Jika BI Tak Pangkas Bunga Acuan, Akankah IHSG Ambruk?

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
21 August 2019 14:40
Jika BI Tak Pangkas Bunga Acuan, Akankah IHSG Ambruk?
Foto: Bank Indonesia (CNBC Indonesia/Lidya Kembaren)
Jakarta, CNBC Indonesia - Sekitar 24 jam lagi, Bank Indonesia (BI) akan mengumumkan tingkat suku bunga acuan terbarunya pasca menggelar Rapat Dewan Gubernur (RGD) selama dua hari yang dimulai pada hari ini, Rabu (21//2019).

Konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia memperkirakan bahwa BI akan menahan tingkat suku bunga acuan alias 7-Day Reverse Repo Rate di level 5,75%. Dari 13 ekonom yang kami survei, hanya terdapat empat yang memperkirakan akan ada pemangkasan, yakni sebesar 25 basis poin (bps).


Sekedar mengingatkan, pasca menggelar RDG selama dua hari pada pertengahan bulan lalu, BI mengumumkan pemangkasan 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 25bps, dari 6% ke level 5,75%.

Pemangkasan tersebut terbilang historis lantaran menandai pemangkasan tingkat suku bunga acuan pertama sejak September 2017. Pada tahun 2018, tingkat suku bunga acuan dikerek naik oleh BI sebesar 175 bps.



Berbeda dengan konsensus, analisis kami menunjukkan bahwa BI akan memangkas tingkat suku bunga acuan, minimal 25 bps.


Lantas, bagaimana proyeksi pergerakan IHSG merespons pengumuman tingkat suku bunga acuan oleh BI pada esok hari (22/8/2019)?

Untuk diketahui, bulan Agustus biasanya menjadi momok bagi pelaku pasar saham tanah air. Tim Riset CNBC Indonesia menghitung imbal hasil IHSG secara bulanan dalam periode 10 tahun terakhir (2009-2018). Hasilnya, bulan Agustus merupakan bulan dengan rata-rata koreksi terdalam bagi IHSG.



Pada bulan Agustus, secara rata-rata IHSG membukukan koreksi sebesar 1,69% secara bulanan. Sejatinya, hanya ada dua bulan di mana IHSG membukukan rata-rata imbal hasil negatif secara bulanan, yakni Agustus dan November. Namun, rata-rata koreksi IHSG pada bulan Agustus lebih dalam ketimbang rata-rata koreksi pada bulan November yang hanya sebesar 1,13%.

Jika ditilik lebih dalam, ternyata bulan Agustus menjadi bulan terbanyak di mana IHSG membukukan koreksi di atas 5% secara bulanan. Dalam periode 2009-2018, tercatat tiga kali IHSG ambruk lebih dari 5% secara bulanan pada bulan Agustus, yakni pada tahun 2011, 2013, dan 2015. Koreksi IHSG yang mencapai 9,01% pada Agustus 2013 bahkan menjadi koreksi bulanan terdalam yang pernah disaksikan investor dalam 10 tahun terakhir.



Pada tahun 2019, bulan Agustus kembali tidak bersahabat bagi pelaku pasar saham. Sepanjang bulan ini (hingga akhir sesi satu perdagangan hari ini), IHSG tercatat melemah sebesar 2,06%. Pada bulan ini, IHSG sempat anjlok hingga lebih dari 4%.

Menurut kami, pengumuman tingkat suku bunga acuan oleh BI pada esok hari akan sangat menentukan kinerja IHSG dalam jangka pendek, setidaknya hingga akhir bulan ini.

Sebagai latar belakang, saat ini perekonomian Indonesia jelas membutuhkan pemangkasan tingkat suku bunga acuan. Saat ini perekonomian Indonesia sedang lesu, kurang bergairah.

Pada awal bulan ini, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka pertumbuhan ekonomi periode kuartal II-2019. Sepanjang tiga bulan kedua tahun 2019, BPS mencatat perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,05% secara tahunan (year-on-year/YoY), jauh melambat dibandingkan capaian kuartal II-2018 kala perekonomian mampu tumbuh sebesar 5,27%. Pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan kedua tahun 2019 juga melambat jika dibandingkan capaian pada kuartal I-2019 yang sebesar 5,07%. Untuk periode semester I-2019, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,06% YoY.

Padahal, pada tiga bulan kedua tahun ini ada gelaran pemilihan umum (Pemilu) dan kehadiran bulan Ramadan yang diharapkan bisa mendongkrak konsumsi dan pertumbuhan ekonomi secara umum. Kenyataannya, perekonomian Indonesia tetap saja loyo.

Jelas dibutuhkan pemangkasan tingkat suku bunga acuan lebih lanjut guna merangsang laju perekonomian tanah air. Kala tingkat suku bunga acuan dipangkas lebih lanjut, bank akan semakin terdorong untuk menurunkan tingkat suku bunga kredit sehingga memacu dunia usaha untuk melakukan ekspansi.

Selain itu, masyarakat juga akan terdorong untuk meningkatkan konsumsinya. Pada akhirnya, roda perekonomian akan berputar lebih kencang.

Jika BI kembali memangkas tingkat suku bunga acuannya esok hari, optimisme pelaku pasar bisa membuncah sehingga aksi beli di bursa saham tanah air bisa dilakukan hingga akhir bulan. Di sisi lain, IHSG bisa ambruk jika BI memutuskan untuk menahan 7-Day Reverse Repo Rate. Pasalnya, kondisi eksternal sat ini sedang kurang mendukung. Belum lama ini, gaung resesi dibunyikan dengan begitu keras di AS.

Pada perdagangan hari Rabu (14/8/2019), imbal hasil (yield) obligasi AS tenor 2 tahun sempat melampaui yield obligasi AS tenor 10 tahun. Fenomena ini disebut sebagai inversi.

Untuk diketahui, inversi merupakan sebuah fenomena di mana yield obligasi tenor pendek berada di posisi yang lebih tinggi dibandingkan tenor panjang. Padahal dalam kondisi normal, yield tenor panjang akan lebih tinggi karena memegang obligasi tenor panjang pastilah lebih berisiko ketimbang tenor pendek.

Terjadinya inversi mencerminkan bahwa pelaku pasar melihat risiko yang tinggi dalam jangka pendek yang membuat mereka meminta yield yang tinggi sebagai kompensasi. Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harga. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.

Inversi di pasar obligasi AS menjadi hal yang sangat krusial lantaran terjadinya inversi merupakan sinyal dari terjadinya resesi di AS di masa depan. Sebagai informasi, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.

Terhitung sejak tahun 1978, telah terjadi 5 kali inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun, semuanya berujung pada resesi. Berdasarkan data dari Credit Suisse yang kami lansir dari CNBC International, secara rata-rata terdapat jeda waktu selama 22 bulan semenjak terjadinya inversi hingga resesi.

Analisis dari institusi lain menguatkan pandangan bahwa AS akan jatuh ke jurang resesi. Bank of America Merrill Lynch dalam risetnya bahkan menyebut bahwa inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun telah mendahului tujuh resesi terakhir yang terjadi di AS.

Memang, Wall Street biasanya menunjukkan kinerja yang oke menjelang resesi. Data dari Credit Suisse menunjukkan bahwa Wall Street biasanya membukukan kenaikan hingga 18 bulan pasca terjadi inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun. Secara rata-rata, Wall Street membukukan kenaikan hingga lebih dari 15% dalam periode 18 bulan tersebut, tepatnya 15,7%.

Namun dalam jangka pendek pasca inversi terjadi, pelaku pasar patut berhati-hati. Pasalnya, ada kecenderungan bahwa pelaku pasar masih akan shock dalam menanggapi potensi datangnya resesi di AS.

Apalagi, analisis dari kami juga menyimpulkan bahwa reli-tidaknya Wall Street pasca inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun terjadi akan sangat ditentukan oleh arah kebijakan moneter The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS. Untuk diketahui, pertemuan The Fed berikutnya baru akan digelar pada bulan depan.

Pemangkasan tingkat suku bunga acuan oleh BI sangat diperlukan guna meminimalisir tekanan di bursa saham tanah air yang bisa datang dari shock yang dialami pelaku pasar saham AS dalam menanggapi potensi datangnya resesi di sana.

Jika besok BI tak mengeksekusi pemangkasan tingkat suku bunga acuan, bukan tak mungkin sejarah akan terulang lagi, di mana IHSG kembali terkoreksi lebih dari 5% pada bulan Agustus.

Jadi, mari berharap Gubernur BI Perry Warjiyo dan koleganya di bank sentral membawa kabar gembira bagi pasar saham tanah air esok hari.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/ank) Next Article Jelang Musim Laporan Keuangan, Ini Emiten Yang Mulai Diborong

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular