Rupiah mencatat penguatan tiga hari berturut-turut melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Jumat (4/10/19).
Mata Uang Garuda mengakhiri perdagangan di level Rp 14.130, menguat 0,28% di pasar spot, berdasarkan data Refinitiv.
Membuka perdagangan hari ini rupiah langsung menguat 0,18% di Rp 14.145/US$, setelahnya penguatan rupiah semakin tebal hingga ke level Rp 14.110/US$ atau menguat 0,42%.
Mayoritas mata uang utama Asia memang menguat pada perdagangan hari ini, memberikan gambaran kondisi dolar AS sedang tidak bagus.
Won Korea Selatan menjadi mata uang terbaik Asia hari ini setelah menguat 0,45% hingga pukul 16:17 WIB. Runner up hari ini ditempati bath Thailand yang menguat 0,33%. Rupiah? Cukup baik dengan menempati posisi ketiga.
Yuan China menjadi mata uang dengan performa terburuk setelah melemah 0,36%.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia hari ini.
Dalam tiga hari terakhir AS melaporkan data ekonomi yang menunjukkan resesi semakin dekat, bahkan ada yang menyebutnya semi resesi.
"Sementara investor berdebat apakah kita memasuki resesi, kami percaya (dengan) latar belakang lebih baik (saat ini) digambarkan sebagai semi-resesi," kata Kepala Strategis Ekuitas di Credit Suisse AS Jonathan Golub sebagaimana ditulis
CNBC International.
Data dari Institute fo Supply Management (ISM) Kamis menunjukkan angka
Purchasing Managers' Index (PMI) sektor jasa melambat menjadi 52,6 di bulan September, dari sebelumnya 56,4.
Sebelumnya pada hari Selasa lalu ISM melaporkan angka PMI manufaktur AS periode September berada di 47,8. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 49,1.
Indeks ini menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di bawah 50 artinya kontraksi yakni aktivitas sektor manufaktur semakin menyusut, sementara di atas 50 berarti ekspansi atau peningkatan aktivitas.
Kontraksi yang dialami sektor manufaktur AS di bulan September tersebut merupakan yang terdalam sejak satu dekade terakhir, tepatnya sejak Juni 2009 ketika resesi AS 2007-2009 berakhir.
Rabu kemarin giliran Automatic Data Processing Inc (ADP) melaporkan pelemahan pasar tenaga kerja AS. Sepanjang bulan September ekonomi AS dilaporkan menyerap 135.000 tenaga kerja di luar sektor pertanian. Data tersebut lebih rendah dari bulan Agustus sebanyak 157.000 tenaga kerja.
 Foto: CME Group |
Akibat rilis tiga data tersebut, bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) kini diprediksi akan memangkas suku bunga di akhir bulan ini. Berdasarkan piranti FedWatch milik CME Group, hingga sore ini pelaku pasar melihat probabilitas sebesar 87,1% suku bunga akan dipangkas sebesar 25 basis poin menjadi 1,5-1,75% pada 30 Oktober nanti (31 Oktober dini hari WIB).
Akibatnya dolar AS yang perkasa di awal pekan ini langsung rontok dalam tiga hari terakhir
(BERLANJUT KE HALAMAN 3) Rupiah bisa jadi menguat lebih tajam pada perdagangan hari ini seandainya masih ada euforia perundingan dagang AS-China. Kedua negara akan mengadakan perundingan pada 10-11 Oktober di Washington.
Belum selesai perang dagang AS-China, kini muncul potensi perang dagang AS dengan Uni Eropa yang membuat investor
deg-degan.
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) telah memenangkan gugatan AS yang menyebut Uni Eropa memberikan subsidi kepada Airbus sehingga menimbulkan persaingan tidak sehat dengan perusahaan pembuat pesawat lainnya seperti Boeing.
Sidang panel WTO menyatakan AS menderita kerugian sampai US$ 7,5 miliar per tahun. Keputusan WTO ini menjadi pembenaran bagi rencana AS untuk menerapkan bea masuk terhadap importasi produk-produk dari Eropa. Washington mengusulkan pengenaan bea masuk bagi importasi hingga US$ 11 miliar.
Jika dilihat dari nilai transaksi AS-Uni Eropa, ternyata lebih besar dari AS-China. Data Kantor Perwakilan Dagang AS menunjukkan impor AS dari Uni Eropa bernilai US$ 683,9 miliar pada 2018. Pada tahun yang sama, impor dari China US$ 557,9. Sementara ekspor AS ke Uni Eropa tercatat US$ 574,5 miliar dan ke China adalah US$ 179,2 miliar.
Kantor Perwakilan Dagang AS Rabu kemarin merilis daftar yang akan dikenakan bea impor mulai dari pesawat terbang sebesar 10 % hingga berbagai jenis makanan dan produk tekstil senilai 25% yang mulai berlaku efektif pada 18 Oktober.
AS menegaskan Uni Eropa tidak boleh membalas dengan ikut-ikutan menerapkan bea masuk. Sebab apa yang dilakukan AS sudah sesuai dengan putusan WTO.
"Tidak ada saling balas di sini. Sesuai dengan aturan WTO, yang kami patuhi, kami berhak melakukan ini dan mereka tidak boleh membalas," tegas Peter Navarro, Penasihat Perdagangan Gedung Putih, seperti diwartakan
Reuters.
Namun sudah pasti Eropa tidak akan tinggal diam. Kalau balas mengenakan bea masuk tidak diperbolehkan, maka Eropa akan mencari cara lain untuk 'mengerjai' AS.
"Apabila pemerintah AS menolak tangan yang sudah diulurkan Prancis dan Uni Eropa, maka kami akan menyiapkan sanksi," ungkap Bruno Le Maire, Menteri Keuangan Prancis, seperti diberitakan
Reuters.
Jika perang dagang AS-UE benar terjadi, tentunya perekonomian global akan semakin terancam. Perang dagang AS-China saja sudah berdampak besar ke ekonomi global, ancaman resesi terjadi di mana-mana, bank sentral di berbagai negara "berlomba" menurunkan suku bunga untuk merangsang perekonomian, atau untuk menghindari terjadinya resesi.
Negara Adikuasa kini terancam "dikeroyok" China dan Uni Eropa dari segi perdagangan. Kondisi ekonomi global yang memburuk tentunya bukan kabar bagus bagi RI, para pelaku pasar akan memilih mengamankan investasi ke aset
safe haven.
TIM RISET CNBC INDONESIA