Ada yang Tahan IHSG di Level 6.000, Sempat Ambruk Lebih 1%

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
07 October 2019 16:44
Ada yang Tahan IHSG di Level 6.000, Sempat Ambruk Lebih 1%
Foto: Gedung Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Mengawali perdagangan pertama di pekan ini, Senin (7/10/2019), dengan apresiasi sebesar 0,27%, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat bertahan di zona hijau sekitar 1,5 jam. Namun kemudian, IHSG merosot ke zona merah dan tak bisa bangkit lagi.

Per akhir sesi satu, indeks saham acuan di Indonesia tersebut melemah 0,5% ke level 6.031,01. Per akhir sesi dua, koreksi IHSG sudah bertambah dalam menjadi 1% ke level 6.000,58. IHSG kian dekat untuk ditutup di bawah level psikologis 6.000.

IHSG melemah kala mayoritas bursa saham utama kawasan Asia ditransaksikan di zona hijau: indeks Straits Times menguat 0,76%, indeks Kospi naik 0,05%, sementara indeks Nikkei terkontraksi 0,16%.

Perdagangan di bursa saham Asia pada hari ini kurang ramai, seiring dengan diliburkannya perdagangan di bursa saham China dan Hong Kong. Bursa saham China diliburkan guna memperingati 70 tahun lahirnya Republik Rakyat China, sementara perdagangan di bursa saham Hong Kong diliburkan seiring dengan perayaan Chung Yeung Festival. 

Sentimen yang menyelimuti perdagangan hari ini memang sejatinya terbilang negatif. Pertama, ada potensi bahwa perang dagang AS-China akan tereskalasi. Untuk diketahui, pada hari Kamis (10/10/2019) AS dan China dijadwalkan untuk mulai menggelar negosiasi dagang tingkat tinggi di Washington.

Namun, ada hawa yang tak mengenakan menjelang negosiasi dagang tingkat tinggi yang begitu dinanti-nantikan tersebut. Pemberitaan dari Bloomberg menyebut bahwa pejabat pemerintahan China telah memberi sinyal bahwa Beijing enggan untuk menyetujui kesepakatan dagang secara menyeluruh seperti yang diinginkan oleh Presiden AS Donald Trump.

Dalam pertemuan dengan perwakilan dari AS dalam beberapa minggu terakhir di Beijing, pejabat senior dari China telah mengindikasikan bahwa kini, materi-materi yang bersedia didiskusikan oleh pihak China dalam negosiasi dagang tingkat tinggi telah menyempit, seperti dilansir oleh Bloomberg dari orang-orang yang mengetahui masalah tersebut.

Lebih lanjut, pemberitaan dari Bloomberg menyebut bahwa Wakil Perdana Menteri China Liu He telah menginformasikan kepada pihak AS bahwa dirinya akan membawa proposal kesepakatan dagang ke Washington yang tak memasukkan komitmen untuk merubah praktek pemberian subsidi terhadap perusahaan-perusahaan asal China.

Padahal, praktek pemberian subsidi terhadap perusahaan-perusahaan asal China oleh pemerintah merupakan salah satu hal yang sangat ingin diubah oleh AS. Kalau diingat, bahkan hal ini merupakan salah satu faktor yang melandasi meletusnya perang dagang antar kedua negara. 

Dengan sikap China yang kembali keras, tentu potensi eskalasi perang dagang AS-China menjadi risiko yang tak bisa dianggap sepele.

Kedua, ada perang dagang AS-Uni Eropa yang sudah di depan mata. Belum juga perang dagang AS-China beres, kini AS selaku negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia malah memanaskan hubungan dagang dengan blok ekonomi terbesar di dunia.

Pada pekan lalu, Kantor Perwakilan Dagang AS merilis daftar produk impor asal Uni Eropa yang akan dikenakan tambahan bea masuk. Tambahan bea masuk tersebut terbagi dalam dua level, yakni 10% dan 25%. Pesawat terbang, kopi, daging babi, hingga mentega termasuk ke dalam daftar produk yang disasar AS.

Daftar produk tersebut dirilis pasca AS memenangkan gugatan di World Trade Organization (WTO). AS menggugat Uni Eropa ke WTO lantaran Uni Eropa dianggap telah memberikan subsidi secara ilegal kepada Airbus, pabrikan pesawat terbang asal Benua Biru. Dampak dari subsidi ilegal tersebut adalah pabrikan pesawat asal AS, Boeing, menjadi kurang kompetitif. WTO memberikan hak kepada pemerintahan Presiden Donald Trump untuk mengenakan bea masuk tambahan terhadap produk impor asal Uni Eropa senilai US$ 7,5 miliar.

Berang dengan keputusan AS, Uni Eropa membuka ruang untuk membebankan bea masuk balasan terhadap produk impor asal AS.

Ketiga, sentimen negatif bagi pasar saham Asia datang dari ketegangan di Semenanjung Korea. Negosiasi antara negosiator tingkat tinggi Korea Utara dan AS yang dilakukan di Swedia pada hari Sabtu (5/10/2019) berakhir dengan buruk dan membuat prospek perdamaian antar kedua negara menjadi memudar.

Padahal, sebelumnya ada optimisme bahwa negosiasi ini akan membuka jalan untuk mengakhiri perselisihan kedua negara. Untuk diketahui, AS telah lama mendesak Korea Utara untuk melakukan denuklirisasi, sementara Korea Utara meminta penghentian embargo di bidang ekonomi.

Kepala Negosiator Nuklir Korut, Kim Myong Gil, menghabiskan sebagian besar hari Sabtu dalam pembicaraan dengan delegasi Amerika. Namun, dirinya menyalahkan sikap AS yang dinilai cenderung tidak fleksibel dan tak mau melepaskan sudut pandang lama mereka.

"Negosiasi belum memenuhi harapan kami dan akhirnya putus," kata Kim kepada wartawan di luar kedutaan Korea Utara, berbicara melalui seorang penerjemah, dikutip dari CNBC International.

AS pun berkilah. Departemen Luar Negeri AS justru mengatakan bahwa komentar Republik Rakyat Demokratik Korea (DPRK) itu tidak mencerminkan "isi atau semangat" dari pembicaraan yang berlangsung setidaknya delapan setengah jam tersebut, dan Washington telah menerima undangan Swedia untuk kembali ke negara tersebut untuk melanjutkan diskusi lebih lanjut dengan Pyongyang dalam 2 minggu ke depan.

"AS membawa ide-ide kreatif dan berdiskusi dengan rekan-rekan dari DPRK," kata juru bicara pemerintah AS Morgan Ortagus dalam sebuah pernyataan, dikutip dari CNBC International.

Ortagus mengatakan delegasi AS telah meninjau sejumlah inisiatif baru yang akan membuka jalan bagi kemajuan dalam pembicaraan kedua negara, serta menggarisbawahi pentingnya keterlibatan yang lebih intensif untuk menyelesaikan banyak masalah antara Korut dan AS.

"AS dan DPRK tidak akan mengatasi warisan perang dan permusuhan 70 tahun di Semenanjung Korea melalui satu hari Sabtu saja. Ini adalah masalah yang berat dan membutuhkan komitmen yang kuat dari kedua negara. AS memiliki komitmen itu," katanya.

Pada Sabtu malam, Kim Myong Gil menuduh AS tidak berniat menyelesaikan perbedaan-perbedaan yang ada melalui dialog sembari menegaskan bawa denukrilisasi Semenanjung Korea bisa dilakukan, namun dengan catatan sanksi terhadap perekonomian Korea Utara bisa dihilangkan.

"Ketika semua hambatan yang mengancam keselamatan Korea Utara dan membatasi perkembangan kami dihilangkan sepenuhnya tanpa bayang-bayang keraguan," ujarnya.

BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> Lagi dan Lagi, Saham Konsumer Babak Belur

Saham-saham konsumer yang kembali babak belur membebani langkah IHSG pada awal pekan. Untuk diketahui, dalam enam hari perdagangan sebelumnya indeks sektor barang konsumsi selalu menutup hari di zona merah. Jika ditotal, koreksi dalam enam hari tersebut adalah sebesar 3,12%.

Pada perdagangan hari ini, indeks sektor barang konsumsi kembali melemah, yakni sebesar 1,47%.

Saham-saham konsumer terus dilego pelaku pasar seiring dengan anggapan bahwa daya beli masyarakat Indonesia sedang berada di posisi yang lemah.

Pada pekan lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka inflasi periode September 2019. Sepanjang bulan lalu, BPS mencatat bahwa Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,27% secara bulanan (month-on-month/MoM), sementara inflasi secara tahunan (year-on-year/YoY) berada di level 3,39%. Deflasi tersebut lebih dalam dibandingkan dengan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia yang memproyeksikan deflasi sebesar 0,15% saja secara bulanan. 

Sebelumnya pada periode Agustus, BPS mencatat terjadi inflasi sebesar 0,12% secara bulanan, sementara inflasi secara tahunan berada di level 3,49%. Capaian tersebut berada di bawah konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan inflasi secara bulanan berada di level 0,16% dan inflasi secara tahunan berada di level 3,54%.

Untuk diketahui, tanda-tanda lemahnya daya beli masyarakat juga sudah ditunjukkan oleh indikator lain. Melansir Survei Penjualan Eceran (SPE) yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia (BI), penjualan barang-barang ritel periode Juli 2019 tercatat hanya tumbuh sebesar 2,4% secara tahunan, lebih rendah dibandingkan pertumbuhan pada periode yang sama tahun lalu (Juli 2018) yang sebesar 2,9%.

Untuk bulan Agustus, angka sementara menunjukkan bahwa penjualan barang-barang ritel hanya tumbuh 3,7% YoY, jauh di bawah pertumbuhan pada Agustus 2018 yang mencapai 6,1%.

Sebagai catatan, sudah sedari bulan Mei pertumbuhan penjualan barang-barang ritel tak bisa mengalahkan capaian periode yang sama tahun sebelumnya. Bahkan pada bulan Juni, penjualan barang-barang ritel terkontraksi 1,8% secara tahunan. Pada Juni 2018, diketahui ada pertumbuhan sebesar 2,3%.

Teranyar, BI merilis Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) periode Agustus 2019 di level 123,1, turun jika dibandingkan capaian bulan Juli di level 124,8. Angka IKK pada bulan Agustus menjadi yang paling rendah sejak November 2018.

BERLANJUT KE HALAMAN 3 -> Cadangan Devisa Anjlok US$ 2,1 Miliar

Lebih lanjut, sentimen negatif bagi pasar saham tanah air datang dari rilis angka cadangan devisa oleh Bank Indonesia (BI). Per September 2019, BI mencatat cadangan devisa Indonesia berada di level US$ 124,3 miliar, turun US$ 2,1 miliar jika dibandingkan posisi per akhir Agustus yang senilai US$ 126,4 miliar.

BI menyebut bahwa penurunan cadangan devisa pada bulan lalu utamanya dipengaruhi oleh kebutuhan pembayaran utang luar negeri Pemerintah dan berkurangnya penempatan valas perbankan di bank sentral.

Dengan cadangan devisa yang menipis, praktis amunisi dari bank sentral untuk melakukan intervensi kala rupiah mendapatkan tekanan jual yang besar menjadi ikut menipis. Simpelnya, rupiah akan menjadi lebih rentan untuk digoyang. Pada perdagangan hari ini, rupiah melemah 0,18% melawan dolar AS di pasar spot ke level Rp 14.155/dolar AS. 

Untuk diketahui, rupiah sudah babak belur melawan dolar AS dalam beberapa waktu terakhir. Kini, menipisnya cadangan devisa yang berarti menipisnya amunisi dari bank sentral untuk melakukan intervensi kala rupiah mendapatkan tekanan jual yang besar membuat pelaku pasar melego kepemilikannya atas saham-saham di tanah air.


TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular