Peso Argentina Terlemah Sepanjang Sejarah, Rupiah Ikut Merah

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
13 August 2019 08:45
<i>Deja Vu</i> Peso Argentina...
Ilustrasi Money Changer (REUTERS/Johannes P. Christo)
Sentimen eksternal memang sedang kurang bersahabat buat mata uang negara berkembang seperti rupiah. Penyebabnya adalah depresiasi mata uang peso Argentina yang begitu dalam. 

Pada pukul 08:13 WIB, peso melemah 15,26% terhadap dolar AS dan menyentuh titik terlemah sepanjang sejarah. Wow. 

 

Kejatuhan peso disebabkan oleh kekalahan calon petahana (incumbent) Pemilu 2019, Presiden Mauricio Macri, yang sudah di depan mata. Dalam perhitungan suara awal, Macri hanya memperoleh sekitar 32%. Jauh di belakang kandidat oposisi Alberto Fernandez yang meraih 47%. 

Macri adalah pemimpin yang pro pasar. Di bawah kepemimpinannya, Argentina dibawa keluar dari krisis pada tahun lalu meski dibayar dengan harga yang lumayan mahal.  
Macri meminta bantuan Dana Moneter Internasional (IMF). Selain utangan, IMF juga menyarankan Macri untuk melakukan pengetatan anggaran. Pos-pos seperti subsidi dipangkas agar fiskal lebih sehat. 

Baca:
Argentina Umumkan Penghematan Anggaran 2019

Hasilnya lumayan. Kepercayaan pasar pulih dan ekonomi Argentina membaik. 

Pada 2018, peso anjlok 102,32%. Kemudian pada 2019 hingga akhir semester I, pelemahan peso 'hanya' 12,47%. 

Namun dengan kemungkinan Macri tidak terpilih lagi, Argentina bisa kembali ke rezim populis yang mengabaikan reformasi fiskal. Investor cemas pengganti Fernandez tidak terlalu ramah terhadap pasar sehingga bisa kembali membuat Negeri Lionel Messi terjerembab dalam krisis. 

Ya, kira-kira setahun lalu (Agustus 2018) Argentina membuat geger dunia. Mata uang peso melemah begitu dalam, yang kemudian menjadi sentimen negatif bagi mata uang negara berkembang lain, termasuk rupiah. 

Hari ini, deja vu peso terlihat lagi. Pelemahan peso menyeret mata uang negara berkembang ke selatan, dan rupiah menjadi salah satu korbannya. 


Apalagi fundamental rupiah bisa dibilang kurang oke. Akhir pekan lalu Bank Indonesia (BI) melaporkan data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal II-2019 yang membukukan defisit US$ 1,98 miliar. Padahal pada kuartal sebelumnya terjadi surplus US$ 2,42 miliar. 

Sementara di pos yang menjadi sorotan utama, yaitu transaksi berjalan (current account), terjadi defisit US$ 8,44 miliar atau 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Lebih dalam ketimbang kuartal sebelumnya yaitu minus US$ 6,97 miliar (2,6% PDB). 

Defisit NPI menandakan arus devisa di perekonomian nasional seret, lebih banyak yang keluar ketimbang yang masuk. Apalagi kemudian devisa jangka panjang dari ekspor barang dan jasa, yang dicerminkan dari transaksi berjalan, mengalami defisit yang lebih parah. 

Oleh karena itu, pasar semakin menemukan alasan untuk 'menghukum' rupiah. Selama transaksi berjalan masih defisit, rupiah memang rentan 'digoyang' ketika ada sentimen negatif dari luar seperti hari ini.



TIM RISET CNBC INDONESIA

(aji/aji)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular