Jika BI Tak Pangkas Bunga Acuan, Akankah IHSG Ambruk?

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
21 August 2019 14:40
Kalau BI Tak Pangkas Bunga, IHSG Bisa Ambruk
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Di sisi lain, IHSG bisa ambruk jika BI memutuskan untuk menahan 7-Day Reverse Repo Rate. Pasalnya, kondisi eksternal sat ini sedang kurang mendukung. Belum lama ini, gaung resesi dibunyikan dengan begitu keras di AS.

Pada perdagangan hari Rabu (14/8/2019), imbal hasil (yield) obligasi AS tenor 2 tahun sempat melampaui yield obligasi AS tenor 10 tahun. Fenomena ini disebut sebagai inversi.

Untuk diketahui, inversi merupakan sebuah fenomena di mana yield obligasi tenor pendek berada di posisi yang lebih tinggi dibandingkan tenor panjang. Padahal dalam kondisi normal, yield tenor panjang akan lebih tinggi karena memegang obligasi tenor panjang pastilah lebih berisiko ketimbang tenor pendek.

Terjadinya inversi mencerminkan bahwa pelaku pasar melihat risiko yang tinggi dalam jangka pendek yang membuat mereka meminta yield yang tinggi sebagai kompensasi. Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harga. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.

Inversi di pasar obligasi AS menjadi hal yang sangat krusial lantaran terjadinya inversi merupakan sinyal dari terjadinya resesi di AS di masa depan. Sebagai informasi, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.

Terhitung sejak tahun 1978, telah terjadi 5 kali inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun, semuanya berujung pada resesi. Berdasarkan data dari Credit Suisse yang kami lansir dari CNBC International, secara rata-rata terdapat jeda waktu selama 22 bulan semenjak terjadinya inversi hingga resesi.

Analisis dari institusi lain menguatkan pandangan bahwa AS akan jatuh ke jurang resesi. Bank of America Merrill Lynch dalam risetnya bahkan menyebut bahwa inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun telah mendahului tujuh resesi terakhir yang terjadi di AS.

Memang, Wall Street biasanya menunjukkan kinerja yang oke menjelang resesi. Data dari Credit Suisse menunjukkan bahwa Wall Street biasanya membukukan kenaikan hingga 18 bulan pasca terjadi inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun. Secara rata-rata, Wall Street membukukan kenaikan hingga lebih dari 15% dalam periode 18 bulan tersebut, tepatnya 15,7%.

Namun dalam jangka pendek pasca inversi terjadi, pelaku pasar patut berhati-hati. Pasalnya, ada kecenderungan bahwa pelaku pasar masih akan shock dalam menanggapi potensi datangnya resesi di AS.

Apalagi, analisis dari kami juga menyimpulkan bahwa reli-tidaknya Wall Street pasca inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun terjadi akan sangat ditentukan oleh arah kebijakan moneter The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS. Untuk diketahui, pertemuan The Fed berikutnya baru akan digelar pada bulan depan.

Pemangkasan tingkat suku bunga acuan oleh BI sangat diperlukan guna meminimalisir tekanan di bursa saham tanah air yang bisa datang dari shock yang dialami pelaku pasar saham AS dalam menanggapi potensi datangnya resesi di sana.

Jika besok BI tak mengeksekusi pemangkasan tingkat suku bunga acuan, bukan tak mungkin sejarah akan terulang lagi, di mana IHSG kembali terkoreksi lebih dari 5% pada bulan Agustus.

Jadi, mari berharap Gubernur BI Perry Warjiyo dan koleganya di bank sentral membawa kabar gembira bagi pasar saham tanah air esok hari.

TIM RISET CNBC INDONESIA (ank/ank)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular