RUPSLB Bank BUMN Kelar, Ini PR 4 Bank Pelat Merah

Monica Wareza, CNBC Indonesia
03 September 2019 17:43
Bank-bank BUMN di awal pekan ini telah menyelesaikan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa.
Foto: Gedung Kementerian BUMN (detik.com/Hendra Kusuma)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank-bank BUMN di awal pekan ini telah menyelesaikan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) dengan agenda yang dilaksanakan antara lain pergantian direksi dan komisaris perusahaan serta evaluasi kinerja hingga semester I-2019.

Keempatnya adalah PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) pada 28 Agustus, PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) pada 29 Agustus, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) 30 Agustus, dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) pada 2 September lalu.

Pucuk pimpinan Bank Mandiri dan BNI tidak diganti, sementara Bank BTN dan BBRI susunan direksi dirombak dan pucuk pimpinan diganti. RUPSLB Bank BTN bahkan sempat bergejolak setelah Suprajarto yang ditunjuk menjadi Dirut BTN menolak menggantikan Maryono.


Pengamat perbankan Indonesia Banking School (IBS) Batara Simatupang mengatakan pekerjaan rumah yang saat ini disoroti di bank-bank BUMN adalah kondisi rasio kecukupan modal alias capital adequacy ratio (CAR) yang lebih tinggi dibanding dengan bank-bank di regional.

Masih tingginya CAR ini seharusnya bisa membuat bank bisa menyalurkan kredit lebih besar lagi.

Dia membandingkan, CAR perbankan dalam negeri hingga Juni 2019 lalu berada di level 22,63% sedangkan rata-rata CAR di perbankan Thailand, Filipina, Malaysia dan Singapura berada di kisaran 13,6%-15,8%. Masih tingginya selisih ini dinilai sebagai kemampuan bank untuk bisa menyalurkan kredit yang lebih besar pula.

"Kalau kita punya CAR segitu ekspansi kredit bisa mencapai Rp 438 triliun kan secara nasional. Itu bisa mendongkrak GDP [PDB] kalau didorong ke kredit produktivitas bukan ke konsumer," kata Batara kepada CNBC Indonesia, Selasa (3/9/2019).

Kemudian, dia juga menyoroti tingginya nilai fasilitas kredit yang tidak dicairkan oleh debitur atau kredit 'nganggur' (undisbursed loan) yang mencapai Rp 500 triliun yang dinilai justru membebani cost of fund atau beban bunga perbankan.

Tingginya nilai undisbursed loan menandakan tingginya nilai dana menganggur di bank yang tak produktif. Padahal seharusnya bisa digunakan untuk menyalurkan kredit untuk mendorong produktivitas.

Tak hanya itu, menurut dia perbankan masih perlu didorong untuk meningkatkan modalnya lantaran pertumbuhan perekonomian di Indonesia saat ini masih bertumpu salah satunya pada pembiayaan dari perbankan.

"Sepanjang perbankan nasional capital-nya rendah ini tidak akan memberikan dampak signifikan untuk bawa Indonesia keluar dari middle income trap [perangkap pendapatan menengah]," kata dia.

"Itu yang harus dipertimbangkan, jangan ambil kebijakan tidak integrated, kebijakan jangan buat industri aja buat naikin dividen tapi korbankan perekonomian. Karena pemeliharaan CAR itu akan turunkan ROA dan ROE juga," tandasnya.

Statistik perbankan Indonesia (SPI) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) periode Juni 2019 mencatat undisbursed loan atau kredit yang belum dicairkan oleh nasabah tercatat Rp 1.516 triliun. Angka ini meningkat sekitar 5,1% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya Rp 1.442 triliun.


(tas/tas) Next Article Sah! Haru Koesmahargyo jadi Dirut BTN, Gantikan Pahala

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular