AS Menuju Resesi, IHSG Berkubang di Zona Merah Seharian

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
15 August 2019 16:39
AS Menuju Resesi, IHSG Berkubang di Zona Merah Seharian
Foto: Ilustrasi (Designed by Jcomp / Freepik)
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengawali perdagangan hari ini dengan koreksi yang begitu dalam, yakni sebesar 1,19%. Per akhir sesi dua, koreksi IHSG adalah sebesar 0,16% ke level 6.257,59. Tak sekalipun IHSG merasakan manisnya zona hijau pada perdagangan hari ini.

IHSG melemah kala bursa saham utama kawasan Asia ditransaksikan bervariasi: indeks Nikkei ambruk 1,21%, indeks Straits Times jatuh 0,97%, indeks Shanghai naik 0,25%, dan indeks Hang Seng menguat 0,76%. Untuk diketahui, perdagangan di bursa saham Korea Selatan diliburkan seiring dengan peringatan Liberation Day.

Sentimen negatif bagi pasar saham Benua Kuning datang dari pergerakan di pasar obligasi AS. Pada perdagangan kemarin (14/8/2019), imbal hasil (yield) obligasi AS tenor 2 tahun sempat melampaui yield obligasi AS tenor 10 tahun.

Fenomena ini disebut sebagai inversi. Pada penutupan perdagangan kemarin, inversi sudah tak terjadi. Namun pada hari ini, inversi kembali terjadi. Inversi yang terjadi kemarin menjadi yang pertama sejak siklus inversi pada akhir 2015 silam.

Melansir data dari Refinitiv, yield obligasi tenor 2 tahun pada hari ini berada di level 1,5649%, sementara yield obligasi tenor 10 tahun berada di level 1,5606%. Yield obligasi tenor 2 tahun mengungguli tenor 10 tahun sebesar 0,4 basis poin (bps).


Untuk diketahui, inversi merupakan sebuah fenomena di mana yield obligasi tenor pendek berada di posisi yang lebih tinggi dibandingkan tenor panjang. Padahal dalam kondisi normal, yield tenor panjang akan lebih tinggi karena memegang obligasi tenor panjang pastilah lebih berisiko ketimbang tenor pendek. Terjadinya inversi mencerminkan bahwa pelaku pasar melihat risiko yang tinggi dalam jangka pendek yang membuat mereka meminta yield yang tinggi sebagai kompensasi.

Inversi di pasar obligasi AS menjadi hal yang krusial bagi pasar keuangan dunia lantaran terjadinya inversi merupakan sinyal dari terjadinya resesi di AS di masa depan.

Sebagai informasi, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.

Sejatinya, inversi di pasar obligasi AS juga terjadi belum lama ini, namun melibatkan tenor yang berbeda dari saat ini (2 tahun dan 10 tahun). Pada tanggal 3 Desember 2018, terjadi inversi pada tenor 3 dan 5 tahun. Melansir data dari Refinitiv, pada penutupan perdagangan tanggal 3 Desember 2018, yield obligasi AS tenor 3 tahun berada di level 2,844%, sementara untuk tenor 5 tahun berada di level 2,839%.

Dalam 3 resesi terakhir yang terjadi di AS (1990, 2001, dan 2007), selalu terjadi inversi pada tenor 3 dan 5 tahun. Melansir CNBC International yang mengutip Bespoke, dalam 3 resesi terakhir, inversi pertama pada tenor 3 dan 5 tahun datang rata-rata 26,3 bulan sebelum resesi terjadi.

Namun, konfirmasi datang atau tidaknya resesi baru akan datang jika terjadi inversi pada tenor 3 bulan dan 10 tahun. Pasalnya, inversi pada tenor 3 dan 5 tahun selalu diikuti oleh inversi pada tenor 3 bulan dan 10 tahun terlebih dahulu sebelum resesi benar-benar terjadi.

Pada Maret 2019, obligasi AS tenor 3 bulan dan 10 tahun pada akhirnya mengalami inversi. Melansir data dari Refinitiv, pada penutupan perdagangan tanggal 22 Maret 2019, yield obligasi AS tenor 3 bulan berada di level 2,462%, sementara untuk tenor 10 tahun berada di level 2,455%.

Namun, yang membuat inversi obligasi AS tenor 2 dan 10 tahun spesial adalah: terhitung sejak tahun 1978, telah terjadi 5 kali inversi antara tenor 2 dan 10 tahun, semuanya berujung pada resesi. Berdasarkan data dari Credit Suisse yang kami lansir dari CNBC International, secara rata-rata terdapat jeda waktu selama 22 bulan semenjak terjadinya inversi hingga resesi.

Kala AS selaku negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia mengalami resesi, perekonomian global juga akan mendapatkan tekanan yang signifikan.

BERLANJUT KE HALAMAN 2 Dari dalam negeri, rilis data perdagangan internasional periode Juli 2019 menjadi faktor yang membantu IHSG menipiskan kekalahannya.

Sepanjang Juli 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa ekspor jatuh sebesar 5,12% secara tahunan (year-on-year/YoY), lebih baik dari konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan kontraksi hingga 11,59%.

Sementara itu, impor tercatat jatuh 15,21% YoY, juga lebih baik ketimbang konsensus yakni koreksi sebesar 17,76% YoY. Alhasil, neraca dagang tercatat membukukan defisit senilai US$ 63,5 juta, lebih kecil dibandingkan konsensus yang sebesar US$ 384,5 juta.

Rilis data perdagangan internasional periode Juli 2019 menjadi sangat penting lantaran akan mempengaruhi posisi transaksi berjalan pada kuartal III-2019. Pada Juli 2018, neraca dagang Indonesia membukukan defisit senilai US$ 2,01 miliar, sementara defisit transaksi berjalan/current account deficit (CAD) pada kuartal III-2018 tercatat sebesar 3,3% dari PDB.

Jika ternyata neraca dagang Indonesia membukukan defisit yang lebih dalam dari ekspektasi pada periode Juli 2019, maka akan ada kekhawatiran bahwa transaksi berjalan akan kembali membengkak pada kuartal III-2019.

Untuk diketahui, pada kuartal II-2019 Bank Indonesia (BI) mencatat bahwa CAD menembus level 3% dari PDB, tepatnya 3,04%. Padahal pada kuartal I-2019, CAD hanya berada di level 2,6% dari PDB. Secara nominal, CAD pada kuartal II-2019 adalah senilai US$ 8,44 miliar.

Dengan defisit neraca dagang pada Juli 2019 yang jauh lebih kecil dari ekspektasi, maka ada harapan bahwa CAD di kuartal III-2019 akan menyempit. Hal ini pada akhirnya membuat IHSG berangsur-angsur naik, walaupun tak sampai finis di zona hijau.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article Hantu 'Resesi' Muncul Lagi, Hati-hati IHSG Lanjut Merosot!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular