
Rupiah Sempat Perkasa, Tapi Kok Lemas Lagi?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
30 September 2019 08:41

Akan tetapi, sejumlah mata uang Asia masih mampu bertahan di zona hijau karena data-data ekonomi yang positif, utamanya dari Korea Selatan dan Jepang. Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri Jepang melaporkan penjualan ritel pada Agustus naik 4,8% month-on-month (MoM), jauh membaik dibandingkan bulan sebelumnya yang turun 2,3%.
Angka penjualan ritel Negeri Matahari Terbit pada Agustus juga jauh di atas konsensus pasar yang dihimpun Trading Economics yang memperkirakan tidak ada pertumbuhan alias 0%. Kenaikan 4,8% sekaligus menjadi catatan terbaik sejak Maret 2014.
Tidak cuma di Jepang, penjualan ritel di Korea Selatan pun membaik. Pada Agustus, Biro Statistik Negeri Ginseng melaporkan penjualan ritel naik 4,1% year-on-year (YoY). Padahal bulan sebelumnya penjualan ritel turun 0,3%.
Data-data ini masih bisa membuat mata uang Asia cenderung menguat. Namun entah sampai kapan, karena isu seputar hubungan AS-China siap untuk membuat pelaku pasar memilih bermain aman.
Akhir pekan lalu, tersiar kabar bahwa pemerintahan Presiden AS Donald Trump tengah mempertimbangkan untuk mencoret perusahaan-perusahaan China yang melantai di bursa saham New York (Wall Street). Forced delisting ini tentu membuat hubungan kedua negara berisiko memanas lagi.
"Saya berharap kedua negara bisa menyelesaikan perselisihan dengan sikap yang tenang dan rasional. Kami percaya bahwa resolusi akan membawa manfaat bagi kedua negara dan seluruh dunia," kata Wang Shouwen, Wakil Menteri Perdagangan China, seperti diberitakan Reuters.
Rencananya AS dan China akan menggelar dialog level menteri di Washington pada 10-11 Oktober. Semoga ancaman forced delisting terhadap perusahaan China tidak membuat pertemuan ini sampai batal. Sebab kalau damai dagang AS-China menjauh dan perang dagang kembali berkobar, maka perekonomian dunia akan merasakan dampak yang serius.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Angka penjualan ritel Negeri Matahari Terbit pada Agustus juga jauh di atas konsensus pasar yang dihimpun Trading Economics yang memperkirakan tidak ada pertumbuhan alias 0%. Kenaikan 4,8% sekaligus menjadi catatan terbaik sejak Maret 2014.
Tidak cuma di Jepang, penjualan ritel di Korea Selatan pun membaik. Pada Agustus, Biro Statistik Negeri Ginseng melaporkan penjualan ritel naik 4,1% year-on-year (YoY). Padahal bulan sebelumnya penjualan ritel turun 0,3%.
Akhir pekan lalu, tersiar kabar bahwa pemerintahan Presiden AS Donald Trump tengah mempertimbangkan untuk mencoret perusahaan-perusahaan China yang melantai di bursa saham New York (Wall Street). Forced delisting ini tentu membuat hubungan kedua negara berisiko memanas lagi.
"Saya berharap kedua negara bisa menyelesaikan perselisihan dengan sikap yang tenang dan rasional. Kami percaya bahwa resolusi akan membawa manfaat bagi kedua negara dan seluruh dunia," kata Wang Shouwen, Wakil Menteri Perdagangan China, seperti diberitakan Reuters.
Rencananya AS dan China akan menggelar dialog level menteri di Washington pada 10-11 Oktober. Semoga ancaman forced delisting terhadap perusahaan China tidak membuat pertemuan ini sampai batal. Sebab kalau damai dagang AS-China menjauh dan perang dagang kembali berkobar, maka perekonomian dunia akan merasakan dampak yang serius.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular