
Iringi Sidang Revisi UU KPK, Rupiah KO & Dekati Rp 14.100/US$

Jakarta, CNBC Indonesia - Kurs rupiah melawan dolar Amerika Serikat (AS) kembali melemah pada perdagangan Selasa (17/9/19). Pelemahan cukup signifikan, bahkan hingga mencapai Rp 14.100/US$.
Kombinasi internal dan eksternal memberikan tekanan hebat bagi rupiah. Gejolak di Timur Tengah setelah dua fasilitas minyak mentah Arab Saudi diserang pesawat drone masih menjadi penggerak pasar utama hari ini, di tengah langkah mundur pemerintah merevisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Revisi UU KPK dinilai sebagai langkah mundur karena terdapat 10 poin yang melemahkan independensi KPK dan membuat prospek penegakan hukum serta pemberantasan korupsi menjadi mengambang dan bisa menekan indeks persepsi korupsi (CPI) serta indeks transparansi Indonesia.
Sementara itu, serangan atas Saudi memangkas produksi minyak sebanyak 5,7 juta barel/hari, setara dengan lebih dari separuh produksi Negeri Gurun Pasir tersebut. Angka 5,7 juta barel/hari juga sekira 5% produksi dunia, sehingga suplai minyak dunia sudah pasti terganggu.
Akibatnya, harga minyak berpeluang terus naik. Analis Goldman Sachs mengatakan jika produksi minyak Arab Saudi belum pulih dalam enam pekan ke depan, maka harga minyak Brent akan mencapai US$ 75 per barel, sebagaimana dilansir CNBC International.
Situasi kian memanas setelah AS menuduh Iran sebagai dalang serangan atas fasilitas Arab Saudi. Sementara, Iran tidak terima atas tuduhan tersebut, dua negara ini masing-masing sudah menyatakan siap untuk berperang.
Masih berdasarkan pemberitaan CNBC International. Analis dari Again Capital, John Kilduff, mengatakan jika terjadi eskalasi di Timur Tengah dan menjadi perang maka harga minyak mentah akan menuju US$ 100 per barel.
Pada perdagangan Senin kemarin, harga minyak mentah jenis Brent melonjak 13% ke level US$ 68 per barel dan jenis West Texas Intermediate (WTI) melesat 12% ke kisaran US$ 61 per barel
Kenaikan harga minyak mentah bukan kabar bagus bagi Indonesia, beban impor akan membengkak. Data yang dirilis BPS Senin kemarin menunjukkan surplus neraca dagang, berkat surplus di sektor non-migas. Dari sektor migas masih mengalami defisit US$ 755,1 juta.
Defisit tersebut bisa membengkak jika harga minyak mentah terus terbang tinggi, dampaknya neraca dagang berpotensi mengalami defisit lagi, dan tentunya akan berdampak defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) yang selama ini menjadi "hantu" bagi perekonomian Indonesia.
Selain itu, bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) kini mulai diragukan akan memangkas suku bunga di pekan ini. Piranti FedWatch milik CME Group menunjukkan pelaku pasar melihat probabilitas The Fed memangkas suku bunga 25 basis poin (bps) menjadi 1,75%-2% sebesar 64,6%, jauh menurun dibandingkan pekan lalu yang masih di atas 90%.
Akibat turunnya probabilitas tersebut, dolar AS mendapat momentum penguatan lagi pada hari ini.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
![]() Sumber: investing.com |
Melihat grafik harian, rupiah yang disimbolkan dengan USD/IDR bergerak di atas rerata pergerakan (moving average/MA) 5 hari (garis biru) dan MA20 /rerata 20 hari (garis merah).
Indikator rerata pergerakan konvergen dan divergen (MACD) bergerak naik tetapi masih di wilayah negatif. Histogram masih di wilayah negatif, tapi mulai mengecil. Melihat indikator tersebut, rupiah momentum penguatan rupiah mulai berkurang.
![]() Sumber: investing.com |
Pada time frame 1 jam, rupiah bergerak di kisaran MA 5 (rerata pergerakan 5 jam/garis biru) dan di atas MA 20 (rerata pergerakan 20 jam/garis merah). Indikator stochastic berada di wilayah jenuh beli (overbought) dalam cukup lama.
Indikator Stochastic yang overbought memberikan peluang rupiah memangkas pelemahan. Support (tahanan bawah) berada di kisaran Rp 14.090/US$, jika mampu ditembus rupiah berpeluang ke memangkas pelemahan menuju Rp 14.060/US$.
Sementara selama bertahan di atas Rp 14.090/US$, rupiah berpeluang melemah menuju area Rp 14.130/US$.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
