AS-China Dingin, Empat Hari Sudah IHSG Bertahan Hijau!

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
30 August 2019 12:18
AS-China Dingin, Empat Hari Sudah IHSG Bertahan Hijau!
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Mengawali perdagangan terakhir di pekan ini dengan apresiasi sebesar 0,43% ke level 6.316,12, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) belum pernah terpeleset ke zona merah. Per akhir sesi satu, penguatan indeks saham acuan di Indonesia tersebut adalah sebesar 0,41% ke level 6.314,67. IHSG berada di jalur yang tepat untuk mencetak penguatan selama empat hari beruntun.

Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam mendongkrak kinerja IHSG di antaranya: PT Astra International Tbk/ASII (+3,5%), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (+1,14%), PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (+0,5%), PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (+1,77%), dan PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR (+0,57%).

Kinerja IHSG senada dengan seluruh bursa saham utama kawasan Asia yang sedang kompak melaju di zona hijau. Hingga berita ini diturunkan, indeks Nikkei melejit 1,33%, indeks Shanghai menguat 0,23%, indeks Hang Seng naik 0,69%, indeks Straits Times terapresiasi 0,8%, dan indeks Kospi melonjak 1,84%.

Peluang digelarnya negosiasi dagang AS-China secara tatap muka membuat aksi beli dilakukan oleh pelaku pasar saham Benua Kuning.

Kemarin (29/8/2019), Kementerian Perdagangan China mengatakan bahwa AS dan China sedang mendiskusikan pertemuan tatap muka yang dijadwalkan untuk bulan September.

Jadi-tidaknya negosiasi dagang tatap muka tersebut akan ditentukan oleh apakah AS bisa menciptakan kondisi yang baik untuk negosiasi dagang tatap muka tersebut, seperti dilansir dari Reuters. Kementerian Perdagangan China tak memberi informasi lebih lanjut terkait dengan kondisi yang mereka maksud tersebut.

"Hal yang terpenting pada saat ini adalah untuk menciptakan kondisi yang baik untuk kedua belah pihak melanjutkan negosiasi," kata Juru Bicara Kementerian Perdagangan China Gao Feng, dilansir dari Reuters.

Gao juga menyebut bahwa China ingin untuk menyelesaikan sengketa dagang kedua negara dengan ketenangan dan bahwa pihaknya tidak menginginkan eskalasi tensi AS-China lebih lanjut, dilansir dari CNBC International.

"Kami dengan tegas menolak eskalasi perang dagang dan ingin bernegosiasi dan berkolaborasi untuk menyelesaikan permasalahan ini dengan sikap yang tenang," kata Gao, sembari menambahkan bahwa delegasi China dan AS telah menjaga komunikasi yang efektif.

Pernyataan dari pihak China tersebut membuat pelaku pasar lega lantaran sebelumnya ada kekhawatiran bahwa AS dan China akan sama-sama all-in dalam menghadapi perang dagang yang sudah berlangsung selama lebih dari satu setengah tahun tersebut.

Seperti yang diketahui, tensi antara kedua negara memanas menjelang dan pada saat akhir pekan lalu. Penyebabnya, China mengumumkan bahwa pihaknya akan membebankan bea masuk bagi produk impor asal AS senilai US$ 75 miliar. Pembebanan bea masuk tersebut akan mulai berlaku efektif dalam dua waktu, yakni 1 September dan 15 Desember. Bea masuk yang dikenakan China berkisar antara 5%-10%.

Lebih lanjut, China juga mengumumkan pengenaan bea masuk senilai 25% terhadap mobil asal pabrikan AS, serta bea masuk sebesar 5% atas komponen mobil, berlaku efektif pada 15 Desember. Untuk diketahui, China sebelumnya telah berhenti membebankan bea masuk tersebut pada bulan April, sebelum kini kembali mengaktifkannya.

AS pun merespons dengan mengumumkan bahwa per tanggal 1 Oktober, pihaknya akan menaikkan bea masuk bagi US$ 250 miliar produk impor asal China, dari yang saat ini sebesar 25% menjadi 30%.

Sementara itu, bea masuk bagi produk impor asal China lainnya senilai US$ 300 miliar yang akan mulai berlaku pada 1 September (ada beberapa produk yang pengenaan bea masuknya diundur hingga 15 Desember), akan dinaikkan menjadi 15% dari rencana sebelumnya yang hanya sebesar 10%.

Kala AS-China bisa meneken kesepakatan dagang, maka perekonomian keduanya bisa dihindarkan dari yang namanya hard landing.

Untuk diketahui, pada tahun 2018, International Monetary Fund (IMF) mencatat perekonomian AS tumbuh sebesar 2,857%, menandai laju pertumbuhan ekonomi tertinggi sejak tahun 2015.

Pada tahun 2019, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi AS melambat menjadi 2,6%. Untuk tahun 2020, pertumbuhan ekonomi AS diproyeksikan kembali merosot menjadi 1,9% saja.

Sementara untuk China, pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2019 diproyeksikan melandai ke level 6,2%, dari yang sebelumnya 6,6% pada tahun 2018. Pada tahun depan, pertumbuhannya kembali diproyeksikan melandai menjadi 6%.

BERLANJUT KE HALAMAN 2 ->

Lebih lanjut, optimisme investor terhadap instrumen yang relatif berisiko seperti saham juga terpantik oleh rilis data ekonomi AS yang menggembirakan.

Kemarin, pembacaan kedua atas angka pertumbuhan ekonomi AS periode kuartal-II 2019 diumumkan di level 2% (QoQ annualized). Memang, ada pelemahan jika dibandingkan dengan pembacaan awal yang sebesar 2,1%, namun sesuai dengan ekspektasi dari para ekonom, seperti dilansir dari Forex Factory.

Walaupun ada perang dagang dengan China yang membuat harga-harga di AS menjadi lebih mahal, ternyata konsumsi masyarakat AS masih kuat. Pada kuartal II-2019, konsumsi rumah tangga membukukan pertumbuhan tertinggi dalam empat setengah tahun, yakni sebesar 4,7%. 

Pada kuartal III-2019, konsumsi masyarakat AS tampak masih akan tumbuh pesat. Sebelumnya pada hari Selasa (27/8/2019), indeks keyakinan konsumen AS periode Agustus 2019 diumumkan di level 135,1 oleh The Conference Board, jauh mengalahkan ekspektasi yang sebesar 129,3, seperti dilansir dari Forex Factory.

Tingginya angka IKK menunjukkan bahwa masyarakat AS memandang dengan sangat positif perekonomian di sana, serta mengindikasikan bahwa mereka akan mengeluarkan uang dalam jumlah yang lebih besar untuk aktivitas konsumsi.

Mengingat lebih dari 50% perekonomian AS dibentuk oleh konsumsi rumah tangga, tentu tingginya indeks keyakinan konsumen menjadi kabar baik bagi perekonomian Negeri Paman Sam, sekaligus perekonomian dunia.

Lantas, bukan hanya kekhawatiran terkait hard landing, namun kekhawatiran bahwa perekonomian AS akan mengalami resesi juga mereda.

Termasuk hari ini, enam hari beruntun sudah imbal hasil (yield) obligasi AS tenor 2 tahun melampaui yield obligasi AS tenor 10 tahun, berdasarkan data dari Refinitiv. Fenomena ini disebut sebagai inversi. 

Untuk diketahui, inversi merupakan sebuah fenomena di mana yield obligasi tenor pendek berada di posisi yang lebih tinggi dibandingkan tenor panjang. Padahal dalam kondisi normal, yield tenor panjang akan lebih tinggi karena memegang obligasi tenor panjang pastilah lebih berisiko ketimbang tenor pendek.

Terjadinya inversi mencerminkan bahwa pelaku pasar melihat risiko yang tinggi dalam jangka pendek yang membuat mereka meminta yield yang tinggi sebagai kompensasi. Inversi di pasar obligasi AS menjadi hal yang krusial bagi pasar keuangan dunia lantaran terjadinya inversi merupakan sinyal dari terjadinya resesi di AS di masa depan. 

Sebagai informasi, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut. 

Terhitung sejak tahun 1978, telah terjadi 5 kali inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun, semuanya berujung pada resesi. Berdasarkan data dari Credit Suisse yang kami lansir dari CNBC International, secara rata-rata terdapat jeda waktu selama 22 bulan semenjak terjadinya inversi hingga resesi.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular