Semesta Tak Mendukung, IHSG Cuma Bisa Naik Tipis

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
29 August 2019 17:00
Semesta Tak Mendukung, IHSG Cuma Bisa Naik Tipis
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Mengawali perdagangan hari ini dengan apresiasi sebesar 0,1% ke level 6.288,19, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus bergerak di zona hijau seiring dengan berjalannya waktu, sebelum kemudian tergelincir ke zona merah menjelang penutupan perdagangan.

Beruntung, pada akhir perdagangan IHSG sudah kembali ke zona hijau. Per akhir sesi dua, indeks saham acuan di Indonesia tersebut menguat 0,12% ke level 6.289,12.

Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam mendongkrak kinerja IHSG di antaranya: PT Sinar Mas Multiartha Tbk/SMMA (+20%), PT Tower Bersama Infrastructure Tbk/TBIG (+9,91%), PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk/INKP (+5,99%), PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk/INTP (+2,47%), dan PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (+0,17%).

IHSG berhasil menguat kala mayoritas bursa saham utama kawasan Asia justru berguguran: indeks Nikkei turun 0,09%, indeks Shanghai jatuh 0,1%, dan indeks Kospi berkurang 0,4%.

Pelaku pasar saham Benua Kuning dibuat grogi lantaran hubungan AS-China di bidang perdagangan akan segera kembali memanas. Pasalnya, kita semakin dekat ke tanggal 1 September yang merupakan tanggal penerapan bea masuk baru oleh AS dan China terhadap produk impor dari masing-masing negara.

Sekedar mengingatkan, menjelang akhir pekan kemarin China mengumumkan bahwa pihaknya akan membebankan bea masuk bagi produk impor asal AS senilai US$ 75 miliar. Pembebanan bea masuk tersebut akan mulai berlaku efektif dalam dua waktu, yakni 1 September dan 15 Desember. Bea masuk yang dikenakan China berkisar antara 5%-10%.

Lebih lanjut, China juga mengumumkan pengenaan bea masuk senilai 25% terhadap mobil asal pabrikan AS, serta bea masuk sebesar 5% atas komponen mobil, berlaku efektif pada 15 Desember. Untuk diketahui, China sebelumnya telah berhenti membebankan bea masuk tersebut pada bulan April, sebelum kini kembali mengaktifkannya.

AS pun merespons dengan mengumumkan bahwa per tanggal 1 Oktober, pihaknya akan menaikkan bea masuk bagi US$ 250 miliar produk impor asal China, dari yang saat ini sebesar 25% menjadi 30%.

Sementara itu, bea masuk bagi produk impor asal China lainnya senilai US$ 300 miliar yang akan mulai berlaku pada 1 September (ada beberapa produk yang pengenaan bea masuknya diundur hingga 15 Desember), akan dinaikkan menjadi 15% dari rencana sebelumnya yang hanya sebesar 10%.

Sejatinya, ada perkembangan yang positif terkait perang dagang AS-China, namun memang kurang ampuh untuk mendongkrak kinerja bursa saham Benua Kuning secara keseluruhan. Pada hari ini, Kementerian Perdagangan China mengatakan bahwa AS dan China sedang mendiskusikan pertemuan tatap muka yang dijadwalkan untuk bulan September.

Namun, jadi-tidaknya negosiasi dagang tatap muka tersebut akan ditentukan oleh apakah AS bisa menciptakan kondisi yang baik untuk negosiasi dagang tatap muka tersebut, seperti dilansir dari Reuters.

Kondisi yang dimaksud China adalah AS membatalkan rencana untuk mengenakan bea masuk baru bagi produk impor asal Negeri Panda.

"Hal yang terpenting pada saat ini adalah untuk menciptakan kondisi yang baik untuk kedua belah pihak melanjutkan negosiasi," kata Juru Bicara Kementerian Perdagangan China Gao Feng, dilansir dari Reuters.

Agaknya, sulit untuk mengharapkan AS melunak seperti yang diinginkan China sehingga negosiasi dagang tatap muka kedua belah pihak besar kemungkinan akan batal digelar.

Sebelumnya, hubungan kedua negara sudah memanas kala China berang dengan klaim sepihak yang dilakukan oleh Presiden AS Donald Trump.

Berbicara di hadapan reporter di sela-sela pertemuan dengan para pimpinan negara-negara Group of Seven (G-7) di Prancis, Trump menyebut bahwa kedua negara akan mulai berbincang dengan sangat serius.

"China menelepon delegasi tingkat tinggi kami di bidang perdagangan tadi malam dan mengatakan 'mari kembali ke meja perundingan' sehingga kami akan melakukannya dan saya rasa mereka ingin melakukan sesuatu. Mereka telah sangat tersakiti namun mereka sadar bahwa inilah langkah yang tepat untuk dilakukan dan saya memiliki rasa hormat yang besar untuk itu. Ini adalah perkembangan yang sangat positif untuk dunia," kata Trump, dilansir dari CNBC International.

Namun kemudian, pihak China membantah bahwa pembicaraan via sambungan telepon itu dilakukan. Pada Selasa (27/8/2019) malam waktu setempat, China kembali buka suara. China kembali menegaskan bahwa perbincangan melalui sambungan telepon yang dibangga-banggakan oleh Trump tersebut tidak pernah terjadi.

"Saya belum mendengar kejadian terkait dua sambungan telepon yang disebut oleh pihak AS pada akhir pekan," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang, dilansir dari CNBC International.

BERLANJUT KE HALAMAN 2 ->

Lebih lanjut, gaung resesi yang semakin keras disuarakan di AS membuat pelaku pasar saham Asia mengambil posisi defensif.

Dalam beberapa waktu terakhir, imbal hasil (yield) obligasi AS tenor 2 tahun sempat beberapa kali bergerak melampaui yield obligasi AS tenor 10 tahun. Fenomena ini disebut sebagai inversi.

Untuk diketahui, inversi merupakan sebuah fenomena di mana yield obligasi tenor pendek berada di posisi yang lebih tinggi dibandingkan tenor panjang. Padahal dalam kondisi normal, yield tenor panjang akan lebih tinggi karena memegang obligasi tenor panjang pastilah lebih berisiko ketimbang tenor pendek.

Terjadinya inversi mencerminkan bahwa pelaku pasar melihat risiko yang tinggi dalam jangka pendek yang membuat mereka meminta yield yang tinggi sebagai kompensasi. Inversi di pasar obligasi AS menjadi hal yang krusial bagi pasar keuangan dunia lantaran terjadinya inversi merupakan sinyal dari terjadinya resesi di AS di masa depan.

Sebagai informasi, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.

Terhitung sejak tahun 1978, telah terjadi 5 kali inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun, semuanya berujung pada resesi. Berdasarkan data dari Credit Suisse yang kami lansir dari CNBC International, secara rata-rata terdapat jeda waktu selama 22 bulan semenjak terjadinya inversi hingga resesi.

CNBC International mencatat, pada perdagangan hari Selasa inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun kembali terjadi. Pada satu titik, yield obligasi tenor 2 tahun sempat mengungguli yield tenor 10 tahun hingga sebesar 5 bps, menandai inversi terparah sejak tahun 2007.

Pada perdagangan kemarin (28/8/2019), CNBC International mencatat bahwa yield obligasi tenor 2 tahun sempat mengungguli yield tenor 10 tahun hingga sebesar 6 bps.

Perang dagang AS-China menjadi faktor yang bisa mendorong AS masuk ke jurang resesi. Kala AS terus berperang di bidang perdagangan dengan mitra dagang utamanya, memang aktivitas konsumsi dan investasi akan terpengaruh yang pada akhirnya membuat pertumbuhan ekonomi menjadi lesu.

Pada tahun 2018, International Monetary Fund (IMF) mencatat perekonomian AS tumbuh sebesar 2,857%, menandai laju pertumbuhan ekonomi tertinggi sejak tahun 2015.

Pada tahun 2019, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi AS melambat menjadi 2,6%. Untuk tahun 2020, pertumbuhan ekonomi AS diproyeksikan kembali merosot menjadi 1,9% saja.

Kala perekonomian AS mengalami resesi, pastilah perekonomian dunia akan ikut mendapatkan tekanan yang signifikan.

BERLANJUT KE HALAMAN 3 >

Tak hanya AS, Inggris juga berpeluang masuk ke jurang resesi, seiring dengan perkembangan terkait proses perceraian Inggris dengan Uni Eropa (Brexit) yang negatif. Kemarin, Ratu Elizabeth memperikan restunya kepada Perdana Menteri Inggris Boris Johnson untuk menskors parlemen Inggris.

Sejatinya, parlemen Inggris akan kembali dari masa reses dan mulai beraktivitas pada pekan depan hingga tanggal 9 September, sebelum kemudian menikmati masa reses lagi selama tiga minggu. Kini, kebijakan dari Johnson untuk menskors parlemen akan memperpanjang masa reses menjadi lima minggu. Parlemen akan kembali dibuka pada tanggal 14 Oktober. 

Langkah Johnson ini dipandang sebagai taktik untuk mencegah para anggota parlemen Inggris yang berambisi untuk mematikan opsi perceraian Inggris dengan Uni Eropa tanpa kesepakatan apapun (No-Deal Brexit). Sebelumnya, Johnson memang sudah berjanji untuk membawa Inggris keluar dari Uni Eropa selambat-lambatnya pada 31 Oktober, baik dengan atau tanpa kesepakatan.

Pada hari Selasa, anggota parlemen dari partai oposisi sudah memberi sinyal bahwa mereka akan bersatu dalam membuat sebuah hukum yang akan memblokir Johnson dari mengeksekusi No-Deal Brexit.

Ingat, tanggal perceraian Inggris dengan Uni Eropa adalah 31 Oktober sehingga diberikannya masa reses yang lebih panjang oleh Johnson akan menyulitkan parlemen untuk menggolkan hukum yang bisa mencegah No-Deal Brexit.

Bank of England yang merupakan bank sentral Inggris telah memperingatkan bahwa No-Deal Brexit bisa mendorong Inggris jatuh ke jurang resesi. 

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular