Duh! Laba Ambruk 11,2%, Saham BJBR Anjlok Hingga 10%

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
08 August 2019 19:19
Sepanjang tahun 2019, harga saham perusahaan sudah anjlok hingga 22,68%.
Foto: Ist
Jakarta, CNBC Indonesia - Dalam beberapa waktu terakhir, sahamĀ PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk (BJBR) menjadi bulan-bulanan investor. Dalam periode 25 Juli 2019 hingga 6 Agustus 2019, harga saham Bank BJB ambruk hingga 10,67%, dari Rp 1.640/saham menjadi Rp 1.465/saham.

Memang, dalam dua hari perdagangan terakhir (7 & 8 Agustus) harga saham perusahaan bergerak naik. Namun, kenaikannya belum cukup untuk menutupi kekalahan yang sudah diderita pada hari-hari sebelumnya. Sepanjang tahun 2019, harga saham perusahaan sudah anjlok hingga 22,68%.


Faktor fundamental menjadi alasan dibalik undur dirinya investor dari saham bank BUMD milik pemerintah Provinsi Jawa Barat tersebut. Pada tanggal 25 Juli 2019, perusahaan merilis kinerja keuangan untuk periode semester I-2019.

Hasilnya, laba bersih perusahaan tercatat ambruk hingga 11,2% secara tahunan (year-on-year/YoY) menjadi Rp 803 miliar. Pada semester I-2018, laba bersih perusahaan adalah senilai Rp 903 miliar.

Ambruknya pendapatan bunga bersih/net interest income (NII) membuat bottom line perusahaan meringis. Sepanjang enam bulan pertama tahun ini, NII BJBR jatuh hingga 6,4% YoY menjadi Rp 2,97 triliun, dari yang sebelumnya Rp 3,17 triliun pada enam bulan pertama tahun lalu.

Kala sumber pendapatan utama yakni NII tak bisa diandalkan, pendapatan non-bunga perusahaan juga sama saja. Pada semester I-2019, fee-based income Bank BJB tercatat senilai Rp 436 miliar. Pada semester I-2018, nilainya adalah Rp 435 miliar. Ada kenaikan memang, tetapi hanya 0,1%.

Melansir materi presentasi yang dipublikasikan Bank BJB di halaman resminya, pada kuartal I dan II-2019 marjin bunga bersih/net interest margin (NIM) dari unit perbankan berada masing-masing di level 5,9% dan 5,7%. Ada penurunan yang sangat signifikan jika dibandingkan dengan posisi NIM pada kuartal I dan II-2018 yang masing-masing sebesar 6% dan 6,3%.

Wajar saja jika NII perusahaan jatuh 6% lebih pada semester I, wong NIM perusahaan mengkerut. Sebagai informasi, NIM merupakan selisih dari bunga yang didapatkan perbankan dengan bunga yang dibayarkan kepada nasabah, dibagi dengan total aset yang menghasilkan bunga. Semakin besar NIM, maka tingkat profitabilitas sebuah bank akan semakin besar.

Bahkan, tak berlebihan jika NIM dikatakan sebagai 'nyawa' dari operasional sebuah bank. Dengan NIM yang lebih besar, sebuah bank bisa mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi kala menyalurkan kredit dalam besaran yang sama.

Untuk diketahui, perusahaan menargetkan besaran NIM di level 6%-6,5%. Lantas, ambruknya NIM pada enam bulan pertama tahun 2019 praktis menjadi tamparan bagi manajemen perusahaan.

Ketika NIM mengkerut, penyaluran kredit Bank BJB juga terasa kurang bergairah. Sepanjang semester I-2019, penyaluran kredit unit perbankan hanya tumbuh 8,2% secara tahunan. Untuk diketahui, melansir Statistik Perbankan Indonesia (SPI) periode Mei 2019 yang dirilis oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), penyaluran kredit bank umum konvensional kepada pihak ketiga non-bank melejit hingga dua digit secara tahunan, tepatnya 11,1%.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(ank/dru) Next Article Kuartal I, Laba Bank Jabar Banten Anjlok 9% Jadi Rp 419 M

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular