Bak Perjuangan Kemerdekaan, Rupiah Hadapi Rintangan Pekan Ini

Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
17 August 2019 11:38
Bak Perjuangan Kemerdekaan, Rupiah Hadapi Rintangan Pekan Ini
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indonesia - Nasib nahas menimpa mata uang Garuda pekan ini.

Pasalnya pada sesi perdagangan hari Jumat (16/8/2019), nilai tukar rupiah ditutup di Rp 14.230/US$ yang artinya melemah 0,32% dalam sepekan.

Namun setidaknya, rupiah punya banyak kawan untuk berbagi duka. Sebagian besar mata uang utama Benua Kuning juga bernasib serupa.

Yen Jepang merupakan mata uang yang mengalami depresiasi paling parah terhadap dolar Amerika Serikat (AS), yaitu 0,66% dalam sepekan. Disusul oleh peso Filipina dan baht Thailand dengan nilai depresiasi masing-masing sebesar 0,56% dan 0,39%. Mata uang lain yang ikut menemani rupiah di zona merah antara lain rupe India dan dolar Hong Kong.

Akan tetapi, rupiah juga jangan terlalu nyaman. Masih ada lima mata uang utama Asia lain yang nyatanya mampu melawan kedigdayaan dolar AS seperti dolar Singapura, ringgit Malaysia, dolar Taiwan, yuan China, dan won Korea Selatan.



Perjalanan Rupiah Tak Mudah

Di awal pekan, rupiah mengawali perdagangan dengan bayang-bayang kelabu pasca pengumuman Neraca Pembayaran Indonesia (NPI), Jumat (9/8/2019).

Bank Indonesia melaporkan defisit NPI di kuartal II-2019 bengkak menjadi US$ 1,98 miliar. Padahal di kuartal sebelumnya terjadi surplus sebesar US$ 2,42 miliar.

Sementara di pos yang menjadi sorotan utama pelaku pasar, yaitu transaksi berjalan (current account) juga terjadi defisit sebesar US$ 8,44 miliar atau 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Defisit tersebut lebih dalam ketimbang kuartal I-2019 yang sebesar US$ 6,97 miliar atau 2,6% PDB.

Defisit pada NPI menandakan arus devisa yang keluar lebih banyak daripada yang masuk. Terlebih pada pos transaksi berjalan yang notabene mencerminkan aliran devisa pada sektor riil.

Tanpa pasokan valas yang memadai, fundamental rupiah menjadi sangat lemah. Dirinya menjadi rentan terkoreksi akibat tekanan mata uang lain.

Sementara itu, perang dagang AS-China juga masih menjadi momok yang menghantui pergerakan rupiah.

Di akhir pekan lalu (9/8/2019) Presiden AS , Donald Trump, menyatakan keterbukaan untuk melanjutkan perundingan dengan China yang dijadwalkan berlangsung pada awal September. Namun bukan tidak mungkin dialog itu batal.

"Mungkin (dialog di Washington batal), tapi kita lihat nanti. Perundingan masih terjadwal," ujar Trump seperti dikutip dari Reuters.

Sentimen Perang Mata Uang Masih Menghantui

Pada hari Selasa (13/8/2019) Bank Sentral China (People Bank of China/PBoC) menetapkan nilai tengah yuan di CNY 7,0326/US$ yang merupakan posisi terlemah sejak Maret 2008 atau lebih dari 11 tahun lalu.

Disinyalir PBoC sengaja 'merelakan' yuan melemah untuk menggenjot kinerja ekspor ke negara-negara lain.

Sebagai informasi, di China Bank Sentral memang punya kuasa untuk menetapkan nilai tengah mata uang yuan untuk setiap sesi perdagangan. Sementara pergerakan yuan juga dibatasi plus minus 2%.

Kombinasi berbagai sentimen negatif tersebut terbukti sukses menekan nilai tukar rupiah dan menembus level Rp 14.300/US$ pada hari Selasa (13/8/2019).

Akan tetapi setelahnya, mulai ada kabar baik yang menjadi angin segar bagi rupiah.

BERLANJUT KE HALAMAN 2>>>
Eskalasi Perang Dagang Ditunda

Pada Rabu (14/8/2019) dini hari waktu Indonesia, Trump memutuskan untuk menunda pemberlakuan bea masuk sebesar 10% untuk produk impor asal China senilai US$ 300 miliar. Dari yang sedianya akan berlaku mulai 1 September, Trump menunda hingga 15 Desember.

"Kami melakukan ini (menunda pengenaan bea masuk baru) untuk mengantisipasi Hari Natal, berjaga-jaga kalau ada dampak ke konsumen. Jadi kami menundanya sehingga tidak mempengaruhi musim belanja Natal," kata Trump, dikutip dari Reuters.

Keputusan tersebut diambil tidak lama setelah mendapat laporan bahwa Kepala Perwakilan Dagang AS, Robert Lighthizer melakukan pembicaraan via telepon dengan Wakil Perdana Menteri China, Liu He, Menteri Perdagangan CHina, Zhong Shan, dan Gubernur PBoC, Yi Gang.

"Kedua pihak sepakat untuk melanjutkan pembicaraan melalui telepon dua minggu lagi," sebut pernyataan tertulis kantor perwakilan Dagang AS.

Alhasil, investor mulai kembali berani untuk masuk ke aset-aset berisiko di negara berkembang, termasuk Indonesia. Rupiah pun mengambil momentum. Tak hanya itu, rupiah juga dibantu oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yang mengumumkan neraca dagang Indonesia periode Juli 2019 pada hari Kamis (15/8/2019).

Neraca Dagang jadi Obat Bagi Rupiah

Menurut data BPS, ekspor Indonesia pada bulan Juli terkontraksi 5,12% secara tahunan (year-on-year/YoY) dan impor negatif 15,21% YoY. Kombinasi tersebut menyebabkan neraca dagang defisit tipis US$ 63,5 juta. Realisasi tersebut lebih baik ketimbang ekspektasi pasar.  Konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan neraca dagang Juli 2019 defisit US$ 384,5 juta.

Sementara sepanjang Januari-Juli 2019, neraca dagang tercatat defisit sebesar US$ 1,89 miliar, yang mana 40,9% lebih kecil dibanding defisit periode Januari-Juli 2018 yang mencapai US$ 3,2 miliar.



Ini tentu menjadi sinyal positif bahwa neraca perdagangan bisa lebih baik di tahun ini. Defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) pun punya peluang untuk dikikis.

Akan tetapi pelaku pasar kembali dihantam isu resesi perekonomian.

Siapa yang Tak Takut Resesi?

Pada hari Kamis (15/8/2019) dini hari waktu Indonesia, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor dua tahun lebih tinggi dari yang 10 tahun, atau biasa disebut sebagai inversi. Kejadian ini terakhir kali terjadi pada April 2007.

Inversi yield obligasi tenor 2 dan 10 tahun ini agak spesial. Sebab tidak lama setelah terakhir kali terjadi, meletus krisis keuangan global yang menyebabkan resesi. Resesi merupakan kondisi dimana pertumbuhan ekonomi negatif alias terkontraksi dalam dua kuartal beruntun di tahun yang sama.

Berdasarkan catatan sejarah sejak 1978, dari lima kali resesi ekonomi AS yang terjadi, seluruhnya didahului oleh inversi yield obligasi tenor 2 dan 10 tahun. Credit Suisse mengatakan secara rata-rata terdapat jeda waktu selama 22 bulan semenjak terjadinya inversi hingga resesi.

Kala AS mengalami resesi, mana dampaknya juga akan merebak ke seluruh dunia. Pasalnya saat ini AS merupakan negara dengan perekonomian terbesar di dunia. Rantai pasokan global sudah pasti terhubung ke AS.

Aroma Damai Dagang Kian Harum 

Namun setidaknya setelahnya masih ada kabar baik dari AS. Kemarin, Trump mengatakan bahwa perundingan dengan China masih terus berlangsung.

"Sepengetahuan saya, pertemuan pada September masih terjadwal. Namun yang lebih penting dari pertemuan itu, kami (AS dan China) terus berkomunikasi melalui telepon. Pembicaraan kami sangat produktif," ujar Trump, dikutip dari Reuters.

Asa damai dagang kembali menyeruak. Ada harapan perundingan dagang AS-China di Washington pada awal September nanti menuai hasil positif. Alhasil pada akhir pekan, rupiah mampu menguat 0,21%. Namun apa daya, penguatan di akhir pekan tak mampu menyeimbangkan pelemahan yang terjadi di hari-hari sebelumnya.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular