Gegara The Fed, Efek Penurunan Bunga Acuan BI Tertutup

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
23 August 2019 08:44
Gegara The Fed, Efek Penurunan Bunga Acuan BI Tertutup
Ilustrasi Dolar AS dan Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dibuka stagnan di perdagangan pasar spot hari ini. Namun itu tidak lama, karena rupiah langsung tergelincir ke zona merah. 

Pada Jumat (23/8/2019), US$ 1 dihargai Rp 14.230 kala pembukaan pasar spot. Sama persis dengan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya. 

Akan tetapi, rupiah tidak bertahan lama di zona netral. Pada pukul 08:09 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.235 di mana rupiah melemah tipis 0,04%. 

Rupiah bernasib sama seperti mayoritas mata uang utama Asia yang juga tidak berdaya di hadapan dolar AS. Hanya dolar Hong Kong, ringgit Malaysia, dan baht Thailand yang masih mampu menguat. 

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 08:09 WIB: 

 

Sepertinya faktor eksternal belum kondusif bagi rupiah dkk di Asia. Pasalnya, investor masih menanti paparan Jerome 'Jay' Powell, Ketua Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed), di simposium tahunan Jackson Hole. Powell dijadwalkan memberi pidato malam ini waktu Indonesia. 

Pelaku pasar ingin memastikan dan mencari petunjuk yang lebih terang-benderang mengenai arah kebijakan moneter The Fed ke depan. Kemarin, The Fed merilis notula rapat (minutes of meeting) edisi Juli yang mengungkap bahwa sebagian pejabat bank sentral ingin menempuh pelonggaran moneter yang agresif. 

"Beberapa peserta rapat ingin menurunkan suku bunga acuan lebih dalam yaitu 50 basis poin (bps) untuk mempercepat laju inflasi menuju target 2%. Namun peserta lainnya memilih untuk menurunkan suku bunga acuan 25 bps," demikian tulis notula rapat itu. 

Powell dan kolega akhirnya memutuskan menurunkan Federal Funds Rate 25 bps bulan lalu. Namun dengan suara para pejabat yang terpecah, menarik untuk menerka bagaimana arah suku bunga kebijakan. 

Pelaku pasar masih meyakini bahwa The Fed akan kembali menurunkan suku bunga bulan depan. Berdasarkan CME Fedwatch, probabilitas penurunan suku bunga acuan sebesar 25 bps menjadi 1,75-2% mencapai 93,5%.  

Agar semakin yakin, investor butuh 'arahan' dari Powell. Oleh karena itu, tidak heran pelaku pasar memilih wait and see sebelum menentukan langkah selanjutnya. Ini yang membuat arus modal masih enggan masuk dengan deras ke pasar keuangan Asia, yang membuat mata uang terdepresiasi. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Sementara dari dalam negeri, efek penurunan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI) belum lagi terlihat. Kemarin, Gubernur Perry dan sejawat memutuskan untuk menurunkan BI 7 day Reverse Repo Rate sebesar 25 bps ke 5,5%. Ini menjadi penurunan kedua sepanjang 2019. 



BI menegaskan bahwa penurunan suku bunga acuan tidak mengurangi keseksian pasar keuangan Indonesia. Pasalnya, selisih imbalan dengan negara-negara tetangga masih lumayan tinggi. 

Misalnya di pasar  obligasi pemerintah. Saat ini imbal hasil (yield) obligasi pemerintah tenor 10 tahun adalah 7,253%. Sementara yield instrumen serupa di Malaysia adalah 3,363%, Thailand 1,56%, Filipina 4,438%, dan India 6,554%. 


Akan tetapi, tidak bisa dipungkiri bahwa penurunan suku bunga acuan bakal menurunkan yield sehingga mempengaruhi minat investor. Apalagi dengan situasi yang penuh ketidakpastian, bahkan ada ancaman resesi, pelaku pasar lebih memilih selamatkan diri masing-masing alias SDM. 

Arus modal masih cenderung menyemut di aset-aset aman alias safe haven seperti emas, yen Jepang, atau franc Swiss. Dalam tiga bulan terakhir, harga emas dunia meroket 16,56% sementara yen dan franc terapresiasi masing-masing 2,76% dan 1,84% terhadap dolar AS.



TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular