Jangan Cepat-Cepat Jual, Harga Emas Masih Bisa Naik Lagi

Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
17 August 2019 16:05
Harga emas di pasar global mampu menguat lebih dari 1% pekan ini.
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga emas di pasar global mampu menguat lebih dari 1% pekan ini.

Ditutup di level US$ 1.523,6/troy ounce pada akhir pekan (16/8/2019), harga emas berjangka (futures) kontrak pengiriman Desember di bursa New York Commodities Exchange (COMEX) menguat 1% dalam sepekan.

Sementara harga emas di pasar spot bertengger di posisi US$ 1.513,75/troy ounce atau naik 1,13% dalam dalam sepakan.

Sejumlah sentimen terkait risiko perekonomian global sukses membuat investor terus mengapresiasi harga emas.

Sebagaimana diketahui, kala risiko ekonomi meningkat, pelaku pasar akan mencari tempat berlindung. Emas dipilih karena fluktuasi harganya yang relatif rendah dibanding aset-aset berisiko seperti saham.




Emas mengawali perdagangan pekan ini dengan kekhawatiran perihal nasib hubungan dagang AS-China.

Kemelut AS-China Masih Jadi Sentiman Utama

Akhir pekan lalu (9/8/2019) Presiden AS, Donald Trump, mengatakan bahwa Washington masih terus melanjutkan perundingan dagang dengan China, seperti dikutip dari Reuters. Namun dirinya menegaskan bahwa tidak ada kesepakatan yang akan dibuat untuk sekarang ini.

Penasihat perdagangan Gedung Putih, Peter Navaro, mengatakan bahwa pihaknya masih melanjutkan rencana perundingan dengan China di Washington pada awal bulan September.

"Kami melanjutkan rencana mengundang negosiator China untuk datang ke mari [Washington]," ujar Navaro kepada CNBC International.

Melihat sinyal-sinyal tersebut, masih banyak ketidakpastian dari nasib hubungan dagang kedua negara.

"Apapun masih mungkin terjadi [terhadap harga emas], jika negosiasi dagang [AS-China] terus memburuk, harga bisa naik lebih tinggi lagi," ujar Miguel Perez-Santalla, wakil direktur Heraeus Metal Management di New York, dikutip dari Reuters.

Beberapa analis memperkirakan jika perang dagang AS-China terus tereskalasi bisa menyebabkan perekonomian global jatuh kepada resesi. Hal itu dikarenakan AS dan China merupakan dua negara dengan perekonomian terbesar di dunia. Pengaruhnya akan melebar ke seluruh penjuru negeri.

Akan tetapi pada hari Selasa (13/8/2019) harga emas sempat terkoreksi akibat adanya kabar baik terkait perang dagang. Presiden AS, Donald Trump, memutuskan untuk menunda pemberlakuan tarif 10% terhadap produk China senilai US$ 300 miliar hingga 15 Desember mendatang.

Sebelumnya, Trump sempat mengancam akan mengenakan tarif tersebut mulai 1 September dan membuka peluang untuk meningkatkan besaran tarif hingga lebih dari 25%.

"Kami melakukan ini untuk musim Natal, hanya untuk berjaga-jaga bila beberapa tarif memberi dampak pada konsumen AS," ujar Trump kepada reporter di New Jersey, seperti dikutip dari Reuters.

Barang-barang yang nantinya akan dikenakan tarif merupakan produk yang sebelumnya bukan merupakan objek perang dagang, seperti pakaian jadi dan sepatu.

Akan tetapi sentimen positif dari penundaan tarif tidak berlangsung lama. Pasalnya setelah itu, pelaku pelaku pasar dibuat takut dengan datangnya sinyal-sinyal resesi ekonomi di AS yang kian nyata.

Awan Kelabu Menyelimuti Perekonomian Global

Pada Kamis (14/8/2019) dini hari waktu Indonesia, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 2 tahun ada di level 1,974%. Sementara yang bertenor 10 tahun sebesar 1,5826%. Dari data tersebut terlihat bahwa yield obligasi jangka pendek (2 tahun) lebih tinggi ketimbang jangka panjang (10 tahun), atau biasa disebut dengan inversi.

Itu adalah inversi yield pertama untuk obligasi dua tenor tersebut sejak Juni 2007. Pelaku pasar membaca fenomena tersebut sebagai sinyal-sinyal resesi.

Inversi menunjukkan bahwa risiko dalam jangka pendek lebih besar dibanding jangka panjang. Investor meminta imbal hasil yang lebih tinggi untuk investasi jangka pendek karena risikonya besar. Karenanya, investor kerap dikaitkan dengan pertanda resesi.

Resesi sendiri merupakan kondisi dimana perekonomian tumbuh negatif alias terkontraksi dalam dua kuartal beruntun di tahun yang sama.

Inversi tersebut muncul bukan tanpa alasan. Sebab sejumlah data indikator ekonomi di beberapa negara besar terbilang buruk.

Produksi industri China periode Juli tercatat tumbuh 4,8% year-on-year (YoY). Jauh melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 6,3% dan merupakan laju paling lemah sejak Februari 2002.

Sementara penjualan ritel di Negeri Tirai Bambu pada Juli tumbuh 7,6% YoY, melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang naik 9,8% YoY. Kemudian penjualan mobil di China pada Juli turun 2,6% YoY, padahal bulan sebelumnya melonjak 17,2% YoY.

Tak berhenti sampai di situ, pertumbuhan ekonomi Jerman pada kuartal II-2019 hanya sebesar 0,4% YoY. Melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 0,9% YoY.

Untuk keseluruhan 2019, pemerintah Jerman memperkirakan ekonomi tumbuh 0,5%. Tahun lalu, ekonomi Jerman tumbuh 1,5%.

Jerman adalah perekonomian terbesar di Eropa, perlambatan ekonomi di sana akan mempengaruhi satu benua. Terbukti pada kuartal II-2019 ekonomi Zona Euro tumbuh 1,1% YoY, melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 1,2% YoY.

Kekhawatiran inilah yang pada akhirnya mendorong harga emas di pasar spot hingga menembus level US$ 1.522/troy ounce yang merupakan tertinggi sejak April 2013 atau 6 tahun lalu pada hari Kamis (15/8/2019).

Namun setelahnya, harga emas sedikit merunduk akibat optimisme damai dagang AS-China yang muncul lagi.


Damai Dagang Masih Mungkin?

Kemarin, Trump juga mengatakan bahwa perundingan dengan China masih terus berlangsung.

"Sepengetahuan saya, pertemuan pada September masih terjadwal. Namun yang lebih penting dari pertemuan itu, kami (AS dan China) terus berkomunikasi melalui telepon. Pembicaraan kami sangat produktif," ujar Trump, dikutip dari Reuters.

Kemudian Kementerian Luar Negeri China mengungkapkan optimisme bahwa kedua belah pihak bisa menemukan solusi untuk perang dagang yang sudah berlangsung lebih dari satu tahun.

"Dengan dasar kesetaraan dan saling menghormati, kita dapat menemukan solusi yang saling menguntungkan melalui dialog dan konsultasi," ujar juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Hua Chunying, dilansir dari CNBC International.

Setidaknya masih ada haraan bahwa dua raksasa ekonomi dunia mencapai kesepakatan dagang. Kala hal itu benar terjadi, maka perekonomian global bisa dipacu lebih cepat.

Namun tetap saja, Trump dikenal sebagai pribadi yang suka mengambil keputusan secara spontan, dan terkadang membabi buta. Tidak ada yang pasti dari perang dagang.

Beberapa analis memperkirakan kemelut AS-China masih akan terjadi hingga tahun 2020. Setidaknya hingga pemilihan umum (pemilu) presiden AS selesai.

Sampai saat itu, harga emas masih punya potensi untuk terus terangkat.

TIM RISET CNBC INDONESIA

[Gambas:Video CNBC]


(taa/taa) Next Article Emas, How High Can You Fly

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular