
Ada Sinyal Resesi Lagi, Harga Batu Bara Terkulai Lemah
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
28 August 2019 10:47

Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah dua hari sempat stagnan di posisi US$ 64,5/metrik ton, harga batu bara acuan global, Newcastle kembali melemah. Risiko perekonomian global yang kian membuncah masih menjadi faktor utama yang menekan harga batu bara.
Di akhir sesi perdagangan Selasa (27/8/2019), harga batu bara Newcastle kontrak pengiriman September turun 0,78% ke level US$ 64/metrik ton dan menandai posisi terendah dalam 3 tahun terakhir.
Sehari sebelumnya (26/8/2019) harga batu bara yang sama ditutup stagnan di posisi US$ 64,5/metrik ton.
Berdasarkan catatan CNBC International, pada perdagangan kemarin, inversi antara imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (US Treasury) tenor 2 dan 10 tahun kembali terjadi. Bahkan pada satu titik, yield obligasi tenor 2 tahun sempat lebih besar 5 basis poin (bps) dari tenor 10 tahun. Hal tersebut menandai inversi paling parah sejak tahun 2007.
Sebagai informasi, inversi merupakan fenomena di mana yield obligasi jangka pendek lebih tinggi dibanding jangka panjang. Oleh sebab itu, inversi menjadi indikator bahwa pelaku pasar saat ini melihat risiko yang tinggi dalam jangka pendek.
Inversi di pasar obligasi AS menjadi hal yang sangat penting karena bisa menjadi indikator terjadinya resesi di masa depan. Resesi sendiri merupakan kondisi di mana ekonomi tumbuh negatif alias terkontraksi dalam dua kuartal beruntun di tahun yang sama.
Terhitung sejak tahun 1978, telah terjadi 5 kali inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun, semuanya berujung pada resesi. Berdasarkan data dari Credit Suisse yang kami lansir dari CNBC International, secara rata-rata terdapat jeda waktu selama 22 bulan semenjak terjadinya inversi hingga resesi.
Penguatan sinyal-sinyal resesi terjadi bukan tanpa alasan.
Indeks harga perumahan daerah metropolitan Amerika Serikat (AS) pada bulan Juni hanya tumbuh sebesar 2,1% secara tahunan (year-on-year/YoY), seperti yang dilaporkan S&P CorelLogic Case-Shiller. Hal itu menandakan kenaikan harga rumah paling kecil sejak Agustus 2012.
Industri perumahan merupakan salah satu indikator penting dalam perekonomian. Kala harganya semakin sulit naik, artinya daya beli masyarakat juga sedang tidak prima.
Industri perumahan juga terhubung dengan rantai pasokan yang kompleks. Kala industri perumahan tak tumbuh, maka kemungkinan besar industri lain juga tertekan.
Selain itu ada pula perang dagang AS-China yang masih terus berlangsung. Bahkan semakin tereskalasi.
Kemarin, China kembali mengungkapkan kekecewaan terhadap keputusan AS yang menetapkan bea masuk lebih tinggi bagi produk asal China.
"Sangat disayangkan bahwa AS telah lebih lanjut menaikkan bea masuk bagi produk ekspor China ke AS. Tekanan yang ekstrim ini benar-benar berbahaya bagi kedua belah pihak dan sama sekali tidak konstruktif," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang, dilansir dari CNBC International.
Sebagai informasi, akhir pekan lalu (23/8/2019) China mengumumkan rencana peningkatan bea masuk sebesar 5-10% atas produk impor asal AS senilai US$ 75 miliar. Bea masuk ini mulai berlaku efektif dalam dua waktu, yaitu 1 September dan 15 Desember 2019.
Negeri Tirai Bambu juga akan kembali mengenakan bea masuk 25% terhadap mobil-mobil pabrikan AS, serta bea masuk 5% untuk komponennya mulai 15 Desember nanti.
Langkah tersebut diambil sebagai balasan atas rencana Trump untuk mengenakan bea masuk 10% terhadap produk China senilai US$ 300 miliar yang diumumkan awal bulan ini.
Namun selanjutnya Trump kembali bereaksi atas keputusan China. Trump melempar serangan balasan berupa kenaikan bea masuk produk China senilai US$ 250 miliar menjadi 30% (dari yang semula 25%) mulai 1 Oktober mendatang.
Sementara itu, bea masuk bagi produk impor asal China lainnya senilai US$ 300 miliar yang akan mulai berlaku pada 1 September (ada beberapa produk yang pengenaan bea masuknya diundur hingga 15 Desember), akan dinaikkan menjadi 15% dari rencana sebelumnya yang hanya sebesar 10%.
Eskalasi perang dagang bisa kembali terjadi sewaktu-waktu. Apalagi Trump dikenal sebagai pribadi yang tidak dapat ditebak dan suka mengambil keputusan spontan.
Bila kondisi ini terus berlanjut, maka resesi hanya tinggal menunggu waktu saja.
Dan jika benar AS mengalami resesi, seluruh dunia juga akan terkena imbasnya. Perlambatan ekonomi global menjadi 'hantu' yang semakin sulit untuk diusir.
Di pasar energi, termasuk batu bara, hal itu tentu bukan berita baik. Pasalnya pertumbuhan permintaan energi akan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi global.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/hps) Next Article Telisik Penyebab Harga Batu Bara Tak Lagi Membara
Di akhir sesi perdagangan Selasa (27/8/2019), harga batu bara Newcastle kontrak pengiriman September turun 0,78% ke level US$ 64/metrik ton dan menandai posisi terendah dalam 3 tahun terakhir.
Sehari sebelumnya (26/8/2019) harga batu bara yang sama ditutup stagnan di posisi US$ 64,5/metrik ton.
Berdasarkan catatan CNBC International, pada perdagangan kemarin, inversi antara imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (US Treasury) tenor 2 dan 10 tahun kembali terjadi. Bahkan pada satu titik, yield obligasi tenor 2 tahun sempat lebih besar 5 basis poin (bps) dari tenor 10 tahun. Hal tersebut menandai inversi paling parah sejak tahun 2007.
Sebagai informasi, inversi merupakan fenomena di mana yield obligasi jangka pendek lebih tinggi dibanding jangka panjang. Oleh sebab itu, inversi menjadi indikator bahwa pelaku pasar saat ini melihat risiko yang tinggi dalam jangka pendek.
Inversi di pasar obligasi AS menjadi hal yang sangat penting karena bisa menjadi indikator terjadinya resesi di masa depan. Resesi sendiri merupakan kondisi di mana ekonomi tumbuh negatif alias terkontraksi dalam dua kuartal beruntun di tahun yang sama.
Terhitung sejak tahun 1978, telah terjadi 5 kali inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun, semuanya berujung pada resesi. Berdasarkan data dari Credit Suisse yang kami lansir dari CNBC International, secara rata-rata terdapat jeda waktu selama 22 bulan semenjak terjadinya inversi hingga resesi.
Penguatan sinyal-sinyal resesi terjadi bukan tanpa alasan.
Indeks harga perumahan daerah metropolitan Amerika Serikat (AS) pada bulan Juni hanya tumbuh sebesar 2,1% secara tahunan (year-on-year/YoY), seperti yang dilaporkan S&P CorelLogic Case-Shiller. Hal itu menandakan kenaikan harga rumah paling kecil sejak Agustus 2012.
Industri perumahan merupakan salah satu indikator penting dalam perekonomian. Kala harganya semakin sulit naik, artinya daya beli masyarakat juga sedang tidak prima.
Industri perumahan juga terhubung dengan rantai pasokan yang kompleks. Kala industri perumahan tak tumbuh, maka kemungkinan besar industri lain juga tertekan.
Selain itu ada pula perang dagang AS-China yang masih terus berlangsung. Bahkan semakin tereskalasi.
Kemarin, China kembali mengungkapkan kekecewaan terhadap keputusan AS yang menetapkan bea masuk lebih tinggi bagi produk asal China.
"Sangat disayangkan bahwa AS telah lebih lanjut menaikkan bea masuk bagi produk ekspor China ke AS. Tekanan yang ekstrim ini benar-benar berbahaya bagi kedua belah pihak dan sama sekali tidak konstruktif," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang, dilansir dari CNBC International.
Sebagai informasi, akhir pekan lalu (23/8/2019) China mengumumkan rencana peningkatan bea masuk sebesar 5-10% atas produk impor asal AS senilai US$ 75 miliar. Bea masuk ini mulai berlaku efektif dalam dua waktu, yaitu 1 September dan 15 Desember 2019.
Negeri Tirai Bambu juga akan kembali mengenakan bea masuk 25% terhadap mobil-mobil pabrikan AS, serta bea masuk 5% untuk komponennya mulai 15 Desember nanti.
Langkah tersebut diambil sebagai balasan atas rencana Trump untuk mengenakan bea masuk 10% terhadap produk China senilai US$ 300 miliar yang diumumkan awal bulan ini.
Namun selanjutnya Trump kembali bereaksi atas keputusan China. Trump melempar serangan balasan berupa kenaikan bea masuk produk China senilai US$ 250 miliar menjadi 30% (dari yang semula 25%) mulai 1 Oktober mendatang.
Sementara itu, bea masuk bagi produk impor asal China lainnya senilai US$ 300 miliar yang akan mulai berlaku pada 1 September (ada beberapa produk yang pengenaan bea masuknya diundur hingga 15 Desember), akan dinaikkan menjadi 15% dari rencana sebelumnya yang hanya sebesar 10%.
Eskalasi perang dagang bisa kembali terjadi sewaktu-waktu. Apalagi Trump dikenal sebagai pribadi yang tidak dapat ditebak dan suka mengambil keputusan spontan.
Bila kondisi ini terus berlanjut, maka resesi hanya tinggal menunggu waktu saja.
Dan jika benar AS mengalami resesi, seluruh dunia juga akan terkena imbasnya. Perlambatan ekonomi global menjadi 'hantu' yang semakin sulit untuk diusir.
Di pasar energi, termasuk batu bara, hal itu tentu bukan berita baik. Pasalnya pertumbuhan permintaan energi akan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi global.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/hps) Next Article Telisik Penyebab Harga Batu Bara Tak Lagi Membara
Most Popular