
Kisah Timur Tengah, The Fed, dan Rupiah yang Terlemah di Asia
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
17 September 2019 09:25

Jakarta, CNBC Indonesia - Dolar Amerika Serikat (AS) perkasa hari ini, seluruh mata uang utama Asia berhasil ditaklukkan. Dinamika di Timur Tengah menjadi suntikan adrenalin bagi mata uang Negeri Paman Sam.
Pada Selasa (17/9/2019) pukul 09:02 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.090. Rupiah melemah 0,39% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Namun rupiah tidak sendirian. Kini seluruh mata uang utama Asia melemah di hadapan dolar AS, tidak ada yang selamat. Akan tetapi, depresiasi 0,39% membuat rupiah 'istimewa'.
Di antara mata uang yang sudah diperdagangkan, rupiah adalah yang terlemah. Memang kelihatannya rupee India lebih lemah ketimbang rupiah. Namun rupee masih mencerminkan posisi penutupan perdagangan kemarin karena pasar keuangan Negeri Bollywood belum dibuka.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 09:05 WIB:
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Tidak cuma di Asia, dolar AS memang sedang perkasa di level global. Pada pukul 09:06 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,3%.
Situasi di Timur Tengah ada kaitannya dengan kedigdayaan dolar AS. Akhir pekan lalu, ladang minyak milik Saudi Aramco (raksasa migas asal Arab Saudi) dihantam serangan pesawat tanpa awak alias drone. Bahkan ada dugaan serangan itu melibatkan misil jelajah (cruise missile).
Dampak serangan itu tidak main-main. Produksi minyak Arab Saudi sebanyak 5,7 juta barel/hari terhenti, jumlah tersebut lebih dari separuh produksi Negeri Gurun Pasir. Data Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) mencatat produksi minyak Arab Saudi pada 2018 adalah 10,32 juta barel/hari.
Angka 5,7 juta barel/hari juga sekira 5% produksi dunia. Potensi itu kini tidak ada, sehingga berpotensi mengganggu pasokan minyak di pasar dunia. Akibatnya, harga minyak berpeluang terus naik.
Belum lagi serangan itu berbuntut panjang. Berbagai pihak ramai-ramai menuding Iran sebagai dalang sekaligus pelaku serangan tersebut.
Kolonel Turki Al Malki, Juru Bicara Koalisi Militer, bukti permulaan mulai mengarah bahwa serangan bukan berasal Yaman. Belum diketahui dari mana misil jelajah ditembakkan tetapi mulai terang bahwa senjata tersebut milik Iran.
"Hasil temuan sementara menunjukkan bahwa senjata itu milik Iran, dan kami sedang mengidentifikasi dari mana lokasi peluncurannya. Serangan teroris ini tidak berasal dari Yaman, seperti yang diklaim milisi Houthi," ungkap Al Malki, seperti dikutip dari Reuters.
Duta Besar Amerika Serikat (AS) untuk PBB Kelly Craft mempertegas hal tersebut. "Ada indikasi Iran yang bertanggung jawab," ujarnya, seperti diwartakan Reuters.
AS pun bersiap untuk segala kemungkinan. Kemarin, Presiden AS Donald Trump menegaskan bahwa Negeri Adidaya sudah mengisi dan mengokang senjata.
Iran yang tidak terima dengan tuduhan tersebut ikut panas. Teheran menyatakan bahwa misil mereka bisa menjangkau pangkalan militer AS yang berjarak lebih dari 2.000 km.
Situasi Timur Tengah yang memanas dan api Perang Teluk Jilid III bisa tersulut kapan saja risiko produksi dan distribusi minyak di kawasan itu bisa terganggu, bahkan putus. Padahal Timur Tengah adalah produsen minyak terbesar di planet ini.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Oleh karena itu, ada risiko harga minyak bisa terus bergerak ke utara. Artinya, tekanan inflasi bisa meningkat.
Nah, ini masalahnya. Ketika ada ekspektasi inflasi karena kenaikan harga minyak, bisa saja Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) menahan suku bunga acuan. Ada kemungkinan penurunan Federal Funds Rate tidak terjadi pekan ini.
Mengutip CME Fedwatch, probabilitas penurunan suku bunga acuan AS sebesar 25 basis poin (bps) pada rapat The Fed 18 September adalah 65,8%. Turun jauh dibandingkan posisi sepekan lalu yaitu 94,6%.
Semakin terbukanya peluang Ketua Jerome 'Jay' Powell dan kolega untuk menahan suku bunga menjadi energi bagi dolar AS. Akibatnya, rupiah dkk di Asia begitu tertekan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Pada Selasa (17/9/2019) pukul 09:02 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.090. Rupiah melemah 0,39% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Namun rupiah tidak sendirian. Kini seluruh mata uang utama Asia melemah di hadapan dolar AS, tidak ada yang selamat. Akan tetapi, depresiasi 0,39% membuat rupiah 'istimewa'.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 09:05 WIB:
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Tidak cuma di Asia, dolar AS memang sedang perkasa di level global. Pada pukul 09:06 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,3%.
Situasi di Timur Tengah ada kaitannya dengan kedigdayaan dolar AS. Akhir pekan lalu, ladang minyak milik Saudi Aramco (raksasa migas asal Arab Saudi) dihantam serangan pesawat tanpa awak alias drone. Bahkan ada dugaan serangan itu melibatkan misil jelajah (cruise missile).
Dampak serangan itu tidak main-main. Produksi minyak Arab Saudi sebanyak 5,7 juta barel/hari terhenti, jumlah tersebut lebih dari separuh produksi Negeri Gurun Pasir. Data Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) mencatat produksi minyak Arab Saudi pada 2018 adalah 10,32 juta barel/hari.
Angka 5,7 juta barel/hari juga sekira 5% produksi dunia. Potensi itu kini tidak ada, sehingga berpotensi mengganggu pasokan minyak di pasar dunia. Akibatnya, harga minyak berpeluang terus naik.
Belum lagi serangan itu berbuntut panjang. Berbagai pihak ramai-ramai menuding Iran sebagai dalang sekaligus pelaku serangan tersebut.
Kolonel Turki Al Malki, Juru Bicara Koalisi Militer, bukti permulaan mulai mengarah bahwa serangan bukan berasal Yaman. Belum diketahui dari mana misil jelajah ditembakkan tetapi mulai terang bahwa senjata tersebut milik Iran.
"Hasil temuan sementara menunjukkan bahwa senjata itu milik Iran, dan kami sedang mengidentifikasi dari mana lokasi peluncurannya. Serangan teroris ini tidak berasal dari Yaman, seperti yang diklaim milisi Houthi," ungkap Al Malki, seperti dikutip dari Reuters.
Duta Besar Amerika Serikat (AS) untuk PBB Kelly Craft mempertegas hal tersebut. "Ada indikasi Iran yang bertanggung jawab," ujarnya, seperti diwartakan Reuters.
AS pun bersiap untuk segala kemungkinan. Kemarin, Presiden AS Donald Trump menegaskan bahwa Negeri Adidaya sudah mengisi dan mengokang senjata.
Iran yang tidak terima dengan tuduhan tersebut ikut panas. Teheran menyatakan bahwa misil mereka bisa menjangkau pangkalan militer AS yang berjarak lebih dari 2.000 km.
Situasi Timur Tengah yang memanas dan api Perang Teluk Jilid III bisa tersulut kapan saja risiko produksi dan distribusi minyak di kawasan itu bisa terganggu, bahkan putus. Padahal Timur Tengah adalah produsen minyak terbesar di planet ini.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Oleh karena itu, ada risiko harga minyak bisa terus bergerak ke utara. Artinya, tekanan inflasi bisa meningkat.
Nah, ini masalahnya. Ketika ada ekspektasi inflasi karena kenaikan harga minyak, bisa saja Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) menahan suku bunga acuan. Ada kemungkinan penurunan Federal Funds Rate tidak terjadi pekan ini.
Mengutip CME Fedwatch, probabilitas penurunan suku bunga acuan AS sebesar 25 basis poin (bps) pada rapat The Fed 18 September adalah 65,8%. Turun jauh dibandingkan posisi sepekan lalu yaitu 94,6%.
Semakin terbukanya peluang Ketua Jerome 'Jay' Powell dan kolega untuk menahan suku bunga menjadi energi bagi dolar AS. Akibatnya, rupiah dkk di Asia begitu tertekan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular