Top! Bursa Saham Asia Nyaris Merah Semua, IHSG Tetap Hijau

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
29 August 2019 12:41
Top! Bursa Saham Asia Nyaris Merah Semua, IHSG Tetap Hijau
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Mengawali perdagangan hari ini dengan apresiasi sebesar 0,1% ke level 6.288,19, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus bergerak di zona hijau seiring dengan berjalannya waktu. Tak sekalipun IHSG tergelincir ke zona merah pada perdagangan hari ini.

Per akhir sesi satu, penguatan indeks saham acuan di Indonesia tersebut adalah sebesar 0,15% ke level 6.290,99. IHSG masih berada di jalur yang tepat untuk mencetak apresiasi selama tiga hari beruntun.

Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam mendongkrak kinerja IHSG di antaranya: PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk/INKP (+6,74%), PT Tower Bersama Infrastructure Tbk/TBIG (+7,08%), PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk/INTP (+2,12%), PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk/TKIM (+4,49%), dan PT Vale Indonesia Tbk/INCO (+3,3%).

IHSG berhasil menguat kala nyaris seluruh bursa saham utama kawasan Asia sedang berguguran. Hingga berita ini diturunkan, indeks Nikkei turun 0,13%, indeks Shanghai jatuh 0,12%, indeks Hang Seng melemah 0,36%, dan indeks Kospi berkurang 0,1%. Sementara itu, indeks Straits Times menguat 0,09%.

Pelaku pasar saham Benua Kuning dibuat grogi lantaran hubungan AS-China di bidang perdagangan akan segera kembali memanas. Pasalnya, kita semakin dekat ke tanggal 1 September yang merupakan tanggal penerapan bea masuk baru oleh AS dan China terhadap produk impor dari masing-masing negara.

Sekedar mengingatkan, menjelang akhir pekan kemarin China mengumumkan bahwa pihaknya akan membebankan bea masuk bagi produk impor asal AS senilai US$ 75 miliar. Pembebanan bea masuk tersebut akan mulai berlaku efektif dalam dua waktu, yakni 1 September dan 15 Desember. Bea masuk yang dikenakan China berkisar antara 5%-10%.

Lebih lanjut, China juga mengumumkan pengenaan bea masuk senilai 25% terhadap mobil asal pabrikan AS, serta bea masuk sebesar 5% atas komponen mobil, berlaku efektif pada 15 Desember. Untuk diketahui, China sebelumnya telah berhenti membebankan bea masuk tersebut pada bulan April, sebelum kini kembali mengaktifkannya.

AS pun merespons dengan mengumumkan bahwa per tanggal 1 Oktober, pihaknya akan menaikkan bea masuk bagi US$ 250 miliar produk impor asal China, dari yang saat ini sebesar 25% menjadi 30%.

Sementara itu, bea masuk bagi produk impor asal China lainnya senilai US$ 300 miliar yang akan mulai berlaku pada 1 September (ada beberapa produk yang pengenaan bea masuknya diundur hingga 15 Desember), akan dinaikkan menjadi 15% dari rencana sebelumnya yang hanya sebesar 10%.

Sebelumnya, hubungan kedua negara sudah memanas kala China berang dengan klaim sepihak yang dilakukan oleh Presiden AS Donald Trump.
Berbicara di hadapan reporter di sela-sela pertemuan dengan para pimpinan negara-negara Group of Seven (G-7) di Prancis, Trump menyebut bahwa kedua negara akan mulai berbincang dengan sangat serius.

"China menelepon delegasi tingkat tinggi kami di bidang perdagangan tadi malam dan mengatakan 'mari kembali ke meja perundingan' sehingga kami akan melakukannya dan saya rasa mereka ingin melakukan sesuatu. Mereka telah sangat tersakiti namun mereka sadar bahwa inilah langkah yang tepat untuk dilakukan dan saya memiliki rasa hormat yang besar untuk itu. Ini adalah perkembangan yang sangat positif untuk dunia," kata Trump, dilansir dari CNBC International.

Namun kemudian, pihak China membantah bahwa pembicaraan via sambungan telepon itu dilakukan. Pada Selasa (27/8/2019) malam waktu setempat, China kembali buka suara. China kembali menegaskan bahwa perbincangan melalui sambungan telepon yang dibangga-banggakan oleh Trump tersebut tidak pernah terjadi.

"Saya belum mendengar kejadian terkait dua sambungan telepon yang disebut oleh pihak AS pada akhir pekan," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang, dilansir dari CNBC International.

Dirinya kemudian mengungkapkan kekecewaannya terhadap keputusan AS yang kembali menetapkan bea masuk yang lebih tinggi bagi importasi produk asal China. Menurutnya, langkah AS tersebut sama sekali tak konstruktif.

"Sangat disayangkan bahwa AS telah lebih lanjut menaikkan bea masuk bagi produk ekspor China ke AS. Tekanan yang ekstrim ini benar-benar berbahaya bagi kedua belah pihak dan sama sekali tidak konstruktif."

BERLANJUT KE HALAMAN 2 ->

Lebih lanjut, gaung resesi yang semakin keras disuarakan di AS membuat pelaku pasar saham Asia mengambil posisi defensif.

Dalam beberapa waktu terakhir, imbal hasil (yield) obligasi AS tenor 2 tahun sempat beberapa kali bergerak melampaui yield obligasi AS tenor 10 tahun. Fenomena ini disebut sebagai inversi.

Untuk diketahui, inversi merupakan sebuah fenomena di mana yield obligasi tenor pendek berada di posisi yang lebih tinggi dibandingkan tenor panjang. Padahal dalam kondisi normal, yield tenor panjang akan lebih tinggi karena memegang obligasi tenor panjang pastilah lebih berisiko ketimbang tenor pendek.

Terjadinya inversi mencerminkan bahwa pelaku pasar melihat risiko yang tinggi dalam jangka pendek yang membuat mereka meminta yield yang tinggi sebagai kompensasi. Inversi di pasar obligasi AS menjadi hal yang krusial bagi pasar keuangan dunia lantaran terjadinya inversi merupakan sinyal dari terjadinya resesi di AS di masa depan.

Sebagai informasi, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut. 

Terhitung sejak tahun 1978, telah terjadi 5 kali inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun, semuanya berujung pada resesi. Berdasarkan data dari Credit Suisse yang kami lansir dari CNBC International, secara rata-rata terdapat jeda waktu selama 22 bulan semenjak terjadinya inversi hingga resesi.

CNBC International mencatat, pada perdagangan hari Selasa inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun kembali terjadi. Pada satu titik, yield obligasi tenor 2 tahun sempat mengungguli yield tenor 10 tahun hingga sebesar 5 bps, menandai inversi terparah sejak tahun 2007.

Pada perdagangan kemarin (28/8/2019), CNBC International mencatat bahwa yield obligasi tenor 2 tahun sempat mengungguli yield tenor 10 tahun hingga sebesar 6 bps.

Perang dagang AS-China menjadi faktor yang bisa mendorong AS masuk ke jurang resesi. Kala AS terus berperang di bidang perdagangan dengan mitra dagang utamanya, memang aktivitas konsumsi dan investasi akan terpengaruh yang pada akhirnya membuat pertumbuhan ekonomi menjadi lesu.

Pada tahun 2018, International Monetary Fund (IMF) mencatat perekonomian AS tumbuh sebesar 2,857%, menandai laju pertumbuhan ekonomi tertinggi sejak tahun 2015.

Pada tahun 2019, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi AS melambat menjadi 2,6%. Untuk tahun 2020, pertumbuhan ekonomi AS diproyeksikan kembali merosot menjadi 1,9% saja.

Kala perekonomian AS mengalami resesi, pastilah perekonomian dunia akan ikut mendapatkan tekanan yang signifikan.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(ank/hps) Next Article Besok AS-China Deal! IHSG Nyaman di Zona Hijau

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular