Rupiah KO di Kurs Tengah BI, Terlemah Asia di Pasar Spot

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
12 August 2019 10:31
Sentimen Eksternal dan Domestik Tak Mendukung
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Melihat yen menjadi mata uang terkuat di Asia, tentu terbukti bahwa investor masih bermain aman. Yen adalah salah satu aset aman (safe haven) yang dipilih kala ketidakpastian perekonomian global sedang tinggi.

Sepanjang pekan lalu, yen menguat 0,86% terhadap dolar AS. Bukti bahwa permintaan terhadap mata uang ini sedang tinggi. 

Hari ini, sentimen yang menghantui pasar keuangan global sejak pekan lalu belum berubah. Perang dagang AS vs China masih menjadi kekhawatiran utama pelaku pasar. 

Presiden AS Donald Trump masih terbuka untuk melanjutkan perundingan dengan China, yang dijadwalkan berlangsung di Washington pada awal September. Namun bukan tidak mungkin dialog itu batal. 

"Mungkin (dialog di Washington batal), tetapi kita lihat nanti. Perundingan masih terjadwal," ujar Trump akhir pekan lalu, seperti diberitakan Reuters. 

Menurut Trump, China masih berhasrat untuk mencapai kesepakatan damai dagang. Namun Trump menyatakan dirinya belum siap untuk itu. 


Perang dagang AS-China pun cenderung berlanjut ke perang mata uang. Setelah pekan lalu melemah, yuan kembali melanjutkan depresiasi. Ada tendensi China sengaja melemahkan nilai tukar yuan untuk menggenjot kinerja ekspor. 


"Eskalasi (perang dagang) hanya akan menambah luka. Seluruh pihak harus menyamakan pandangan dan berhenti melemparkan retorika," tegas Olaf Scholz, Menteri Keuangan Jerman, dikutip dari Reuters. 

Kekhawatiran terhadap perang dagang AS-China yang masih memanas membuat investor masih emoh bermain-main di instrumen berisiko di negara berkembang. Akibatnya, tidak hanya rupiah tetapi berbagai mata uang utama Asia melemah di hadapan dolar AS. 

Sementara dari dalam negeri, rupiah terserang profit taking setelah tiga hari beruntun terapresasi di hadapan dolar AS. Jika di kurs tengah BI rupiah menguat sampai 1%, penguatan rupiah di pasar spot sepanjang tiga hari tersebut adalah 0,53%. 

Penguatan rupiah yang sudah lumayan tajam membuatnya rentan terkena aksi jual. Mungkin investor merasa rupiah sudah terlalu mahal, sehingga menarik untuk dilepas. 

Apalagi fundamental rupiah bisa dibilang lemah. Akhir pekan lalu, BI melaporkan data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal II-2019 yang membukukan defisit US$ 1,98 miliar. Padahal pada kuartal sebelumnya terjadi surplus US$ 2,42 miliar. 

Sementara di pos yang menjadi sorotan utama, yaitu transaksi berjalan (current account), terjadi defisit US$ 8,44 miliar atau 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Lebih dalam ketimbang kuartal sebelumnya yaitu minus US$ 6,97 miliar (2,6% PDB). 

Defisit NPI menandakan arus devisa di perekonomian nasional seret, lebih banyak yang keluar ketimbang yang masuk. Apalagi kemudian devisa jangka panjang dari ekspor barang dan jasa, yang dicerminkan dari transaksi berjalan, mengalami defisit yang lebih parah. 

Semestinya ini menjadi sentimen negatif yang tidak main-main bagi rupiah. Tanpa bantalan devisa yang memadai, rupiah sulit untuk stabil. Bahkan kemungkinan melemah cukup besar.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(aji/aji)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular