Karena Tren Musiman, Harga Batu Bara Kokas Dipangkas Lagi

Irvin Avriano Arief, CNBC Indonesia
30 August 2019 15:16
Harga batu bara kokas (coking coal) hingga akhir 2019 diprediksi hanya naik hingga US$ 185 per ton dari posisi saat ini sekitar US$ 154 per ton.
Foto: Tambang batubara Maules Creek Whitehaven Coal di New South Wales, Australia (Whitehaven Coal Ltd/Handout via REUTERS)
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara kokas (coking coal) hingga akhir 2019 diprediksi hanya naik hingga US$ 185 per ton dari posisi saat ini sekitar US$ 154 per ton.

Fitch Solutions Macro Research, dalamrilisnya hari ini (30/8/19), menyatakan angka itu diturunkan dari prediksi sebelumnya US$ 195 per ton karenamelemahnya harga akibat permintaan musiman dari China yang mulai melambat mulai tengah tahun serta redanya BadaiVeronika di Australia. Mereka menuliskan bahwa prediksi harga tersebut merupakan harga batu bara kokas premium hard Australia.

 

Proyeksi Harga Batu Bara Kokas Dipangkas Karena Tren MusimanFoto: commodity

Lembaga riset tersebut menyebutkan bahwa tren penurunan permintaan secara musiman biasanya terjadi selepas Juni. Faktor badai yang sempat menghambat produksi batu bara pada kuartal II-2019 akhirnya memudar, tetapi di sisi lain justru menambah suplai yang turut menurunkan harga.


Fitch Solutions adalah lembaga riset yang terafiliasi dengan lembaga pemeringkat Fitch Ratings tetapi memiliki independensi sehingga risetnya tidak terkait sama sekali dengan Fitch Ratings.

Prediksi harga kokas Australia sebelumnya ditetapkan Fitch Solutions ketika harga komoditas tersebut masih berada di kisaran US$ 208 per ton pada medio Mei 2019.

Turunnya harga batu bara kokas asal Australia sejak Mei hingga ke posisi sekarang disebabkan oleh lamanya proses bongkar muat komoditas tersebut hingga 3 bulan di pelabuhan China dan membuat konsumennya mengalihkan pesanan ke negara lain seperti Mongolia dan Rusia. Lamanya bongkar muat (clearing) di pelabuhan disebabkan oleh inspeksi yang ketat dan pembatasan impor.

Meskipun ramai sentimen negatif, jumlah permintaan China terhadap batu bara kokas Australia masih dapat bertahan pada semester I-2019 dan hingga akhir tahun karena dampaknya diprediksi hanya akan sementara.

Selain itu, sentimen positif yang ada di depan mata adalah tensi perang dagang Amerika Serikat (AS)-China yang akan membuat Negeri Tirai Bambu akan fokus pada industri di dalam negeri dan proyek infrastruktur serta menopang kenaikan produksi baja China.

Produksi baja yang meningkat tentu saja diprediksi akan menjaga permintaan batu bara dan menjaga dari kejatuhan harganya di pasar. Lembaga riset itu juga mencatat produksi baja China sudah naik 10,2% YoY pada semester I-2019.

Batu bara terbagi dalam tiga kelas utama, yaitu batu bara thermal (steaming coal), batu bara kokas (metallurgical coal), dan antrasit. Batu bara thermal umum digunakan untuk pembangkit listrik, batu bara kokas untuk industri besi dan baja, sedangkan antrasit yang lebih keras digunakan sebagai produk subtitusi batu bara kokas di industri baja yang lebih mahal.

Sepanjang paruh pertama tahun ini, impor batu bara kokas Australia dari konsumen terbesarnya yaitu India naik 25,8% sepanjang kuartal II-2019, sedangkan importir terbesar kedua yaitu China turun 8,8%.


Kondisi sekarang diprediksi akan membuat permintaan sekaligus harga mineral hitam tersebut tertahan di level yang relatif sama dengan potensi kenaikan yang kecil dan tidak mampu menyamai posisi tinggi yang terjadi pada 2019 dan 2020.

Untuk jangka panjang, Fitch Solutions memprediksi harga batu bara kokas pada tahun depan akan memulai tren penurunan dalam beberapa tahun yang terutama didorong oleh perlambatan industri baja China dan masalah lingkungan yang akan membatasi impor batu bara. 

TIM RISET CNBC INDONESIA


(irv/irv) Next Article Potensi Batu Bara Bagus Bukan di China Tapi India

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular