
Yuan Lemah Bikin Barang China Jadi Murah? Ini Kata Pengusaha
Efrem Siregar, CNBC Indonesia
07 August 2019 13:18

Jakarta, CNBC Indonesia - Mata uang China Yuan melemah lebih dari 1% terhadap dolar AS dan menembus level CNY 7/US$. Nilai itu terlemah sejak Maret 2008 atau 11 tahun lalu. Langkah itu sontak membuat Presiden AS Donald Trump menyebut China sebagai manipulator.
Kondisi itu menimbulkan kekhawatiran bagi usaha secara global, termasuk di Indonesia. Devaluasi mata uang Yuan akan mendorong ekspor China lebih besar mengingat produk Negeri Tirai Bambu ini akan menjadi murah.
Jika mengacu catatan sebelumnya, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), lebih dari seperempat (28,49%) produk non-migas impor yang datang ke Indonesia pada tahun 2018 berasal dari China.
Barang yang paling banyak diimpor adalah telepon seluler (HS 8517), dengan nilai mencapai US$ 3,72 miliar di tahun 2018. Kemudian mesin pengolah data otomatis (HS 8471) dengan total nilai US$ 1,65 miliar. Selebihnya adalah barang yang sebagian besar merupakan bahan baku produksi di berbagai industri, elektronik, konstruksi, dan kimia.
Menanggapi devaluasi Yuan ini, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani memandang bahwa Indonesia dan negara-negara lain di dunia hanya mempunyai sedikit peluang untuk mengatasi isu murahnya barang dari China akibat devaluasi Yuan.
Menurutnya, setiap negara memiliki kebebasan terkait penetapan kebijakan moneter masing-masing.
"Singkatnya, China memiliki kebebasan untuk menentukan nilai tukar mata uangnya selama mereka mampu menanggung segala konsekuensinya antara lain seperti kecukupan reserves atau devisa, tekanan transaksi di pasar domestik dan internasional yang menggunakan mata uang tersebut, perhitungan pencegahan krisis moneter, dan lain-lain," kata Shinta kepada CNBC Indonesia, Rabu (7/8/2019).
Lebih lanjut, dia mengatakan bahwa hal tersebut dibolehkan secara internasional. Walaupun hal itu dipandang sinis dan dikhawatirkan menjadi pemicu krisis seperti halnya yang terjadi di Indonesia pada 1998 ketika Indonesia tidak kuat menanggung konsekuensi nilai tukar rupiah yang diset terlalu rendah terhadap dolar AS.
"Hal kedua, karena nilai tukar Yuan tidak floating dan ditentukan menurut mekanisme pasar, kita jadi tidak bisa mengukur berapa sebenarnya harga produk China bila diukur dengan harga pasar yang berlaku," jelasnya.
Karena itu, Indonesia dan negara lainnya dianggap sulit mengklaim jika produk mereka disubsidi atau didumping. Sebab, berdasarkan peraturan WTO semua tuduhan dumping dan subsidi berpatokan pada harga yang berlaku di pasar internasional.
"Jadi perbandingannya menjadi tidak fair karena nilai tukar mereka sangat rendah sementara nilai tukar kita dan negara pembanding lain sangat tinggi," tambahnya.
Untuk menjaga keseimbangan perdagangan Indonesia dan China, Shinta mengatakan perlu adanya pengawasan perdagangan Indonesia-China, utamanya mengawasi permintaan di dalam negeri terhadap produk China.
[Gambas:Video CNBC]
(miq/miq) Next Article Bank Sentral China Gerak Cepat Lemahkan Kurs Yuan, untuk Apa?
Kondisi itu menimbulkan kekhawatiran bagi usaha secara global, termasuk di Indonesia. Devaluasi mata uang Yuan akan mendorong ekspor China lebih besar mengingat produk Negeri Tirai Bambu ini akan menjadi murah.
Jika mengacu catatan sebelumnya, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), lebih dari seperempat (28,49%) produk non-migas impor yang datang ke Indonesia pada tahun 2018 berasal dari China.
Menanggapi devaluasi Yuan ini, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani memandang bahwa Indonesia dan negara-negara lain di dunia hanya mempunyai sedikit peluang untuk mengatasi isu murahnya barang dari China akibat devaluasi Yuan.
Menurutnya, setiap negara memiliki kebebasan terkait penetapan kebijakan moneter masing-masing.
"Singkatnya, China memiliki kebebasan untuk menentukan nilai tukar mata uangnya selama mereka mampu menanggung segala konsekuensinya antara lain seperti kecukupan reserves atau devisa, tekanan transaksi di pasar domestik dan internasional yang menggunakan mata uang tersebut, perhitungan pencegahan krisis moneter, dan lain-lain," kata Shinta kepada CNBC Indonesia, Rabu (7/8/2019).
Lebih lanjut, dia mengatakan bahwa hal tersebut dibolehkan secara internasional. Walaupun hal itu dipandang sinis dan dikhawatirkan menjadi pemicu krisis seperti halnya yang terjadi di Indonesia pada 1998 ketika Indonesia tidak kuat menanggung konsekuensi nilai tukar rupiah yang diset terlalu rendah terhadap dolar AS.
"Hal kedua, karena nilai tukar Yuan tidak floating dan ditentukan menurut mekanisme pasar, kita jadi tidak bisa mengukur berapa sebenarnya harga produk China bila diukur dengan harga pasar yang berlaku," jelasnya.
Karena itu, Indonesia dan negara lainnya dianggap sulit mengklaim jika produk mereka disubsidi atau didumping. Sebab, berdasarkan peraturan WTO semua tuduhan dumping dan subsidi berpatokan pada harga yang berlaku di pasar internasional.
"Jadi perbandingannya menjadi tidak fair karena nilai tukar mereka sangat rendah sementara nilai tukar kita dan negara pembanding lain sangat tinggi," tambahnya.
Untuk menjaga keseimbangan perdagangan Indonesia dan China, Shinta mengatakan perlu adanya pengawasan perdagangan Indonesia-China, utamanya mengawasi permintaan di dalam negeri terhadap produk China.
[Gambas:Video CNBC]
(miq/miq) Next Article Bank Sentral China Gerak Cepat Lemahkan Kurs Yuan, untuk Apa?
Most Popular