
Jokowi Sudah Gelisah, Ini Fakta Mengerikan Currency War!
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
14 August 2019 11:28

Devaluasi renminbi (nama lain yuan) oleh PBoC juga berdampak terhadap nilai tukar mata uang tersebut terhadap rupiah. Yuan pada pekan lalu menyentuh level terlemah dua tahun melawan rupiah.
Nilai tukar yuan yang murah tentunya bisa memicu peningkatan permintaan impor, dalam kasus ini neraca perdagangan Indonesia pertaruhannya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Pada semester I-2019, impor non-migas asal China tercatat US$ 20,63 miliar dengan kontribusi 28,91% dari total impor Indonesia.
Jika defisit neraca perdagangan membengkak, maka akan sulit untuk menekan defisit Transaksi Berjalan (Current Account Deficit/CAD) yang selama ini menjadi "hantu" bagi perekonomian Indonesia.
Pada kuartal II-2019, CAD menembus level 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB), tepatnya 3,04%. Padahal pada kuartal I-2019, CAD hanya berada di level 2,6%. Secara nominal, CAD pada kuartal II-2019 adalah senilai US$ 8,44 miliar.
CAD pada kuartal II-2019 juga lebih dalam ketimbang CAD pada periode yang sama tahun lalu (kuartal-II 2018) yang sebesar 3,01% dari PDB.
Meningkatnya impor akibat rendahnya nilai tukar yuan tentunya akan menyulitkan untuk menekan CAD kembali ke bawah 3% dari PDB.
Tidak hanya itu, Amerika Serikat kini kemungkinan akan bertindak, jika Pemerintah Washington ikut mendevaluasi dolar AS maka currency war atau perang mata uang akan resmi terjadi.
Potensi terjadinya currency war sudah menjadi perhatian sejak pekan lalu, pergerakan mata uang yen Jepang yang terus menguat menjadi indikasinya.
"Penguatan yen yang sedang berlangsung saat ini merupakan sinyal lain dari pergeseran sentimen terhadap dolar AS yang akan segera melemah, terutama jika kekhawatiran 'intervensi' (dari AS) menjadi menjadi semakin nyata" kata John Marley, konsultan forex di SmartCurrenyBusiness, sebagaimana dikutip CNBC International.
Berbeda dengan yen yang dianggap aset aman atau safe haven, rupiah merupakan mata uang emerging market memberikan imbal hasil tinggi, tetapi sama dengan risiko yang dimiliki.
Ketika Pemerintah AS benar mendevaluasi nilai tukar dolar AS, rupiah belum tentu bisa menguat melawan mata uang Paman Sam, ada kemungkinan malah akan semakin melemah.
Currency war dianggap dapat semakin menghambat roda perekonomian global yang sedang melambat, sehingga pelaku pasar akan melakukan risk aversion dengan keluar dari negara emerging market dan mengalihkan investasinya ke aset safe haven. Skenario tersebut tentunya membuat nilai tukar rupiah akan semakin jeblok.
Dampak paling buruk dari currency war adalah kemungkinan terjadinya Depresi Besar (Great Depression) seperti yang terjadi pada tahun 1930an di AS.
Profesor ekonomi di Cornell University, Stephen Charles Kyle, mengatakan potensi kenaikan tarif impor dan depresiasi mata uang mempercepat langkah ekonomi memasuki Great Depression pada tahun 1930an.
"Kita bahkan tidak ingin berada pada langkah awal di jalur ini. Inilah yang persis terjadi saat Great Depression 1930: setiap negara menaikkan tarif impor, dan bersaing dengan mitra dagangnya dengan mendepresiasi nilai tukar mata uangnya. Beberapa tahun setelahnya, berdagangan global hampir berhenti total" kata Kyle sebagaimana dikutip Washington Post.
Jadi pantas jika pemerintah mulai khawatir dengan sikap China yang "sedikit bicara banyak bekerja" mendevaluasi yuan.
TIM RISET CNBC INDONESIA (pap/dru)
Nilai tukar yuan yang murah tentunya bisa memicu peningkatan permintaan impor, dalam kasus ini neraca perdagangan Indonesia pertaruhannya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Pada semester I-2019, impor non-migas asal China tercatat US$ 20,63 miliar dengan kontribusi 28,91% dari total impor Indonesia.
Pada kuartal II-2019, CAD menembus level 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB), tepatnya 3,04%. Padahal pada kuartal I-2019, CAD hanya berada di level 2,6%. Secara nominal, CAD pada kuartal II-2019 adalah senilai US$ 8,44 miliar.
CAD pada kuartal II-2019 juga lebih dalam ketimbang CAD pada periode yang sama tahun lalu (kuartal-II 2018) yang sebesar 3,01% dari PDB.
Meningkatnya impor akibat rendahnya nilai tukar yuan tentunya akan menyulitkan untuk menekan CAD kembali ke bawah 3% dari PDB.
Tidak hanya itu, Amerika Serikat kini kemungkinan akan bertindak, jika Pemerintah Washington ikut mendevaluasi dolar AS maka currency war atau perang mata uang akan resmi terjadi.
Potensi terjadinya currency war sudah menjadi perhatian sejak pekan lalu, pergerakan mata uang yen Jepang yang terus menguat menjadi indikasinya.
"Penguatan yen yang sedang berlangsung saat ini merupakan sinyal lain dari pergeseran sentimen terhadap dolar AS yang akan segera melemah, terutama jika kekhawatiran 'intervensi' (dari AS) menjadi menjadi semakin nyata" kata John Marley, konsultan forex di SmartCurrenyBusiness, sebagaimana dikutip CNBC International.
Berbeda dengan yen yang dianggap aset aman atau safe haven, rupiah merupakan mata uang emerging market memberikan imbal hasil tinggi, tetapi sama dengan risiko yang dimiliki.
Ketika Pemerintah AS benar mendevaluasi nilai tukar dolar AS, rupiah belum tentu bisa menguat melawan mata uang Paman Sam, ada kemungkinan malah akan semakin melemah.
Currency war dianggap dapat semakin menghambat roda perekonomian global yang sedang melambat, sehingga pelaku pasar akan melakukan risk aversion dengan keluar dari negara emerging market dan mengalihkan investasinya ke aset safe haven. Skenario tersebut tentunya membuat nilai tukar rupiah akan semakin jeblok.
Dampak paling buruk dari currency war adalah kemungkinan terjadinya Depresi Besar (Great Depression) seperti yang terjadi pada tahun 1930an di AS.
Profesor ekonomi di Cornell University, Stephen Charles Kyle, mengatakan potensi kenaikan tarif impor dan depresiasi mata uang mempercepat langkah ekonomi memasuki Great Depression pada tahun 1930an.
"Kita bahkan tidak ingin berada pada langkah awal di jalur ini. Inilah yang persis terjadi saat Great Depression 1930: setiap negara menaikkan tarif impor, dan bersaing dengan mitra dagangnya dengan mendepresiasi nilai tukar mata uangnya. Beberapa tahun setelahnya, berdagangan global hampir berhenti total" kata Kyle sebagaimana dikutip Washington Post.
Jadi pantas jika pemerintah mulai khawatir dengan sikap China yang "sedikit bicara banyak bekerja" mendevaluasi yuan.
TIM RISET CNBC INDONESIA (pap/dru)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular