Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) minim dinamika di perdagangan pasar spot hari ini. Rupiah bergerak dalam kisaran sempit, tidak ada fluktuasi yang signifikan.
Pada Rabu (28/8/2019), US$ 1 dihargai Rp 14.250 kala penutupan pasar spot. Sama persis dengan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Mata uang Tanah Air juga stagnan kala pembukaan pasar. Namun itu tidak lama, karena rupiah kemudian masuk jalur merah alias melemah.
Meski menghabiskan sebagian besar hari di teritori depresiasi, tetapi pelemahan rupiah tipis-tipis saja. Jelang lapak ditutup, akhirnya rupiah mampu mentas dari zona merah meski belum bisa nangkring di zona hijau.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap rupiah sepanjang hari ini:
Walau cuma stagnan, nasib rupiah lebih baik ketimbang para tetangganya. Ya, mayoritas mata uang utama Asia melemah terhadap dolar AS, tinggal menyisakan dolar Hong Kong dan dolar Singapura yang mampu menguat.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 16:08 WIB:
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Investor dipaksa bermain aman hari ini. Setidaknya ada dua sentimen besar yang membuat pelaku pasar belum berani bersikap agresif.
Pertama adalah risiko resesi yang masih membayangi. Tanda-tanda resesi kembali muncul, yaitu inversi imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor dua dan 10 tahun. Inversi berarti yield jangka pendek lebh tinggi ketimbang yang jangka panjang, menandakan investor meminta jaminan lebih karena menilai ada risiko dalam waktu dekat.
Pada pukul 15:35 WIB, yield obligasi pemerintah AS tenor dua tahun berada di 1,524%. Sedangkan yang 10 tahun lebih rendah yaitu 1,4811%.
Dua tenor ini dipantau benar oleh investor. Bukan apa-apa, lima kali resesi di AS diawali dengan inversi yield di dua tenor tersebut.
Oleh karena itu, kekhawatiran soal ancaman resesi belum pergi. Ini yang membuat pelaku pasar belum berani bermain terbuka.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Sentimen kedua, pelaku pasar menantikan tanggal 1 September. Tanggal itu sangat penting, karena menjadi bisa menjadi momentum dimulainya perang dagang AS-China jilid kesekian.
Presiden AS Donald Trump akhir pekan lalu mengungkapkan bahwa pada 1 September sebagian impor produk-produk China senilai US$ 300 miliar akan terkena bea masuk 15%. Lebih tinggi dari rencana awal yaitu 10%.
"Mulai 1 Oktober, impor produk China senilai US$ 250 miliar yang saat ini dikenai tarif 25% akan naik menjadi 30%. Sebagai tambahan, impor baru senilai US$ 300 miliar yang awalnya dikenakan tarif 10% dinaikkan menjadi 15% berlaku 1 September. Terima kasih atas perhatiannya!" demikian cuit Trump di Twitter.
China pun tidak terima dan melakukan serangan balasan. Beijing mengumumkan akan menaikkan bea masuk bagi produk-produk made in the USA senilai US$ 75 miliar dari 5% menjadi 10%. Produk-produk tersebut antara lain kedelai, minyak mentah, dan pesawat.
"Keputusan China untuk menaikkan tarif bea masuk didorong oleh sikap AS yang uniteralis dan proteksionis," tegas pernyataan tertulis Kementerian Perdagangan China. Kenaikan ini akan dibagi menjadi dua tahap yaitu 1 September dan 15 Desember.
Memasuki pekan ini, hubungan keduanya agak membaik. Wakil Perdana Menteri China Liu He menyatakan siap kembali ke meja perundingan dan menyelesaikan perang dagang secara baik-baik.
"Kami siap untuk menyelesaikan masalah melalui konsultasi dan kerja sama dengan sikap yang tenang, berkebalikan dengan meningkatkan eskalasi perang dagang. Kami meyakini bahwa eskalasi perang dagang tidak menguntungkan bagi China, AS, dan seluruh dunia," papar Liu, seperti diberitakan Reuters.
Trump pun menyambut baik niat China. Sang presiden ke-46 Negeri Adidaya menyatakan perundingan dagang akan segera dimulai.
"Kami akan memulai kembali proses negosiasi secepatnya. Saya rasa kami akan mencapai kesepakatan. China tidak ingin kehilangan rantai pasok mereka. AS akan mulai bicara serius dengan China," katanya, seperti diwartakan Reuters.
Meski saat ini situasi agak tenang, tetapi belum ada yang bicara soal 1 September. Apakah pada 1 September pengenaan bea masuk baru (baik di AS atau China) benar-benar berlaku? Atau mungkin ditunda karena keduanya mulai harmonis?
Nah, ketidakjelasan seputar 1 September ini yang membuat investor belum berani terlalu agresif. Lebih baik main aman dulu sembari menantikan kabar terbaru dari Washington atau Beijing.
TIM RISET CNBC INDONESIA