Rupiah Lemah di Pasar Spot dan Kurs Tengah Bi, Ini Sebabnya

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
03 September 2019 10:41
Rupiah Lemah di Pasar Spot dan Kurs Tengah Bi, Ini Sebabnya
Ilustrasi Dolar AS dan Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Rupiah pun tidak berdaya menghadapi dolar AS di pasar spot.

Pada Selasa (3/9/2019), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar rate/Jisdor menunjukkan angka Rp 14.217. Rupiah melemah 0,19% dibandingkan posisi hari sebelumnya.


Sementara di perdagangan pasar spot, rupiah pun lesu. Pada pukul 10:04 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.225 di mana rupiah melemah 0,25%.

Kala pembukaan pasar, rupiah masih melemah tipis 0,04%. Namun seiring perjalanan pasar, depresiasi rupiah kian dalam dan dolar AS berhasil menembus level Rp 14.200.


Meski begitu, pelemahan rupiah dapat dimaklumi. Sebab, mata uang utama Asia juga mayoritas melemah di hadapan greenback.

Rupee India menjadi mata uang terlemah di Asia, disusul oleh ringgit Malaysia di posisi kedua terbawah dan rupiah tepat di atasnya. Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 10:06 WIB:

 



(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Hari ini suasana memang sedang kurang mendukung. Begitu banyak sentimen negatif yang beredar dan memaksa pelaku pasar untuk bermain aman.

Pertama, perang dagang AS-China memasuki babak lanjutan. Akhir pekan lalu, kedua negara telah mengeksekusi bea masuk baru.

Mulai 1 September, AS mengenakan bea masuk 15% bagi importasi produk China senilai US$ 125 miliar, di antara berlaku bagi pengeras suara (speaker), headphone, sampai pakaian. Gelombang kedua bea masuk 15% akan berlaku mulai 15 Desember, yang mencakup impor produk China senilai US$ 156 miliar dari mulai alat makan plastik, kaus kaki, lampu LED, sampai dekorasi untuk keperluan Hari Natal.

Sementara China memberlakukan bea masuk 5-10% untuk importasi produk AS senilai US$ 75 miliar. Selain itu, ada kenaikan bea masuk untuk produk yang selama ini sudah menjadi 'korban', misalnya kedelai (dari 25% naik menjadi 30%).

Situasi semakin pelik kala China mengadukan AS ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Tidak disebutkan rincian dari laporan itu, tetapi China menyatakan kebijakan AS telah mempengaruhi ekspor mereka sebesar US$ 300 miliar.


"China telah melakukan tindakan yang unilateral dan kebijakan industri yang agresif kepada para mitra dagangnya untuk secara tidak adil mencuri dan menguasai teknologi. AS menerapkan bea masuk untuk menghapus kebijakan China yang tidak adil dan mengganggu," tegas pembelaan tertulis dari Washington, seperti diberitakan Reuters.

AS punya waktu 60 hari untuk menyelesaikan perkara ini, sesuai aturan WTO. Kemudian China bisa meminta keberatan, dan prosesnya bisa memakan waktu hitungan tahun. Namun jika China menang, maka mereka berhak menjatuhkan sanksi perdagangan kepada AS.


Baca: Perang Dagang, Investor Diminta Percaya China Bukan Trump


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Sentimen kedua datang dari Inggris. Kurang dari dua bulan lagi Inggris resmi bercerai dengan Uni Eropa, tetapi kondisi politik di Negeri Ratu Elizabeth masih saja gaduh.

Perdana Menteri Boris Johnson masih berkeras akan membawa Inggris keluar dari Uni Eropa (Brexit) pada 31 Oktober, deal or no deal. Namun kubu oposisi di parlemen sedang berupaya untuk menggagalkan upaya tersebut, karena khawatir no deal Brexit akan membawa Inggris ke jurang resesi. Ada wacana untuk kembali memundurkan waktu pelaksanaan Brexit tiga bulan setelah 31 Oktober. 

Baca: Hati-Hati, No-Deal Brexit Kian Nyata!

Johnson tidak mau mundur lagi. Pokoknya cerai. Oleh karena itu, dia menyiratkan akan menggelar Pemilu yang dipercepat jika parlemen masih menghalangi jalannya. Jadwal Pemilu Inggris berikutnya adalah 2022.

"Saya ingin semua orang tahu bahwa tidak ada hal yang bisa membuat saya meminta Brussel untuk menunda (Brexit). Kami pergi 31 Oktober, tanpa 'jika' dan 'tetapi'.

"Saya sebenarnya tidak mau ada Pemilu (yang dipercepat), Anda juga tidak mau. Jadi mari selesaikan agenda amanat rakyat," tegas Johson, seperti diberitakan Reuters.


Perang dagang AS-China yang memanas dan politik Inggris yang gaduh membuat pelaku pasar hanya punya sedikit pilihan. Sayangnya, pilihan itu tidak menuju ke aset-aset berisiko di negara berkembang Asia... 


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular