
Digencet Sentimen Kanan-Kiri, Harga Batu Bara Kian Kerdil
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
29 August 2019 11:12

Jakarta, CNBC Indonesia - Kekhawatiran akan resesi ekonomi masih terus memberi tekanan pada harga batu bara. Produksi batu bara Indonesia yang meningkat juga ikut menambah beban pada harga si batu legam.
Pada sesi perdagangan hari Rabu (28/8/2019), harga batu bara Newcastle kontrak pengiriman September ditutup anjlok hingga 1,41% menjadi US$ 63,1/metrik ton yang merupakan level terendah dalam tiga tahun terakhir.
Sehari sebelumnya (27/8/2019), harga batu bara yang sama juga terkoreksi sebesar 0,78%.
Peningkatan risiko resesi ekonomi di Amerika Serikat (AS) dan Inggris menjadi beban yang sulit untuk ditahan oleh batu bara.
Kemarin (28/8/2019), CNBC International mencatat bahwa yield obligasi tenor 2 tahun sempat mengungguli yield tenor 10 tahun hingga sebesar 6 bps dan menandai yang terbesar sejak tahun 2007.
Sejatinya fenomena inversi yield obligasi tenor 2 dan 10 tahun sudah terjadi dalam beberapa waktu ke belakang.
Inversi di pasar obligasi AS menjadi hal yang krusial bagi pasar keuangan dunia lantaran terjadinya inversi merupakan sinyal dari terjadinya resesi di AS di masa depan.
Terhitung sejak tahun 1978, telah terjadi 5 kali inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun, semuanya berujung pada resesi. Berdasarkan data dari Credit Suisse yang kami lansir dari CNBC International, secara rata-rata terdapat jeda waktu selama 22 bulan semenjak terjadinya inversi hingga resesi.
Sementara itu kabar terbaru dari Inggris juga semakin membuat pelaku pasar takut akan terjadinya resesi.
Kemarin, Ratu Elizabeth memberi restunya kepada Perdana Menteri Inggris Boris Johnson untuk menskors parlemen Inggris hingga 14 Oktober 2019.
Langkah Johnson ini dipandang sebagai taktik untuk mencegah para anggota parlemen Inggris yang berambisi untuk mematikan opsi perceraian Inggris dengan Uni Eropa tanpa kesepakatan apapun (No-Deal Brexit). Sebelumnya, Johnson memang sudah berjanji untuk membawa Inggris keluar dari Uni Eropa selambat-lambatnya pada 31 Oktober, baik dengan atau tanpa kesepakatan.
Bank Sentral Inggris (Bank of England/BoE) sebelummya telah memprediksi perekonomian Negeri Ratu Elizabeth bisa jatuh kepada jurang resesi apabila Inggris keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan apapun.
Resesi tentu saja bukan kabar baik di pasar batu bara global. Terlebih yang terancam resesi adalah AS dan Inggris, negara dengan kekuatan ekonomi nomor 1 dan 5 di dunia.
Dampaknya sudah tentu akan merembet kemana-mana. Perlambatan ekonomi global menjadi sulit untuk diredam. Bahkan berisiko tambah parah.
Pertumbuhan ekonomi akan sejalan dengan pertumbuhan permintaan energi. Kala ekonomi melambat atau terkontraksi, maka permintaan energi, yang salah satunya berasal dari batu bara juga akan melambat.
Parahnya lagi, ancaman resesi datang di saat produksi sedang mengalami peningkatan.
Berdasarkan pemberitaan di media, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Indonesia telah menyetujui kuota produksi batu bara tambahan tahun ini untuk 34 perusahaan tambang.
Produksi batu bara tahun 2019 diizinkan untuk mencapai 600 juta ton. Sebelumnya, target awal kuota produksi dibatasi sebesar 489,73 juta ton.
Sementara pada tahun 2018 produksi batu bara Indonesia mencapai 557 juta ton.
Perlu diketahui bahwa Indonesia merupakan eksportir batu bara terbesar kedua di dunia yang bersaing ketat dengan Australia. Peningkatan produksi dari Indonesia tentu akan berdampak cukup signifikan terhadap keseimbangan fundamental (pasokan-permintaan) di pasar global.
Sesuai hukum ekonomi, kala permintaan turun dan pasokan bertambah, harga akan mengalami tekanan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/taa) Next Article Telisik Penyebab Harga Batu Bara Tak Lagi Membara
Pada sesi perdagangan hari Rabu (28/8/2019), harga batu bara Newcastle kontrak pengiriman September ditutup anjlok hingga 1,41% menjadi US$ 63,1/metrik ton yang merupakan level terendah dalam tiga tahun terakhir.
Sehari sebelumnya (27/8/2019), harga batu bara yang sama juga terkoreksi sebesar 0,78%.
Peningkatan risiko resesi ekonomi di Amerika Serikat (AS) dan Inggris menjadi beban yang sulit untuk ditahan oleh batu bara.
Kemarin (28/8/2019), CNBC International mencatat bahwa yield obligasi tenor 2 tahun sempat mengungguli yield tenor 10 tahun hingga sebesar 6 bps dan menandai yang terbesar sejak tahun 2007.
Sejatinya fenomena inversi yield obligasi tenor 2 dan 10 tahun sudah terjadi dalam beberapa waktu ke belakang.
Inversi di pasar obligasi AS menjadi hal yang krusial bagi pasar keuangan dunia lantaran terjadinya inversi merupakan sinyal dari terjadinya resesi di AS di masa depan.
Terhitung sejak tahun 1978, telah terjadi 5 kali inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun, semuanya berujung pada resesi. Berdasarkan data dari Credit Suisse yang kami lansir dari CNBC International, secara rata-rata terdapat jeda waktu selama 22 bulan semenjak terjadinya inversi hingga resesi.
Sementara itu kabar terbaru dari Inggris juga semakin membuat pelaku pasar takut akan terjadinya resesi.
Kemarin, Ratu Elizabeth memberi restunya kepada Perdana Menteri Inggris Boris Johnson untuk menskors parlemen Inggris hingga 14 Oktober 2019.
Langkah Johnson ini dipandang sebagai taktik untuk mencegah para anggota parlemen Inggris yang berambisi untuk mematikan opsi perceraian Inggris dengan Uni Eropa tanpa kesepakatan apapun (No-Deal Brexit). Sebelumnya, Johnson memang sudah berjanji untuk membawa Inggris keluar dari Uni Eropa selambat-lambatnya pada 31 Oktober, baik dengan atau tanpa kesepakatan.
Bank Sentral Inggris (Bank of England/BoE) sebelummya telah memprediksi perekonomian Negeri Ratu Elizabeth bisa jatuh kepada jurang resesi apabila Inggris keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan apapun.
Resesi tentu saja bukan kabar baik di pasar batu bara global. Terlebih yang terancam resesi adalah AS dan Inggris, negara dengan kekuatan ekonomi nomor 1 dan 5 di dunia.
Dampaknya sudah tentu akan merembet kemana-mana. Perlambatan ekonomi global menjadi sulit untuk diredam. Bahkan berisiko tambah parah.
Pertumbuhan ekonomi akan sejalan dengan pertumbuhan permintaan energi. Kala ekonomi melambat atau terkontraksi, maka permintaan energi, yang salah satunya berasal dari batu bara juga akan melambat.
Parahnya lagi, ancaman resesi datang di saat produksi sedang mengalami peningkatan.
Berdasarkan pemberitaan di media, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Indonesia telah menyetujui kuota produksi batu bara tambahan tahun ini untuk 34 perusahaan tambang.
Produksi batu bara tahun 2019 diizinkan untuk mencapai 600 juta ton. Sebelumnya, target awal kuota produksi dibatasi sebesar 489,73 juta ton.
Sementara pada tahun 2018 produksi batu bara Indonesia mencapai 557 juta ton.
Perlu diketahui bahwa Indonesia merupakan eksportir batu bara terbesar kedua di dunia yang bersaing ketat dengan Australia. Peningkatan produksi dari Indonesia tentu akan berdampak cukup signifikan terhadap keseimbangan fundamental (pasokan-permintaan) di pasar global.
Sesuai hukum ekonomi, kala permintaan turun dan pasokan bertambah, harga akan mengalami tekanan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/taa) Next Article Telisik Penyebab Harga Batu Bara Tak Lagi Membara
Most Popular