
Harga Sudah Koreksi 25%, ke Mana Arah Saham BJBR?
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
10 August 2019 14:22

Jakarta, CNBC Indonesia - Akhir pekan yang kurang mengenakan tentu dirasakan oleh pelaku pasar yang memegang saham PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk (BJBR). Pasalnya, baru juga mencoba bangkit, kini harga saham BJBR malah ambruk lagi.
Data perdagangan Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat, pada Selasa (6/82019) harga saham BJBR ditutup di level Rp 1.465/saham, menandai level penutupan terendah sejak November 2016. Kemudian pada Rabu dan Kamis (7 dan 8 Agustus), harga saham perusahaan mencoba bangkit dengan membukukan apresiasi masing-masing sebesar 4,1% dan 3,93%.
Nah, pada penutupan perdagangan Jumat kemarin (9/8/2019), saham Bank BJB kembali terlantar di zona merah, di mana koreksinya mencapai 3,47%. Jika dihitung untuk keseluruhan tahun 2019 (hingga penutupan perdagangan kemarin), harga saham Bank BJB sudah ambruk hingga 25,37%.
Sejatinya, derita yang harus dirasakan oleh pemegang saham BJBR sudah berlangsung jauh sebelum tahun 2019. Pasalnya, terhitung sejak menyentuh level penutupan tertinggi sepanjang masa pada akhir 2016 silam, harga saham perusahaan terus-menerus ambruk.
Kalau diamati, melesatnya harga saham perusahaan pada tahun 2016 bisa dibilang kelewatan. Hanya dalam periode yang sangat singkat, tepatnya pada bulan Desember, harga saham BJBR sempat melesat hingga 119%!
Yang menjadi masalah, kala itu kondisi fundamental perusahaan tak bisa menjustifikasi kenaikan harga saham yang mencapai lebih dari dua kali lipat dalam satu bulan tersebut.
Pada tahun-tahun mendatang, kondisi fundamentalnya kembali tak bisa memberikan justifikasi terhadap grafik harga saham yang bak roket sedang lepas landas tersebut.
Memang, pada tahun 2016 perusahaan membukukan lonjakan pendapatan bunga bersih/net interest income (NII) sebesar 22,15% menjadi Rp 6,08 triliun, dari yang sebelumnya Rp 4,98 triliun pada tahun 2015.
Bagi bank pada umumnya, NII merupakan sumber penerimaan yang paling utama, tak terkecuali bagi Bank BJB. Lantas, lonjakan pada pos ini tentu merupakan suatu hal yang sangat positif.
Tapi tunggu dulu. Walau NII melesat, laba bersih juga harus dilihat. Pasalnya, laba bersih sudah merefleksikan segala macam beban yang ditanggung perusahaan dalam menjalankan bisnisnya.
Ternyata, walau ada lonjakan NII sebesar 20% lebih pada tahun 2016, laba bersih Bank BJB pada periode yang sama justru anjlok hingga 16,17% menjadi Rp 1,15 triliun, dari yang sebelumnya Rp 1,38 triliun pada tahun 2015.
Sejatinya, kasus seperti ini di mana NII melonjak namun laba bersih anjlok sangat jarang kita temui. Jika terjadi, seperti yang dialami oleh Bank BJB, patut dicurigai bahwa ada yang salah dengan pengelolaan keuangan perusahaan sehingga lonjakan NII tak bertaji untuk mendongkrak bottom line alias laba bersih.
Pada tahun-tahun berikutnya, kinerja perusahaan bisa dibilang 'hambar', dalam artian tetap tak bisa menjustifikasi kenaikan harga saham yang lebih dari 100% pada akhir tahun 2016.
Pada tahun 2017, NII tercatat hanya tumbuh 3,52%, sementara laba bersih naik 4,99%. Lanjut ke tahun 2018, NII masih tumbuh di kisaran 3%, tepatnya 3,28%. Memang, laba bersih meroket hingga 27,74% pada tahun 2018. Namun, hal ini kembali harus diwaspadai.
Pasalnya, jelas bahwa lonjakan laba bersih bukan disumbang oleh NII yang merupakan pos pendapatan utama. Ketika hal seperti ini terjadi, pelaku pasar wajib curiga bahwa kinclongnya laba bersih tak akan berlanjut di periode berikutnya.
BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> Babak Belur di Semester I
Data perdagangan Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat, pada Selasa (6/82019) harga saham BJBR ditutup di level Rp 1.465/saham, menandai level penutupan terendah sejak November 2016. Kemudian pada Rabu dan Kamis (7 dan 8 Agustus), harga saham perusahaan mencoba bangkit dengan membukukan apresiasi masing-masing sebesar 4,1% dan 3,93%.
Nah, pada penutupan perdagangan Jumat kemarin (9/8/2019), saham Bank BJB kembali terlantar di zona merah, di mana koreksinya mencapai 3,47%. Jika dihitung untuk keseluruhan tahun 2019 (hingga penutupan perdagangan kemarin), harga saham Bank BJB sudah ambruk hingga 25,37%.
Sejatinya, derita yang harus dirasakan oleh pemegang saham BJBR sudah berlangsung jauh sebelum tahun 2019. Pasalnya, terhitung sejak menyentuh level penutupan tertinggi sepanjang masa pada akhir 2016 silam, harga saham perusahaan terus-menerus ambruk.
Kalau diamati, melesatnya harga saham perusahaan pada tahun 2016 bisa dibilang kelewatan. Hanya dalam periode yang sangat singkat, tepatnya pada bulan Desember, harga saham BJBR sempat melesat hingga 119%!
Yang menjadi masalah, kala itu kondisi fundamental perusahaan tak bisa menjustifikasi kenaikan harga saham yang mencapai lebih dari dua kali lipat dalam satu bulan tersebut.
Pada tahun-tahun mendatang, kondisi fundamentalnya kembali tak bisa memberikan justifikasi terhadap grafik harga saham yang bak roket sedang lepas landas tersebut.
Memang, pada tahun 2016 perusahaan membukukan lonjakan pendapatan bunga bersih/net interest income (NII) sebesar 22,15% menjadi Rp 6,08 triliun, dari yang sebelumnya Rp 4,98 triliun pada tahun 2015.
Bagi bank pada umumnya, NII merupakan sumber penerimaan yang paling utama, tak terkecuali bagi Bank BJB. Lantas, lonjakan pada pos ini tentu merupakan suatu hal yang sangat positif.
Tapi tunggu dulu. Walau NII melesat, laba bersih juga harus dilihat. Pasalnya, laba bersih sudah merefleksikan segala macam beban yang ditanggung perusahaan dalam menjalankan bisnisnya.
Ternyata, walau ada lonjakan NII sebesar 20% lebih pada tahun 2016, laba bersih Bank BJB pada periode yang sama justru anjlok hingga 16,17% menjadi Rp 1,15 triliun, dari yang sebelumnya Rp 1,38 triliun pada tahun 2015.
Sejatinya, kasus seperti ini di mana NII melonjak namun laba bersih anjlok sangat jarang kita temui. Jika terjadi, seperti yang dialami oleh Bank BJB, patut dicurigai bahwa ada yang salah dengan pengelolaan keuangan perusahaan sehingga lonjakan NII tak bertaji untuk mendongkrak bottom line alias laba bersih.
Pada tahun-tahun berikutnya, kinerja perusahaan bisa dibilang 'hambar', dalam artian tetap tak bisa menjustifikasi kenaikan harga saham yang lebih dari 100% pada akhir tahun 2016.
Pada tahun 2017, NII tercatat hanya tumbuh 3,52%, sementara laba bersih naik 4,99%. Lanjut ke tahun 2018, NII masih tumbuh di kisaran 3%, tepatnya 3,28%. Memang, laba bersih meroket hingga 27,74% pada tahun 2018. Namun, hal ini kembali harus diwaspadai.
Pasalnya, jelas bahwa lonjakan laba bersih bukan disumbang oleh NII yang merupakan pos pendapatan utama. Ketika hal seperti ini terjadi, pelaku pasar wajib curiga bahwa kinclongnya laba bersih tak akan berlanjut di periode berikutnya.
BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> Babak Belur di Semester I
Next Page
Babak Belur di Semester I
Pages
Most Popular