Analisis Teknikal

Batu Bara Masih Akan Naik Seiring Kebutuhan Industri di China

Yazid Muamar, CNBC Indonesia
13 September 2019 18:48
Perlambatan ekonomi, perang dagang, pengurangan emisi Eropa, dan pembatasan impor batu bara Australia oleh China memacu permintaan.
Foto: Tambang batubara Tarrawonga Whitehaven Coal di Boggabri, New South Wales, Australia. (Whitehaven Coal Ltd/Handout via REUTERS)
Jakarta, CNBC Indonesia - Isu perlambatan ekonomi global, perang dagang Amerika Serikat (AS)-China, kebijakan pengurangan emisi karbon negara Eropa, serta pembatasan impor batu bara Australia oleh China masih menjadi isu utama pergerakan harga batu bara setahun terakhir.

Harga batu bara acuan Ice Europe Newcastle kontrak pengiriman Oktober pada Kamis (12/9/2019), ditutup dengan kenaikan tipis sebesar 0,8% ke level US$ 68,2/metrik ton.

Sentimen positif bagi batu bara datang dari China. Produksi baja di Negeri Tirai Bambu naik 10% year-on-year (YoY) untuk periode April-Januari. Produksi feronikel China juga tercatat naik 9,1% YoY. Produksi baja dan feronikel yang masih kuat mengindikasikan kebutuhan akan batu bara yang masih tinggi.

Secara teknikal, harga batu bara bergerak turun (downtrend), harganya yang turun sebesar 32,7% mengkonfirmasi bahwa komoditas batu hitam tersebut sedang tertekan. Pada minggu lalu harga batu bara terangkat 6% berkat pembatasan produksi batu bara oleh China dan aksi beli cukup masif karena harganya yang tertekan sangat dalam.

Dalam jangka menengah pendek, harga batu bara berpotensi menguat seiring posisi harganya yang bergerak di atas rata-rata nilainya dalam 5 dan 20 hari terakhir (moving average/MA5/MA20) yang ditunjukan garis hijau dan ungu.

Ada potensi harganya naik menguji level US$ 70/metrik ton pada minggu depan. Ruang penguatannya cukup terbuka menurut indikator teknikal Relative Strength Index (RSI) karena belum menyentuh level jenuh belinya (overbought).

Sumber: Tim Riset CNBC Indonesia, Refinitiv
Harga batu bara masih berpotensi untuk naik dikarenakan tiga hal. Pertama, prediksi adanya peningkatan temperatur yang melanda Jepang dan Korea. Saat udara panas, penggunaan listrik untuk pendingin ruangan meningkat. Artinya, kebutuhan batu bara untuk pembangkit listrik pun bertambah.

Kedua, prospek peningkatan permintaan kebetulan dibarengi oleh penurunan stok. Pada 6 September, stok batu bara di Pelabuhan Qinhuangdao di China adalah 55,5 juta ton, turun dari periode yang sama tahun lalu yaitu 65,3 juta ton.

Ketiga mengutip data Refinitiv, impor batu bara China secara month-to-date tercatat 5,2 juta ton, lebih rendah dari tahun lalu yang mencapai 5,6 juta ton. Namun, dari Januari-Agustus 2019, total impor batu bara China naik 11% menjadi 191 juta ton dibandingkan pada periode yang sama tahun lalu sebesar 172 juta ton.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(yam/yam) Next Article Aktivitas Ekspor-Impor Turun, Harga Batu Bara Bisa ke US$ 67

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular