
Dihadapkan dengan Resesi, IHSG Akhirnya Keok Lagi

Jakarta, CNBC Indonesia - Mengawali perdagangan hari ini, Rabu (2/10/2019), dengan koreksi sebesar 0,22% ke level 6.124,44, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bisa segera membalikkan keadaan dengan merangsek ke zona hijau.
Sayang, IHSG kemudian kembali ke zona merah dan kini terlihat nyaman berada di sana. Pada pukul 11:00 WIB, indeks saham acuan di Indonesia tersebut ditransaksikan melemah 0,38% ke level 6.115,13.
Kinerja IHSG senada dengan seluruh bursa saham utama kawasan Asia yang juga sedang ditransaksikan di zona merah: indeks Nikkei turun 0,65%, indeks Hang Seng jatuh 0,56%, indeks Straits Times melemah 0,99%, dan indeks Kospi terkoreksi 1,42%. Untuk diketahui, perdagangan di bursa saham China diliburkan guna memperingati 70 tahun lahirnya Republik Rakyat China.
Rilis data ekonomi AS yang begitu mengecewakan menjadi faktor yang memantik aksi jual di bursa saham Asia. Kemarin (1/10/2019), Manufacturing PMI AS periode September 2019 versi Institute for Supply Management (ISM) diumumkan di level 47,8, jauh di bawah konsensus yang sebesar 50,4, seperti dilansir dari Forex Factory.
Sebagai informasi, angka di atas 50 berarti aktivitas manufaktur membukukan ekspansi jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya, sementara angka di bawah 50 menunjukkan adanya kontraksi.
Kontraksi yang terjadi pada bulan September merupakan kontraksi terburuk yang dibukukan oleh sektor manufaktur AS dalam satu dekade terakhir. Perang dagang dengan China terbukti telah sangat menyakiti perekonomian AS.
Lantas, kekhawatiran bahwa AS akan masuk ke jurang resesi kembali mencuat. Untuk diketahui, sinyal bahwa AS akan masuk ke jurang resesi sebelumnya sudah disuarakan oleh pasar obligasinya sendiri.
Sebagai informasi, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Terhitung dalam periode 23-29 Agustus 2019, imbal hasil (yield) obligasi AS tenor 2 tahun ditutup melampaui yield obligasi AS tenor 10 tahun. Fenomena ini disebut sebagai inversi.
Untuk diketahui, inversi merupakan sebuah fenomena di mana yield obligasi tenor pendek berada di posisi yang lebih tinggi dibandingkan tenor panjang. Padahal dalam kondisi normal, yield tenor panjang akan lebih tinggi karena memegang obligasi tenor panjang pastilah lebih berisiko ketimbang tenor pendek.
Terjadinya inversi mencerminkan bahwa pelaku pasar melihat risiko yang tinggi dalam jangka pendek yang membuat mereka meminta yield yang tinggi sebagai kompensasi. Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harga. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.
Inversi di pasar obligasi AS menjadi hal yang krusial bagi pasar keuangan dunia lantaran terjadinya inversi merupakan sinyal dari terjadinya resesi di AS di masa depan.
Terhitung sejak tahun 1978, telah terjadi 5 kali inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun, semuanya berujung pada resesi. Berdasarkan data dari Credit Suisse yang kami lansir dari CNBC International, secara rata-rata terdapat jeda waktu selama 22 bulan semenjak terjadinya inversi hingga resesi.
Berdasarkan model yang digunakan oleh Federal Reserve Bank of New York dengan data per Agustus 2019, probabilitas terjadinya resesi di AS dalam periode 12 bulan ke depan sudah mencapai 37,9%.
Bahkan, Larry Summers selaku Profesor Universitas Harvard dan mantan menteri keuangan AS mengatakan peluang terjadinya resesi sebelum tahun 2021 telah berada di angka hampir 50%.
"Saya belum pernah mendengar hal seburuk ini sejak krisis keuangan," kata Summers mengenai kondisi ekonomi AS dalam sebuah wawancara dengan Wall Street Journal.
BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> Saham-saham Konsumer Kembali Babak Belur
