Bagaimana Arah Fed Funds Rate Akhir Oktober? Ini 5 Faktornya

Irvin Avriano Arief, CNBC Indonesia
14 October 2019 10:10
Bagaimana Arah Fed Funds Rate Akhir Oktober? Ini 5 Faktornya
Foto: Gubernur bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve, Jerome Powell
Jakarta, CNBC Indonesia - Inflasi September Amerika Serikat (AS) yang diumumkan 1,7% menjadi salah satu faktor yang menentukan arah kebijakan bank sentral AS (The Federal Reserve/ The Fed) untuk mengambil langkah moneter pamungkas, yaitu penentuan suku bunga acuan mereka, Fed Funds Rate (FFR).

Jerome 'Jay' Powell, Gubernur The Fed, dijadwalkan akan mengetok palu suku bunga pada pada 30 Oktober, di mana pelaku pasar global yang memprediksi lebih besar kemungkinan adanya penurunan suku bunga sebesar dengan probabilitas 74,3%, seperti yang termuat di piranti Fedwatch milik CME Group.

Selebihnya yaitu yang memprediksi suku bunga acuan akan tetap di level saat ini hanya 25,7%. Suku bunga acuan Negara Adidaya tersebut saat ini masih berada di rentang 1,75%-2% sekarang, sudah turun dari 2,25%-2,5% pada Juni.

Data Inflasi AS Sudah Keluar, Bagaimana Arah Fed Funds Rate?Foto: Jerome Powell (REUTERS/Erin Scott)

Inflasi September tersebut masih stagnan dari 1,7% juga pada bulan sebelumnya dan trennya cenderung turun dari 2,8% pada pertengahan 2018, yang turut menjadi posisi tertinggi setidaknya sejak 2012 silam.

Inflasi yang stagnan tersebut mencirikan bahwa harga-harga barang tidak naik atau stagnan dibanding bulan yang sama tahun sebelumnya. Selain itu, inflasi yang stagnan dan masih memiliki tren penurunan dapat menjadi salah satu indikator sekaligus kondisi ekonomi AS sedang tidak baik-baik saja dan kegiatan ekonominya melambat.


Belum lagi, saat ini hubungan The Fed dan Presiden AS Donald Trump sedang saling sindir, bahkan saling serang.

Pekan lalu, Powell menyatakan pendahulunya di The Fed yaitu Marriner Eccles merupakan manusia paling berjasa dalam membuat bank sentral AS independen dengan tujuan utama perekonomian negara, tanpa adanya tekanan politik. Eccles adalah pimpinan The Fed pada medio 1934-1948.

Selama ini, Trump memaksa The Fed untuk agresif menurunkan suku bunga sehingga dapat memicu lebih banyak likuiditas di sistem keuangan Negeri Paman Sam, dan juga dunia, dengan alasan utama kondisi pasar yang sangat membutuhkan.

Pada dasarnya, penurunan suku bunga acuan bertujuan akhir membanjiri pasar sehingga tingkat usaha dan nantinya aktivitas konsumsi publik akan meningkat dan memutar roda ekonomi sehingga lebih kencang lagi berputar. Perputaran itulah yang akan membuat harga naik karena kebutuhan yang sudah terpicu.


Namun, Powell dan sejawatnya di The Fed juga tidak ingin gegabah dan berusaha bersikap independen serta lebih sabar menunggu data-data ekonomi dan tidak terlalu mengindahkan ancaman Trump dan keinginan pelaku pasar yang tentu sangat garang dalam mendesak penurunan suku bunga.

Jika ternyata tanda-tanda perlambatan ekonomi merupakan alarm palsu (false alarm), maka jika suku bunga ditekan terlalu dalam malah justru akan terjadi overheating karena kenaikan harga barang-barang atau inflasi akan liar dan merusak daya beli masyarakat.

Dengan pengumuman inflasi pada 10 Oktober yang kurang membahagiakan pasar keuangan kemarin, tentu membuka peluang bagi bank sentral AS yaitu The Fed untuk kembali menurunkan suku bunga acuan mereka pada 30 Oktober nanti.


LANJUT HALAMAN 2: Simak 5 faktor yang pengaruhi FFR


Meski demikian, untuk menggunakan senjata moneter terakhir yaitu penurunan suku bunga, sebetulnya ada beberapa indikator lain yang perlu disimak lagi oleh pasar.

Faktor yang paling utama dan pertama, adalah kondisi perang dagang AS dengan China, atau dengan Eropa, dengan negara lain, atau kondisi global lain.


Jika kondisi global, baik dari sisi ekonomi, politik, dan keamanan tidak kondusif bagi AS, maka tentu akan menekan kondisi di dalam Negeri Paman Sam akan semakin berkontraksi dan membuat kondisi tidak kondusif. Jika kontraksi tetap terjadi, maka alasan The Fed untuk penurunan suku bunga tentu semakin besar.

Karena itu, setiap perkembangan perundingan akan sangat menjadi perhatian pelaku pasar dan dunia, yang tentunya akan menentukan langkah mereka selanjutnya.

Kedua, faktor kedua inflasi, yang datanya keluar pada 19 September lalu dan menjadi dorongan bagi diturunkannya suku bunga acuan.

Faktor ketiga, adalah angka tenaga kerja non-pertanian (non-farm payroll) September yang sudah keluar pada 4 Oktober. Data tersebut menunjukkan pertumbuhan tenaga kerja melambat, yaitu menjadi hanya 136.000 orang, di bawah bulan sebelumnya 168.000 orang sekaligus ekspektasi pelaku pasar yang 'kadung' memprediksi 145.000 orang.

Keempat, adalah faktor paling dihindari pasar saat ini, yaitu jika Trump mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang dapat mengacaukan seluruh kondisi ekonomi, sosial, dan keamanan yang sebelumnya sudah dinanti-nantikan.

Salah satu manuver terakhir dari Trump yang "entah dari mana" adalah ketika menjatuhkan sanksi kepada 28 perusahaan China pada 9 Oktober. Mereka dimasukkan ke daftar entitas yang dipantau Kementerian Keuangan AS dan dilarang berhubungan bisnis dengan entitas AS, kecuali seizin Washington DC.


Padahal, perundingan yang dinanti-nanti pasar akan terjadi sehari setelah pengenaan sanksi, atau 10 Oktober. Demikian juga dengan sanksi terhadap beberapa pejabat China atas tuduhan melakukan pelanggaran hak asasi manusia kepada kelompok etnis minoritas muslim Uighur dan lainnya di Xinjiang.

Hal tersebut justru disambut dengan Retaliasi Versi II oleh China yang bukannya mundur, tetap malah meluncurkan sanksi balasan yaitu rencana pengetatan pemberian visa bagi warga negara AS, terutama yang memiliki hubungan dengan kelompok-kelompok anti-China.

Sebagai faktor tambahan sekaligus penentu karena menjadi poin kelima, pekan ini AS justru membuka opsi untuk melakukan pembelian (buyback) obligasi pemerintah (US Treasury) dari pasar. Harapannya adalah untuk bank sentral dapat menyuntikkan likuiditas ke pasar keuangan tanpa perlu menurunkan suku bunga.

Langkah tersebut melengkapi kebijakan sebelumnya yaitu gadai (repo) obligasi milik perbankan sehingga dana peminjaman bank sentral dapat disalurkan kepada sistem keuangan melalui jalur kredit perbankan, yang juga menjadi jamu ringan untuk mengurangi tekanan kredit di masyarakat.

Jika jamu tadi berhasil membuat obat mujarab si suku bunga akhirnya berhasil ditahan kembali dan belum dinilai perlu, maka jangan gundah dulu. Karena kalaupun benar jika suku bunga AS stagnan, maka itu artinya kondisi ekonomi AS belum terlalu sakit.

Sebaliknya, jika Fed Fund Rate turun, jangan terlalu bersenang-senang juga karena jika obat paling mujarab sudah dikeluarkan maka penyakit yang sudah melanda tentu bukanlah hanya flu biasa, sehingga kesembuhan totalnya dari kondisi ekonomi akan lebih menantang lagi ke depannya.

Demi melihat dua dari lima indikator sudah negatif dan satu faktor tambahan yaitu rencana buyback The Fed, maka akan lebih mudah untuk memprediksi kondisi ekonomi AS stabil. Dus, The Fed tidak perlu memangkas suku bunga dan bisa mengambil langkah moneter lain yang dosisnya lebih kecil sembari memantau intensif perkembangan dunia.

Diharapkan, kondisi itu justru akan membuat pasar keuangan nyaman, asalkan tidak terlalu banyak guncangan dari faktor lain yang datang dan merusak kondisi pasar.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular