ke tahun 2014, pelaku pasar saham tanah air begitu mengapresiasi terpilihnya Jokowi karena pada saat itu, mantan Wali Kota Solo tersebut menjanjikan gebrakan dengan anggaran raksasa untuk membangun infrastruktur.
Pembangunan infrastruktur secara masif diharapkan bisa mendorong laju perekonomian secara signifikan lantaran berbagai sumber daya yang ada di Bumi Pertiwi akan bisa dimanfaatkan secara maksimal.
Saking optimisnya, Jokowi bahkan mematok target pertumbuhan ekonomi di level 7% dalam masa kampanyenya. Wajar jika investor kemudian melakukan aksi beli dengan intensitas yang besar di pasar saham begitu Jokowi terpilih sebagai presiden dan menjelang pelantikan.
Kala perekonomian melaju dengan pesat, pendapatan dari perusahaan-perusahaan yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) akan terkerek naik. Valuasi pun meningkat sehingga bisa menjustifikasi aksi beli yang dilakukan pelaku pasar.
Namun nyaris tuntas periode pertamanya sebagai pemimpin tertinggi di negara ini, tak ada ceritanya janji manis itu terealisasi. Tak usahlah kita berbicara mengenai pertumbuhan ekonomi sebesar 7%, keluar dari batas bawah 5% saja kita tidak bisa.
Melansir data Refinitiv, pada tahun 2015 atau tahun pertama di mana Jokowi menjabat penuh sebagai presiden, pertumbuhan ekonomi justru longsor ke angka 4,79%. Selepas itu, pertumbuhan ekonomi selalu nyaman berada di batas bawah 5%.
Teranyar, pada awal Agustus, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka pertumbuhan ekonomi periode kuartal II-2019. Sepanjang tiga bulan kedua tahun 2019, BPS mencatat perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,05% secara tahunan (year-on-year/YoY), jauh melambat dibandingkan capaian kuartal II-2018 kala perekonomian mampu tumbuh sebesar 5,27%.
Pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan kedua tahun 2019 juga melambat jika dibandingkan capaian pada kuartal I-2019 yang sebesar 5,07%. Untuk periode semester I-2019, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,06% YoY.
Oh ya, pertumbuhan ekonomi di era Jokowi juga kerap kali berada di bawah target yang dicanangkan di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ataupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) yang jauh lebih konservatif ketimbang janji manisnya kala berkampanye yang sebesar 7%.
Sedikit mundur ke tahun 2017, perekonomian ditargetkan tumbuh sebesar 5,1% dalam APBN. Pemerintah kemudian seakan menyombongkan diri dengan menaikkan targetnya menjadi 5,2% dalam APBNP 2017. Padahal, biasanya target pertumbuhan ekonomi dalam APBNP justru diturunkan. Realisasinya, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,07% pada tahun 2017.
Pada tahun 2018, perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,17%. Padahal, pemerintah mematok target sebesar 5,4%. Ada selisih yang sangat jauh antara target dan realisasi.
Untuk diketahui, sekuritas-sekuritas besar berbendera asing kini memproyeksikan bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh di bawah 5% pada tahun 2019.
Melansir konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg, JPMorgan Chase memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 4,9% pada tahun ini, sementara Deutsche Bank menaruh proyeksinya di level 4,8%.
Selain karena optimisme yang sudah tak setingi dulu terhadap pemerintahan Jokowi, pelaku pasar juga tak kelewat gencar melakukan aksi beli di pasar saham tanah air menjelang pelantikan lantaran mereka menunggu pengumuman susunan kabinet dari Jokowi.
Kini, ada kemungkinan bahwa Partai Gerindra yang diketuai oleh Prabowo Subianto akan bergabung ke koalisi Jokowi. Untuk diketahui, belum lama ini Jokowi dan Prabowo yang merupakan lawannya dalam kontestasi Pilpres 2019 sudah bertemu secara empat mata guna membahas hal tersebut.
Selepas bertemu Prabowo, Jokowi mengonfirmasi kemungkinan Gerindra bergabung ke dalam koalisi pemerintah Jokowi-Ma'ruf Amin. Namun, menurut Jokowi, semua itu belumlah final, tergantung dinamika yang ada.
Berdasarkan informasi yang dihimpun CNBC Indonesia, masuknya Gerindra ke dalam koalisi pemerintah Jokowi-Ma'ruf tidaklah gratis. Partai berlambang Burung Garuda itu disebut-sebut meminta jatah tiga kursi menteri antara lain menteri pertanian.
Jika Partai Gerindra benar berlabuh ke kubu pemerintah, kemungkinan besar bagi-bagi kursi di kabinet semakin kencang. Sebelum Partai Gerindra Bergabung saja, koalisi Jokowi untuk periode dua sudah lebih gemuk ketimbang periode satu.
Ada kekhawatiran dari pelaku pasar bahwa racikan kabinet di periode kedua pemerintahan Jokowi menjadi kurang ciamik lantaran dibebani banyaknya partai yang meminta jatah kursi menteri.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article Pasca libur Lebaran, IHSG Rontok 4,42% ke Bawah 7.000