
Walau AS-China Dingin, Bursa Saham Asia Tetap Merah
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
16 September 2019 17:18

Jakarta, CNBC Indonesia - Mayoritas bursa saham utama kawasan Asia mengakhiri perdagangan pertama di pekan ini di zona merah: indeks Shanghai turun tipis 0,02%, indeks Hang Seng jatuh 0,83%, dan indeks Straits Times melemah 0,24%.
Dinginnya hubungan AS-China di bidang perdagangan gagal memantik aksi beli di bursa saham Benua Kuning. Menjelang akhir pekan kemarin, Kementerian Perdagangan China mengumumkan bahwa produk-produk agrikultur asal AS seperti kedelai dan daging babi akan dimasukkan ke dalam daftar produk yang diberikan pembebasan atas bea masuk tambahan, dilansir dari CNBC International.
Pengumuman tersebut melengkapi pengumuman pada hari Rabu (11/9/2019) kala Kementerian Keuangan China mengumumkan daftar produk impor asal AS yang akan dibebaskan dari pengenaan bea masuk baru. Melansir CNBC International, ada sebanyak 16 jenis produk impor yang diberikan pembebasan oleh China, termasuk pakan ternak, obat untuk kanker, dan pelumas. Pembebasan ini akan mulai berlaku pada tanggal 17 September hingga September 2020.
Pembebasan produk agrikultur asal AS dari bea masuk tambahan diumumkan pasca Presiden AS Donald Trump mengumumkan melalui media sosial Twitter bahwa kenaikan bea masuk bagi produk impor asal China yang sebelumnya dijadwalkan akan mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober, diundur menjadi tanggal 15 Oktober.
Untuk diketahui, bea masuk yang diundur tersebut merupakan bea masuk yang menyasar produk impor asal China senilai US$ 250 miliar. Pemerintahan Presiden Trump akan menaikkan bea masuk bagi produk senilai US$ 250 miliar tersebut menjadi 30%, dari yang sebelumnya 25%.
Trump mengungkapkan bahwa keputusan tersebut diambil berdasarkan permintaan dari Wakil Perdana Menteri China Liu He, beserta dengan fakta bahwa tanggal 1 Oktober merupakan peringatan ke 70 tahun dari lahirnya Republik Rakyat China.
Seharusnya kehadiran sentimen positif, apalagi jika berbau damai dagang AS-China, bisa memantik aksi beli atas saham-saham di negara-negara Asia.
Potensi meletusnya perang antara AS dengan Iran membuat pelaku pasar panik dan melego saham-saham di Benua Kuning.
Pada akhir pekan kemarin, serangan menggunakan pesawat tanpa awak (drone) diluncurkan ke Arab Saudi dan menyebabkan kerusakan di kilang minyak terbesar dunia dan ladang minyak terbesar kedua di kerajaan tersebut. Akibat serangan tersebut, Saudi Aramco terpaksa memangkas produksinya hingga sekitar 50%.
Walau kaum pemberontak Houthi yang berasal dari Yemen sudah mengklaim bertanggung jawab atas serangan tersebut, AS menuduh Iran sebagai dalang yang sebenarnya, sebuah tuduhan yang sudah dibantah sendiri oleh Iran.
Trump mengatakan bahwa AS kini telah siap untuk melakukan serangan, namun pihaknya menunggu konfirmasi dari Arab Saudi terkait dengan dalang di balik serangan tersebut sebelum meluncurkan aksi balasan. Perkembangan tersebut sangat mungkin membuat AS benar-benar menyerang Iran.
Untuk diketahui, tensi antar kedua negara memang sudah memanas dalam beberapa waktu terakhir. Hubungan kedua negara mulai memanas pasca AS menarik diri dari kesepakatan internasional yang bertujuan untuk membatasi ruang gerak Iran dalam mengembangkan senjata nuklir. Menurut Trump, kesepakatan tersebut tak cukup dalam membatasi ruang gerak Iran. AS pun pada akhirnya kembali mengenakan sanksi ekonomi bagi Tehran.
Lebih lanjut, rilis data ekonomi China yang mengecewakan ikut menjadi faktor yang memantik aksi jual di bursa saham Asia. Pada pagi hari ini, produksi industri China periode Agustus 2019 diumumkan hanya tumbuh sebesar 4,4% secara tahunan, di bawah konsensus yang sebesar 5,2%, seperti dilansir dari Trading Economics. Kemudian, penjualan barang-barang ritel periode Agustus hanya tumbuh 7,5% secara tahunan, juga di bawah konsensus yang sebesar 7,9%, dilansir dari Trading Economics.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article Top! Awal Tahun Bursa Asia Hijau, Tanda akan Bangkitkah?
Dinginnya hubungan AS-China di bidang perdagangan gagal memantik aksi beli di bursa saham Benua Kuning. Menjelang akhir pekan kemarin, Kementerian Perdagangan China mengumumkan bahwa produk-produk agrikultur asal AS seperti kedelai dan daging babi akan dimasukkan ke dalam daftar produk yang diberikan pembebasan atas bea masuk tambahan, dilansir dari CNBC International.
Pengumuman tersebut melengkapi pengumuman pada hari Rabu (11/9/2019) kala Kementerian Keuangan China mengumumkan daftar produk impor asal AS yang akan dibebaskan dari pengenaan bea masuk baru. Melansir CNBC International, ada sebanyak 16 jenis produk impor yang diberikan pembebasan oleh China, termasuk pakan ternak, obat untuk kanker, dan pelumas. Pembebasan ini akan mulai berlaku pada tanggal 17 September hingga September 2020.
Untuk diketahui, bea masuk yang diundur tersebut merupakan bea masuk yang menyasar produk impor asal China senilai US$ 250 miliar. Pemerintahan Presiden Trump akan menaikkan bea masuk bagi produk senilai US$ 250 miliar tersebut menjadi 30%, dari yang sebelumnya 25%.
Trump mengungkapkan bahwa keputusan tersebut diambil berdasarkan permintaan dari Wakil Perdana Menteri China Liu He, beserta dengan fakta bahwa tanggal 1 Oktober merupakan peringatan ke 70 tahun dari lahirnya Republik Rakyat China.
Seharusnya kehadiran sentimen positif, apalagi jika berbau damai dagang AS-China, bisa memantik aksi beli atas saham-saham di negara-negara Asia.
Potensi meletusnya perang antara AS dengan Iran membuat pelaku pasar panik dan melego saham-saham di Benua Kuning.
Pada akhir pekan kemarin, serangan menggunakan pesawat tanpa awak (drone) diluncurkan ke Arab Saudi dan menyebabkan kerusakan di kilang minyak terbesar dunia dan ladang minyak terbesar kedua di kerajaan tersebut. Akibat serangan tersebut, Saudi Aramco terpaksa memangkas produksinya hingga sekitar 50%.
Walau kaum pemberontak Houthi yang berasal dari Yemen sudah mengklaim bertanggung jawab atas serangan tersebut, AS menuduh Iran sebagai dalang yang sebenarnya, sebuah tuduhan yang sudah dibantah sendiri oleh Iran.
Trump mengatakan bahwa AS kini telah siap untuk melakukan serangan, namun pihaknya menunggu konfirmasi dari Arab Saudi terkait dengan dalang di balik serangan tersebut sebelum meluncurkan aksi balasan. Perkembangan tersebut sangat mungkin membuat AS benar-benar menyerang Iran.
Untuk diketahui, tensi antar kedua negara memang sudah memanas dalam beberapa waktu terakhir. Hubungan kedua negara mulai memanas pasca AS menarik diri dari kesepakatan internasional yang bertujuan untuk membatasi ruang gerak Iran dalam mengembangkan senjata nuklir. Menurut Trump, kesepakatan tersebut tak cukup dalam membatasi ruang gerak Iran. AS pun pada akhirnya kembali mengenakan sanksi ekonomi bagi Tehran.
Lebih lanjut, rilis data ekonomi China yang mengecewakan ikut menjadi faktor yang memantik aksi jual di bursa saham Asia. Pada pagi hari ini, produksi industri China periode Agustus 2019 diumumkan hanya tumbuh sebesar 4,4% secara tahunan, di bawah konsensus yang sebesar 5,2%, seperti dilansir dari Trading Economics. Kemudian, penjualan barang-barang ritel periode Agustus hanya tumbuh 7,5% secara tahunan, juga di bawah konsensus yang sebesar 7,9%, dilansir dari Trading Economics.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article Top! Awal Tahun Bursa Asia Hijau, Tanda akan Bangkitkah?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular