
Kemesraan AS-China Bawa IHSG ke Zona Hijau, Bertahankah?
Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
14 October 2019 09:41

Bank investasi kenamaan dunia, Morgan Stanley, mengatakan kesepakatan dagang parsial antara Washington dan Beijing adalah pengaturan yang “tidak pasti” dan tidak terlihat jalan keluar untuk mengurangi tarif yang sudah berlaku sekitar 15 bulan terakhir, dilansir dari CNBC International.
Negeri Paman Sam memang setuju untuk menunda kenaikan bea masuk atas produk asal Negeri Tiongkok senilai US$ 250 miliar, dari 25% menjadi 30% yang seharusnya mulai berlaku besok (15/10/2019).
Meskipun demikian pemerintahan Trump belum memberikan putusan yang sama pada barang-barang yang akan kena tarif tambahan di Desember. Sebelumnya pada 15 Desember nanti, produk seperti ponsel, laptop, mainan dan pakaian asal China akan kena tarif tambahan hingga 15%.
Oleh karena itu, Morgan Stanley menekankan bahwa tanpa mekanisme penyelesaian sengketa untuk periode jangka panjang, babak baru kenaikan tarif tidak dapat dikesampingkan.
“Belum ada jalan yang layak untuk penurunan tarif yang ada, dan kenaikan tarif tetap menjadi resiko yang berarti,” tulis bank tersebut dalam sebuah catatan.
“Jadi, kami belum mengharapkan rebound yang berarti dalam perilaku perusahaan yang akan mendorong ekspektasi pertumbuhan global yang lebih tinggi,” tambah catatan tersebut.
Resiko friksi dagang AS-China yang berpotensi kembali tereskalasi sebenarnya tersirat dalam pernyataan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin yang menekankan masih banyak tugas rumah yang belum diselesaikan.
"Saya pikir kami telah memiliki pemahaman yang fundamental terkait beberapa isu kunci. Kami sudah sampai pada hal-hal signifikan, tapi masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan," katanya.
"Kami tidak akan menandatangani perjanjian kecuali kami mendapat dan bisa mengatakan pada presiden kalau hal tersebut sudah ada di atas kertas".
Analis juga khawatir bahwa karena teks perjanjian belum ditandatangani kedua belah pihak, berarti kesepakatan sejatinya belum tercapai.
"Saya tidak yakin menyebut apa yang diumumkan Presiden Trump sebagai sebuah perjanjian yang benar," kata pakar perdagangan China di Pusat Studi Strategis dan Internasional Washington Scott Kenneddy.
"Jika mereka tidak bisa menyetujui teks, itu berarti mereka belum selesai,” tambah Kenneddy.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(dwa/tas)
Negeri Paman Sam memang setuju untuk menunda kenaikan bea masuk atas produk asal Negeri Tiongkok senilai US$ 250 miliar, dari 25% menjadi 30% yang seharusnya mulai berlaku besok (15/10/2019).
Meskipun demikian pemerintahan Trump belum memberikan putusan yang sama pada barang-barang yang akan kena tarif tambahan di Desember. Sebelumnya pada 15 Desember nanti, produk seperti ponsel, laptop, mainan dan pakaian asal China akan kena tarif tambahan hingga 15%.
Oleh karena itu, Morgan Stanley menekankan bahwa tanpa mekanisme penyelesaian sengketa untuk periode jangka panjang, babak baru kenaikan tarif tidak dapat dikesampingkan.
“Belum ada jalan yang layak untuk penurunan tarif yang ada, dan kenaikan tarif tetap menjadi resiko yang berarti,” tulis bank tersebut dalam sebuah catatan.
“Jadi, kami belum mengharapkan rebound yang berarti dalam perilaku perusahaan yang akan mendorong ekspektasi pertumbuhan global yang lebih tinggi,” tambah catatan tersebut.
Resiko friksi dagang AS-China yang berpotensi kembali tereskalasi sebenarnya tersirat dalam pernyataan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin yang menekankan masih banyak tugas rumah yang belum diselesaikan.
"Saya pikir kami telah memiliki pemahaman yang fundamental terkait beberapa isu kunci. Kami sudah sampai pada hal-hal signifikan, tapi masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan," katanya.
"Kami tidak akan menandatangani perjanjian kecuali kami mendapat dan bisa mengatakan pada presiden kalau hal tersebut sudah ada di atas kertas".
Analis juga khawatir bahwa karena teks perjanjian belum ditandatangani kedua belah pihak, berarti kesepakatan sejatinya belum tercapai.
"Saya tidak yakin menyebut apa yang diumumkan Presiden Trump sebagai sebuah perjanjian yang benar," kata pakar perdagangan China di Pusat Studi Strategis dan Internasional Washington Scott Kenneddy.
"Jika mereka tidak bisa menyetujui teks, itu berarti mereka belum selesai,” tambah Kenneddy.
TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages
Most Popular