Rupiah KO di Kurs Tengah BI, Terlemah Asia di Pasar Spot

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
12 August 2019 10:31
Rupiah KO di Kurs Tengah BI, Terlemah Asia di Pasar Spot
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Rantai penguatan rupiah yang terjadi selama tiga hari perdagangan beruntun akhirnya putus. 

Pada Senin (12/8/2019), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.220. Rupiah melemah 0,18% dibandingkan posisi perdagangan akhir pekan lalu. 

Sebelumnya, rupiah sudah menguat selama tiga hari perdagangan berturut-turut. Dalam periode indah itu, rupiah terapresiasi 1,04%. 



Nasib rupiah di pasar spot pun serupa, tidak berdaya di hadapan greenback. Pada pukul 10:00 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.220 di mana rupiah melemah 0,25% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu. 

Kala pembukaan pasar rupiah sudah melemah 0,11%. Seiring perjalanan, depresiasi rupiah kian dalam dan dolar AS kembali menembus level Rp 14.200. 

Pagi ini, mata uang Asia bergerak variatif di hadapan dolar AS. Selain rupiah, mata uang yang melemah adalah yuan China, dolar Hong Kong, rupee India, dan won Korea Selatan. Sementara yang mampu menguat adalah yen Jepang, dolar Singapura, baht Thailand, dan dolar Taiwan. 

Namun depresiasi 0,25% membuat rupiah masih berada di dasar klasemen mata uang utama Benua Kuning. Ya, rupiah adalah mata uang terlemah di Asia. 

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 10:09 WIB: 

 



(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Melihat yen menjadi mata uang terkuat di Asia, tentu terbukti bahwa investor masih bermain aman. Yen adalah salah satu aset aman (safe haven) yang dipilih kala ketidakpastian perekonomian global sedang tinggi.

Sepanjang pekan lalu, yen menguat 0,86% terhadap dolar AS. Bukti bahwa permintaan terhadap mata uang ini sedang tinggi. 

Hari ini, sentimen yang menghantui pasar keuangan global sejak pekan lalu belum berubah. Perang dagang AS vs China masih menjadi kekhawatiran utama pelaku pasar. 

Presiden AS Donald Trump masih terbuka untuk melanjutkan perundingan dengan China, yang dijadwalkan berlangsung di Washington pada awal September. Namun bukan tidak mungkin dialog itu batal. 

"Mungkin (dialog di Washington batal), tetapi kita lihat nanti. Perundingan masih terjadwal," ujar Trump akhir pekan lalu, seperti diberitakan Reuters. 

Menurut Trump, China masih berhasrat untuk mencapai kesepakatan damai dagang. Namun Trump menyatakan dirinya belum siap untuk itu. 


Perang dagang AS-China pun cenderung berlanjut ke perang mata uang. Setelah pekan lalu melemah, yuan kembali melanjutkan depresiasi. Ada tendensi China sengaja melemahkan nilai tukar yuan untuk menggenjot kinerja ekspor. 


"Eskalasi (perang dagang) hanya akan menambah luka. Seluruh pihak harus menyamakan pandangan dan berhenti melemparkan retorika," tegas Olaf Scholz, Menteri Keuangan Jerman, dikutip dari Reuters. 

Kekhawatiran terhadap perang dagang AS-China yang masih memanas membuat investor masih emoh bermain-main di instrumen berisiko di negara berkembang. Akibatnya, tidak hanya rupiah tetapi berbagai mata uang utama Asia melemah di hadapan dolar AS. 

Sementara dari dalam negeri, rupiah terserang profit taking setelah tiga hari beruntun terapresasi di hadapan dolar AS. Jika di kurs tengah BI rupiah menguat sampai 1%, penguatan rupiah di pasar spot sepanjang tiga hari tersebut adalah 0,53%. 

Penguatan rupiah yang sudah lumayan tajam membuatnya rentan terkena aksi jual. Mungkin investor merasa rupiah sudah terlalu mahal, sehingga menarik untuk dilepas. 

Apalagi fundamental rupiah bisa dibilang lemah. Akhir pekan lalu, BI melaporkan data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal II-2019 yang membukukan defisit US$ 1,98 miliar. Padahal pada kuartal sebelumnya terjadi surplus US$ 2,42 miliar. 

Sementara di pos yang menjadi sorotan utama, yaitu transaksi berjalan (current account), terjadi defisit US$ 8,44 miliar atau 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Lebih dalam ketimbang kuartal sebelumnya yaitu minus US$ 6,97 miliar (2,6% PDB). 

Defisit NPI menandakan arus devisa di perekonomian nasional seret, lebih banyak yang keluar ketimbang yang masuk. Apalagi kemudian devisa jangka panjang dari ekspor barang dan jasa, yang dicerminkan dari transaksi berjalan, mengalami defisit yang lebih parah. 

Semestinya ini menjadi sentimen negatif yang tidak main-main bagi rupiah. Tanpa bantalan devisa yang memadai, rupiah sulit untuk stabil. Bahkan kemungkinan melemah cukup besar.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular