
Awas! Gerak Harga Obligasi RI Hari Ini Tak Lagi Senada

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar obligasi Indonesia bergerak bervariasi (mixed) pada perdagangan pertama di pekan ini (7/10/2019).
Di pasar obligasi, yang menjadi acuan adalah tenor 5 tahun (FR0077), 10 tahun (FR0078), 15 tahun (FR0068), dan 20 tahun (FR0079). Hingga berita ini diturunkan, yield obligasi tenor 5 dan 15 tahun naik masing-masing sebesar 1,8 bps dan 0,5 bps, sementara yield obligasi tenor 10 dan 20 tahun turun masing-masing sebesar 1,7 bps dan 0,4 bps.
Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.
Campur-aduk sentimen membuat pasar obligasi tanah air kesulitan untuk menentukan arah. Di satu sisi, sentimen positif bagi pasar obligasi tanah air datang dari rilis data tenaga kerja AS yang kinclong.
Pada hari Jumat (4/10/2019), data penciptaan lapangan kerja (di luar sektor pertanian) periode September 2019 versi resmi pemerintah diumumkan sebanyak 136.000, di bawah ekspektasi yang sebanyak 145.000, seperti dilansir dari Forex Factory.
Namun, tingkat pengangguran untuk periode yang sama tercatat turun ke level 3,5%, dari yang sebelumnya 3,7% pada bulan Agustus. Tingkat pengangguran di level 3,5% tersebut merupakan yang terendah dalam 50 tahun terakhir.
Kuatnya pasar tenaga kerja di AS lantas memudarkan kekhawatiran bahwa AS akan masuk ke jurang resesi. Merespons rilis data tenaga kerja AS yang oke tersebut, bursa saham AS menguat signfiikan pada hari Jumat kemarin: indeks Dow Jones dan S&P 500 melejit masing-masing sebesar 1,42%, sementara indeks Nasdaq Composite terangkat 1,4%.
Sebelumnya, rilis data ekonomi di AS menunjukkan adanya tekanan yang signifikan yang menghinggapi negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia tersebut.
Pada pekan lalu, Manufacturing PMI AS periode September 2019 versi Institute for Supply Management (ISM) diumumkan di level 47,8, jauh di bawah konsensus yang sebesar 50,4, seperti dilansir dari Forex Factory. Kemudian, Non-Manufacturing PMI periode September 2019 diumumkan oleh ISM di level 52,6, juga di bawah konsensus yang sebesar 55,1, seperti dilansir dari Forex Factory.
Kekhawatiran bahwa AS akan masuk ke jurang resesi juga dipicu oleh memanasnya hubungan AS dengan Uni Eropa di bidang perdagangan. Belum juga perang dagang AS-China beres, kini AS selaku negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia malah memanaskan hubungan dagang dengan blok ekonomi terbesar di dunia.
Pada pekan lalu, Kantor Perwakilan Dagang AS merilis daftar produk impor asal Uni Eropa yang akan dikenakan tambahan bea masuk. Tambahan bea masuk tersebut terbagi dalam dua level, yakni 10% dan 25%. Pesawat terbang, kopi, daging babi, hingga mentega termasuk ke dalam daftar produk yang disasar AS.
Daftar produk tersebut dirilis pasca AS memenangkan gugatan di World Trade Organization (WTO). AS menggugat Uni Eropa ke WTO lantaran Uni Eropa dianggap telah memberikan subsidi secara ilegal kepada Airbus, pabrikan pesawat terbang asal Benua Biru. Dampak dari subsidi ilegal tersebut adalah pabrikan pesawat asal AS, Boeing, menjadi kurang kompetitif. WTO memberikan hak kepada pemerintahan Presiden Donald Trump untuk mengenakan bea masuk tambahan terhadap produk impor asal Uni Eropa senilai US$ 7,5 miliar.
Berang dengan keputusan AS, Uni Eropa membuka ruang untuk membebankan bea masuk balasan terhadap produk impor asal AS.
Wajar jika perang dagang AS-Uni Eropa menjadi momok yang menakutkan bagi pelaku pasar. Pasalnya, Uni Eropa merupakan pasar ekspor terbesar dari AS. Pada tahun 2018, AS mengekspor barang senilai US$ 319 miliar ke negara-negara Uni Eropa. Sementara itu, AS diketahui mengimpor barang dari Uni Eropa senilai US$ 488 miliar pada tahun 2018, menjadikan Uni Eropa penyuplai barang terbesar kedua bagi AS.
BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> Semenanjung Korea Memanas