
Analisis
Dolar Perkasa, Domestik Belum Kondusif, Rupiah Bisa Apa?
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
01 October 2019 12:40

Jakarta, CNBC Indonesia - Kurs rupiah kembali melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Selasa (1/10/19). Pergerakan rupiah mirip dengan awal pekan kemarin, membuka perdagangan di zona hijau, kemungkinan putar balik ke zona merah.
Begitu perdagangan hari ini dibuka, rupiah menguat 0,11%, tetapi tidak lama penguatan terus menipis hingga akhirnya berbalik melemah. Dolar AS yang sedang perkasa menjadi penekan rupiah hari ini. Indeks dolar AS siang ini berada di level 99,47 menguat 0,1% setelah Senin kemarin menguat 0,27%. Titik indeks dolar saat ini merupakan yang tertinggi tertinggi sejak 12 Mei 2017.
Harapan akan adanya damai dagang AS-China terus menopang penguatan dolar. Seperti diketahui sebelumnya perundingan dagang AS-China akan dilangsungkan di Washington pada 10-11 Oktober nanti. Ini merupakan perundingan tingkat tinggi, delegasi China akan dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri Liu He, sementara AS akan dikomandoi oleh Kepala Kantor Perwakilan Dagang Robert Lighthizer.
Harapan akan adanya damai dagang dua raksasa ekonomi ini terus membuncah setelah Presiden AS Donald Trump mengatakan kesepakatan dagang bisa terjadi lebih cepat dibandingkan prediksi pelaku pasar.
Di luar perundingan dagang tersebut, sempat beredar berita bahwa AS bakal melakukan langkah kontroversial. Pemerintahan Presiden Donald Trump sedang mempertimbangkan untuk mengusir perusahaan-perusahaan China yang melantai di bursa saham New York (Wall Street). Berita ini membuat investor kelabakan, karena berisiko mengganggu proses menuju damai dagang.
Akan tetapi, hadir kabar yang melegakan. Sebagaimana diberitakan oleh Reuters, Kementerian Keuangan AS membantah bahwa pemerintah bakal melakukan forced delisting terhadap emiten Negeri Tirai Bambu. "Pemerintah tidak sedang mempertimbangkan melarang perusahaan China untuk mencatatkan saham di bursa AS untuk saat ini," kata Monica Crowley, Juru Bicara Kementerian Keuangan AS.
Asa menuju damai AS-China kembali membahana. Kini investor berharap pertemuan 10-11 Oktober nanti menelurkan hasil positif untuk mengakhiri perang dagang yang sudah berlangsung selama lebih dari setahun.
Deal kedua negara tentunya memacu perekonomian kedua negara yang sedang melambat, dan akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi global. Jika perekonomian membaik, bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) tentunya tidak akan memangkas suku bunga lagi.
Sementara itu dari dalam negeri Badan Pusat Statistik (BPS) merilis Indeks Harga Konsumen (IHK) pada September 2019. BPS mencatat terjadi deflasi sebesar 0,27%. "Sehingga inflasi tahunan tercatat sebesar 3,39%," kata Kepala BPS Suhariyanto di Gedung BPS, Selasa (1/10/2019).
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan terjadi deflasi sebesar 0,15% secara month-on-month (MoM). Kalau sampai kejadian, maka akan menjadi deflasi pertama sejak Februari. Inflasi yang masih terjaga di Indonesia bisa membuat daya beli masyarakat meningkat, yang berdampak bagus pagi perekonomian.
Di sisi lain, situasi politik-sosial-keamanan masih kurang kondusif. Aksi demonstrasi kembali terjadi di Jakarta Senin kemarin, dan bisa berlanjut pada hari ini. Bahkan konsentrasi massa masih bertahan sampai Senin malam kemarin dan melakukan perusakan.
Saat kondisi kurang kondusif investor akan melakukan aksi wait and see, sehingga rupiah kurang tenaga untuk menguat.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Begitu perdagangan hari ini dibuka, rupiah menguat 0,11%, tetapi tidak lama penguatan terus menipis hingga akhirnya berbalik melemah. Dolar AS yang sedang perkasa menjadi penekan rupiah hari ini. Indeks dolar AS siang ini berada di level 99,47 menguat 0,1% setelah Senin kemarin menguat 0,27%. Titik indeks dolar saat ini merupakan yang tertinggi tertinggi sejak 12 Mei 2017.
Harapan akan adanya damai dagang AS-China terus menopang penguatan dolar. Seperti diketahui sebelumnya perundingan dagang AS-China akan dilangsungkan di Washington pada 10-11 Oktober nanti. Ini merupakan perundingan tingkat tinggi, delegasi China akan dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri Liu He, sementara AS akan dikomandoi oleh Kepala Kantor Perwakilan Dagang Robert Lighthizer.
Harapan akan adanya damai dagang dua raksasa ekonomi ini terus membuncah setelah Presiden AS Donald Trump mengatakan kesepakatan dagang bisa terjadi lebih cepat dibandingkan prediksi pelaku pasar.
Di luar perundingan dagang tersebut, sempat beredar berita bahwa AS bakal melakukan langkah kontroversial. Pemerintahan Presiden Donald Trump sedang mempertimbangkan untuk mengusir perusahaan-perusahaan China yang melantai di bursa saham New York (Wall Street). Berita ini membuat investor kelabakan, karena berisiko mengganggu proses menuju damai dagang.
Akan tetapi, hadir kabar yang melegakan. Sebagaimana diberitakan oleh Reuters, Kementerian Keuangan AS membantah bahwa pemerintah bakal melakukan forced delisting terhadap emiten Negeri Tirai Bambu. "Pemerintah tidak sedang mempertimbangkan melarang perusahaan China untuk mencatatkan saham di bursa AS untuk saat ini," kata Monica Crowley, Juru Bicara Kementerian Keuangan AS.
Asa menuju damai AS-China kembali membahana. Kini investor berharap pertemuan 10-11 Oktober nanti menelurkan hasil positif untuk mengakhiri perang dagang yang sudah berlangsung selama lebih dari setahun.
Deal kedua negara tentunya memacu perekonomian kedua negara yang sedang melambat, dan akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi global. Jika perekonomian membaik, bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) tentunya tidak akan memangkas suku bunga lagi.
Sementara itu dari dalam negeri Badan Pusat Statistik (BPS) merilis Indeks Harga Konsumen (IHK) pada September 2019. BPS mencatat terjadi deflasi sebesar 0,27%. "Sehingga inflasi tahunan tercatat sebesar 3,39%," kata Kepala BPS Suhariyanto di Gedung BPS, Selasa (1/10/2019).
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan terjadi deflasi sebesar 0,15% secara month-on-month (MoM). Kalau sampai kejadian, maka akan menjadi deflasi pertama sejak Februari. Inflasi yang masih terjaga di Indonesia bisa membuat daya beli masyarakat meningkat, yang berdampak bagus pagi perekonomian.
Di sisi lain, situasi politik-sosial-keamanan masih kurang kondusif. Aksi demonstrasi kembali terjadi di Jakarta Senin kemarin, dan bisa berlanjut pada hari ini. Bahkan konsentrasi massa masih bertahan sampai Senin malam kemarin dan melakukan perusakan.
Saat kondisi kurang kondusif investor akan melakukan aksi wait and see, sehingga rupiah kurang tenaga untuk menguat.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Next Page
Analisis Teknikal
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular