
Resesi dari Italia ke Jerman, Begini Nasib Mata Uang Euro?
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
24 September 2019 20:26

Jerman, raksasa ekonomi Benua Biru, paling menjadi sorotan. Sang raksasa kini sedang lesu, tidak lama lagi sepertinya akan mengalami resesi.
Sebagai negara yang mengandalkan ekspor sebagai roda penggerak perekonomian, sektor manufaktur Jerman justru mengalami kontraksi sembilan bulan beruntun. Di bulan ini, kontraksi bahkan mencapai yang terdalam dalam lebih dari satu dekade terakhir.
Markit melaporkan manufaktur PMI Jerman bulan September sebesar 41,4, turun dari bulan sebelumnya 43,5. Sementara sektor jasa meski masih berekspansi mengalami pelambatan menjadi 52,5 dari sebelumnya 54,8.
Pertumbuhan ekonomi Negeri Panser di kuartal II-2019 mengalami kontraksi sebesar 0,1% (QoQ). Dengan aktivitas manufaktur yang terus memburuk, maka di kuartal III-2019 Jerman berpeluang besar kembali mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi lagi, sehingga masuk ke jurang resesi.
Resesi yang dialami Jerman tentunya akan berdampak buruk ke negara-negara lainnya di Benua Biru. Ketika sang raksasa sedang lesu, tentunya permintaan impor akan menjadi berkurang, ketika permintaan berkurang negara pengekspor ke Jerman akan turut mengalami pelambatan.
Terbukti aktivitas bisnis Zona Euro secara keseluruhan juga melambat. Di bulan September Markit melaporkan angka indeks di level 45,6, turun dari sebelumnya 47,0. Sektor pengolahan ini sudah berkontraksi dalam delapan bulan berturut-turut. Sementara sektor jasa juga melambat menjadi 52,5, dari sebelumnya 54,8.
Pasca rilis data tersebut, mata uang euro langsung jeblok Senin kemarin. Pada hari ini, Selasa (24/9/19) euro memang menguat kembali ke atas US$ 1,1. Pada pukul 20:00 WIB, euro diperdagangkan di level US$ 1,1005 atau menguat 0,13% di pasar spot, berdasarkan data Refinitiv.
Meski demikian ke depannya euro diramal akan kembali melemah hingga ke bawah US$ 1,09 oleh ahli strategi mata uang di TD Securities, Mark McCormick.
"Euro sedang mendapat tekanan baru di pekan ini akibat buruknya data PMI dari negara-negara dengan ekonomi terbesar di Zona Euro" kata McCormick sebagaimana dilansir poundsterlinglive.com.
McCormick juga memprediksi target penurunan euro dalam jangka pendek ke level US$ 1,0925. Dan jika target tersebut dilewati, euro berpotensi turun lebih dalam hingga US$ 1,0820.
TIM RISET CNBC INDONESIA (pap/dru)
Sebagai negara yang mengandalkan ekspor sebagai roda penggerak perekonomian, sektor manufaktur Jerman justru mengalami kontraksi sembilan bulan beruntun. Di bulan ini, kontraksi bahkan mencapai yang terdalam dalam lebih dari satu dekade terakhir.
Markit melaporkan manufaktur PMI Jerman bulan September sebesar 41,4, turun dari bulan sebelumnya 43,5. Sementara sektor jasa meski masih berekspansi mengalami pelambatan menjadi 52,5 dari sebelumnya 54,8.
Resesi yang dialami Jerman tentunya akan berdampak buruk ke negara-negara lainnya di Benua Biru. Ketika sang raksasa sedang lesu, tentunya permintaan impor akan menjadi berkurang, ketika permintaan berkurang negara pengekspor ke Jerman akan turut mengalami pelambatan.
Terbukti aktivitas bisnis Zona Euro secara keseluruhan juga melambat. Di bulan September Markit melaporkan angka indeks di level 45,6, turun dari sebelumnya 47,0. Sektor pengolahan ini sudah berkontraksi dalam delapan bulan berturut-turut. Sementara sektor jasa juga melambat menjadi 52,5, dari sebelumnya 54,8.
Pasca rilis data tersebut, mata uang euro langsung jeblok Senin kemarin. Pada hari ini, Selasa (24/9/19) euro memang menguat kembali ke atas US$ 1,1. Pada pukul 20:00 WIB, euro diperdagangkan di level US$ 1,1005 atau menguat 0,13% di pasar spot, berdasarkan data Refinitiv.
Meski demikian ke depannya euro diramal akan kembali melemah hingga ke bawah US$ 1,09 oleh ahli strategi mata uang di TD Securities, Mark McCormick.
"Euro sedang mendapat tekanan baru di pekan ini akibat buruknya data PMI dari negara-negara dengan ekonomi terbesar di Zona Euro" kata McCormick sebagaimana dilansir poundsterlinglive.com.
McCormick juga memprediksi target penurunan euro dalam jangka pendek ke level US$ 1,0925. Dan jika target tersebut dilewati, euro berpotensi turun lebih dalam hingga US$ 1,0820.
TIM RISET CNBC INDONESIA (pap/dru)
Pages
Most Popular