
Merah Lagi, Tak Ada September Ceria Bagi IHSG

Lantas, IHSG selalu melemah dalam dua hari perdagangan pertama di bulan September. Pada perdagangan kemarin (2/9/2019), IHSG jatuh sebesar 0,6%.
Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam mendorong IHSG melemah di antaranya: PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (-3,83%), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (-1,66%), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (-1,36%), PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR (-0,99%), dan PT Bank Negara Indonesia Tbk/BBNI (-2,3%).
Rilis data ekonomi China yang menggembirakan sukses memantik aksi beli di bursa saham Benua Kuning. Kemarin, Manufacturing PMI China periode Agustus 2019 versi Caixin diumumkan di level 50,4, lebih baik dari konsensus yang memperkirakannya di level 49,8, seperti dilansir dari Trading Economics.
Sebagai informasi, angka di atas 50 berarti aktivitas manufaktur membukukan ekspansi jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya, sementara angka di bawah 50 menunjukkan adanya kontraksi.
Pada dua bulan sebelumnya (Juni dan Juli), aktivitas manufaktur China tercatat selalu membukukan kontraksi. Alhasil, ekspansi yang dicatatkan pada bulan Agustus sukses mendorong pelaku pasar untuk melakukan aksi beli di bursa saham Asia.
Di sisi lain, perkembangan perang dagang AS-China yang tak positif membatasi aksi beli yang dilakukan oleh pelaku pasar. Menurut sumber-sumber yang mengetahui masalah tersebut, pejabat pemerintahan AS dan China kini sedang kesulitan untuk menyetujui gelaran negosiasi dagang secara tatap muka antar delegasi kedua negara yang rencananya akan digelar pada bulan ini, melansir Bloomberg.
Penyebabnya, AS menolak permintaan dari Beijing untuk menunda pengenaan bea masuk baru bagi produk impor asal China yang dimulai pada akhir pekan kemarin.
Padahal, sebelumya Presiden AS Donald Trump mengungkapkan bahwa negosiasi dagang masih terjadwal, sembari mengindikasikan bahwa kedua negara berada di jalur yang tepat untuk menggelar pertemuan tatap muka yang sangat dinantikan oleh pelaku pasar tersebut.
"Kami berbicara dengan China, pertemuan (tatap muka) masih terjadwal seperti yang kalian ketahui, di bulan September. Itu belumlah berubah - mereka belum mengubahnya, kami juga belum. Kita lihat saja apa yang akan terjadi," kata presiden AS ke-45 tersebut pada akhir pekan kemarin, dilansir dari Bloomberg.
Seperti yang diketahui, pada tanggal 1 September waktu setempat AS resmi memberlakukan bea masuk baru sebesar 15% yang menyasar produk impor asal China senilai US$ 112 miliar. Pakaian, sepatu, hingga kamera menjadi bagian dari daftar produk yang diincar AS pada kesempatan ini.
Di sisi lain, aksi balasan dari China berlaku selepas AS bersikeras menerapkan bea masuk baru terhadap Beijing. China mengenakan bea masuk baru yang berkisar antara 5-10% bagi sebagian produk yang masuk dalam daftar target senilai US$ 75 miliar. Daging babi, daging sapi, dan berbagai produk pertanian lainnya tercatat masuk dalam daftar barang yang menjadi lebih mahal per tanggal 1 September kemarin.
Untuk diketahui, AS masih akan mengenakan bea masuk baru terhadap berbagai produk impor China lainnya pada tanggal 15 Desember. Jika ditotal, nilai barang yang terdampak dari kebijakan AS pada hari ini dan tanggal 15 Desember nanti adalah US$ 300 miliar, dilansir dari CNBC International.
Sementara itu, sisa barang dalam daftar target senilai US$ 75 miliar yang hingga kini belum dikenakan bea masuk baru oleh China, akan mulai terdampak pada tanggal 15 Desember.
Ada potensi yang sangat besar bahwa perang dagang AS-China akan kembali tereskalasi dalam waktu dekat dan membawa perekonomian keduanya mengalami hard landing alias perlambatan pertumbuhan ekonomi yang signifikan.
Untuk diketahui, pada tahun 2018, International Monetary Fund (IMF) mencatat perekonomian AS tumbuh sebesar 2,857%, menandai laju pertumbuhan ekonomi tertinggi sejak tahun 2015.
Pada tahun 2019, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi AS melambat menjadi 2,6%. Untuk tahun 2020, pertumbuhan ekonomi AS diproyeksikan kembali merosot menjadi 1,9% saja.
Sementara untuk China, pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2019 diproyeksikan melandai ke level 6,2%, dari yang sebelumnya 6,6% pada tahun 2018. Pada tahun depan, pertumbuhannya kembali diproyeksikan melandai menjadi 6%.
Kala dua negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia mengalami yang namanya hard landing, maka perekonomian dunia dipastikan akan mengalami tekanan yang signifikan juga.
BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> Bukan Cuma Perang Dagang, Brexit Juga Bikin Gemetar
Bukan cuma perang dagang AS-China, proses perceraian Inggris dengan Uni Eropa alias Brexit juga membuat gemetar. Beberapa waktu yang lalu, Ratu Elizabeth memberikan restunya kepada Perdana Menteri Inggris Boris Johnson untuk menskors parlemen Inggris.
Sejatinya, parlemen Inggris akan kembali dari masa reses dan mulai beraktivitas pada pekan ini hingga tanggal 9 September, sebelum kemudian menikmati masa reses lagi selama tiga minggu. Kini, kebijakan dari Johnson untuk menskors parlemen akan memperpanjang masa reses menjadi lima minggu. Parlemen akan kembali dibuka pada tanggal 14 Oktober.
Langkah Johnson ini dipandang sebagai taktik untuk mencegah para anggota parlemen Inggris yang berambisi untuk mematikan opsi perceraian Inggris dengan Uni Eropa tanpa kesepakatan apapun (No-Deal Brexit). Sebelumnya, Johnson memang sudah berjanji untuk membawa Inggris keluar dari Uni Eropa selambat-lambatnya pada 31 Oktober, baik dengan atau tanpa kesepakatan.
Sebelum Johnson memutuskan untuk menskors parlemen, anggota parlemen dari partai oposisi sudah memberi sinyal bahwa mereka akan bersatu dalam membuat sebuah hukum yang akan memblokir Johnson dari mengeksekusi No-Deal Brexit.
Ingat, tanggal perceraian Inggris dengan Uni Eropa adalah 31 Oktober sehingga diberikannya masa reses yang lebih panjang oleh Johnson akan menyulitkan parlemen untuk menggolkan hukum yang bisa mencegah No-Deal Brexit.
Bank of England yang merupakan bank sentral Inggris telah memperingatkan bahwa No-Deal Brexit bisa mendorong Inggris jatuh ke jurang resesi.
Perkembangan teranyar, Johnson kembali bermanuver dengan menyatakan akan mengadakan pemilu sela jika parlemen mencoba menjegal rencananya. Pemilu sela tersebut dimaksudkan untuk mengubah komposisi parlemen agar diisi lebih banyak pendukungnya.
Strategi ini bisa berhasil jika mengingat masyarakat Inggris sepertinya sudah lelah dengan tarik-ulur masalah Brexit, sehingga Johnson dan Partai Konservatif pimpinannya kemungkinan akan memenangi pemilu dan memperbanyak kursi di parlemen.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/ank) Next Article Besok AS-China Deal! IHSG Nyaman di Zona Hijau
