
Mohon Maaf, Tampaknya Rentetan Penguatan IHSG Akan Terputus!

Jakarta, CNBC Indonesia - Mengawali perdagangan hari ini dengan apresiasi sebesar 0,27% ke level 6.398,995, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat bertahan di zona hijau sekitar satu jam. Namun kemudian, IHSG terperosok ke zona merah dan tak bisa bangkit lagi.
Per akhir sesi satu, indeks saham acuan di Indonesia tersebut melemah 0,36% ke level 6.358,996. Jika IHSG tak mampu menutup hari di zona hijau, maka rentetan penguatan selama enam hari beruntun akan terputus.
IHSG melemah kala bursa saham utama kawasan Asia sedang ditransaksikan bervariasi: indeks Nikkei menguat 0,96%, indeks Shanghai naik 0,29%, indeks Hang Seng jatuh 0,13%, dan indeks Straits Times melemah 0,35%.
Sentimen positif bagi bursa saham Benua Kuning pada hari ini datang dari hubungan AS-China di bidang perdagangan yang semakin romantis. Pada pagi hari ini, Presiden AS Donald Trump mengumumkan melalui media sosial Twitter bahwa kenaikan bea masuk bagi produk impor asal China yang sebelumnya dijadwalkan akan mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober, diundur menjadi tanggal 15 Oktober.
![]() |
Untuk diketahui, bea masuk yang diundur tersebut merupakan bea masuk yang menyasar produk impor asal China senilai US$ 250 miliar. Pemerintahan Presiden Trump akan menaikkan bea masuk bagi produk senilai US$ 250 miliar tersebut menjadi 30%, dari yang sebelumnya 25%.
Trump mengungkapkan bahwa keputusan tersebut diambil berdasarkan permintaan dari Wakil Perdana Menteri China Liu He, beserta dengan fakta bahwa tanggal 1 Oktober merupakan peringatan ke 70 tahun dari lahirnya Republik Rakyat China.
Lantas, etikat baik dari AS ini melengkapi etikat baik yang sudah ditunjukkan oleh China. Kemarin (11/9/2019), Kementerian Keuangan China mengumumkan daftar produk impor asal AS yang akan dibebaskan dari pengenaan bea masuk baru. Melansir CNBC International, ada sebanyak 16 jenis produk impor yang diberikan pembebasan oleh China, termasuk pakan ternak, obat untuk kanker, dan pelumas. Pembebasan ini akan mulai berlaku pada tanggal 17 September hingga September 2020.
Sebelumnya, indikasi bahwa China akan mengumumkan kebijakan semacam ini sudah tercium dari pernyataan Hu Xijin selaku Pemimpin Redaksi Global Times. Melalui cuitan di akun Twitter, Hu menyebut bahwa China akan mengumumkan sebuah kebijakan untuk mengurangi dampak dari perang dagang dengan AS, di mana kebijakan tersebut disebutnya akan menguntungkan kedua belah pihak.
"Berdasarkan yang saya tahu, China akan mengumumkan kebijakan untuk mengurangi dampak negatif dari perang dagang. Kebijakan tersebut akan menguntungkan beberapa perusahaan baik dari China maupun AS," tulis Hu.
Untuk diketahui, Global Times merupakan sebuah tabloid yang berada di bawah naungan People's Daily. People's Daily sendiri merupakan sebuah koran yang dikontrol oleh Partai Komunis China. Sebelumnya, berbagai proyeksi dari Hu terkait dengan perang dagang AS-China terbukti berbuah menjadi kenyataan, termasuk untuk kali ini.
Sebagai informasi, sejauh ini kedua negara masih dijadwalkan untuk menggelar negosiasi dagang secara tatap muka pada awal bulan depan. Pada hari Senin (9/9/2019), Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin mengatakan bahwa perbincangan di level wakil menteri akan digelar pada bulan ini, diikuti dengan negosiasi tatap muka di level yang lebih tinggi pada awal Oktober.
Negosiasi tatap muka di AS pada awal bulan depan diketahui akan melibatkan Mnuchin sendiri, Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer, Wakil Perdana Menteri China Liu He, serta Gubernur Bank Sentral China Yi Gang.
Mnuchin bahkan menyebut bahwa AS dan China telah mencapai kesepakatan terkait dengan konsep pengawasan yang akan digunakan untuk kesepakatan dagang kedua negara nantinya, melansir CNBC International.
Di sisi lain, sentimen negatif datang dari kekhawatiran terkait dengan hasil pertemuan European Central Bank (ECB) selaku bank sentral Eropa. Pada malam hari ini waktu Indonesia, ECB akan mengumumkan hasil pertemuannya.
Melansir konsensus yang dihimpun oleh Refinitiv, bank sentral pimpinan Mario Dragi tersebut diekspektasikan memangkas deposit facility rate sebesar 10 basis poin (bps), dari -0,4% menjadi -0,5%.
Pelaku pasar tampak bermain aman sembari menunggu keputusan ECB. Pasalnya jika sampai deposit facility rate tak dipangkas, perekonomian negara-negara Benua Biru bisa semakin tertekan.
Untuk diketahui, Jerman selaku negara dengan nilai perekonomian terbesar keempat di dunia dan pertama di Benua Eropa kini sedang menuju jurang resesi. Pada kuartal II-2019, pertumbuhan ekonomi Jerman tercatat jatuh sebesar 0,1% secara kuartalan (quarter-on-quarter). Jika di kuartal III-2019 tetap terjadi kontraksi, maka negara pimpinan Kanselir Angela Merkel tersebut akan resmi masuk ke jurang resesi.
Sebagai informasi, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.
BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> Saham-saham Konsumer Jadi Beban (NEXT)
