
Yuan "Dipaksa" Lemah, Ini Emiten yang Bakal Terdampak
Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
07 August 2019 13:41

Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan ini pelaku pasar global gelagapan setelah pada Senin (5/8/2019) nilai tukar yuan China terhadap dolar AS terdepresiasi dan bahkan menembus level CNY 7/US$. Level ini terakhir kali ditembus 11 tahun lalu, tepatnya saat krisis ekonomi 2008.
Melansir data Refinitiv, hingga berita ini dimuat, nilai tukar yuan terhadap dolar AS masih bertengger di atas CNY 7/US$ atau lebih tepatnya CNY 7,04/US$.
Sementara itu, yuan juga diperdagangkan melemah di hadapan rupiah dengan harga Rp 2.025/CNY dari sebelumnya Rp 2.044/CNY pada 2 Agustus 2019
Melemahnya nilai tukar Negeri Tirai Bambu, tentu bukan berita baik bagi ekspor Tanah Air. China merupakan negara tujuan ekspor terbesar Indonesia, dimana pada tahun 2018 total ekspor ke Negeri Panda mencapai US$ 27,13 miliar atau setara Rp 379,78 triliun (asumsi kurs Rp 14.000/US$), dilansir dari UN Comtrade.
Apabila transaksi yang dilakukan perusahaan eksportir menggunakan yuan, maka ketika dikonversi ke rupiah, nilainya menjadi lebih rendah, dan hal ini tentu merugikan pelaku industri.
Berdasarkan data UN Comtrade, sepanjang tahun 2018 komoditas yang paling banyak diekspor ke China diantaranya, bahan bakar migas, minyak kelapa sawit dan olahannya, bubur kayu, kertas, baja dan besi, serta bijih tembaga dan ampas hasil pabrik.
Melansir laporan keuangan perusahaan yang bergerak di salah satu industri di atas, tercatat beberapa transaksi piutang usaha dibukukan dalam yuan.
Contohnya adalah emiten produsen minyak sawit, PT Sinar Mas Agro Resources Tbk (SMAR) yang hingga akhir Juni 2019 membukukan piutang usaha mencapai CNY 20,05 juta dengan tingkat nilai tukar Rp 2.057/CNY. Ini berarti dalam rupiah piutang usaha tersebut setara dengan Rp 41,24 miliar.
Apabila, nilai piutang yang sama dikonversi dengan kurs saat ini, yakni 2.025/CNY, maka nilai piutang usaha turun menjadi Rp 40,6 miliar. Dengan demikian, pendapatan SMAR terkikis sebesar Rp 641,55 juta. Untuk diketahui, piutang usaha adalah pemasukan yang masih belum dibayarkan.
Selain itu, emiten produsen kertas, PT Fajar Surya Wisesa Tbk (FASW) dan PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk (INKP) juga akan mengalami nasib serupa.
Sepanjang enam bulan pertama tahun 2019, FASW mencatat total piutang usaha dalam yuan setara Rp 11,5 miliar (asumsi kurs Rp 2.057/CNY). Dengan melemahnya yuan, nilai tersebut turun Rp 179 juta menjadi Rp 11,33 miliar.
Sedangkan, pada periode yang sama, INKP mencatat piutang usaha sebesar CNY 123.217 atau setara Rp 253,46 juta. JIka menggunakan nilai tukar terbaru, maka piutang perusahaan turun ke Rp 249,51 juta atau amblas Rp 3,94 juta.
Dengan demikian, terbukti bahwa pelemahan yuan mengakibatkan terkikisnya pendapatan beberapa pelaku industri Tanah Air. Jika nilai tukar Negeri Tiongkok tidak stabil, maka tidak menutup kemungkinan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia akan semakin terperosok.
China Ogah Disebut Manipulator Mata Uang
[Gambas:Video CNBC]
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(dwa/hps) Next Article Emiten Sawit Sinar Mas Incar Rp 6 Triliun dari Obligasi
Melansir data Refinitiv, hingga berita ini dimuat, nilai tukar yuan terhadap dolar AS masih bertengger di atas CNY 7/US$ atau lebih tepatnya CNY 7,04/US$.
Sementara itu, yuan juga diperdagangkan melemah di hadapan rupiah dengan harga Rp 2.025/CNY dari sebelumnya Rp 2.044/CNY pada 2 Agustus 2019
![]() |
Melemahnya nilai tukar Negeri Tirai Bambu, tentu bukan berita baik bagi ekspor Tanah Air. China merupakan negara tujuan ekspor terbesar Indonesia, dimana pada tahun 2018 total ekspor ke Negeri Panda mencapai US$ 27,13 miliar atau setara Rp 379,78 triliun (asumsi kurs Rp 14.000/US$), dilansir dari UN Comtrade.
Apabila transaksi yang dilakukan perusahaan eksportir menggunakan yuan, maka ketika dikonversi ke rupiah, nilainya menjadi lebih rendah, dan hal ini tentu merugikan pelaku industri.
Berdasarkan data UN Comtrade, sepanjang tahun 2018 komoditas yang paling banyak diekspor ke China diantaranya, bahan bakar migas, minyak kelapa sawit dan olahannya, bubur kayu, kertas, baja dan besi, serta bijih tembaga dan ampas hasil pabrik.
Melansir laporan keuangan perusahaan yang bergerak di salah satu industri di atas, tercatat beberapa transaksi piutang usaha dibukukan dalam yuan.
Contohnya adalah emiten produsen minyak sawit, PT Sinar Mas Agro Resources Tbk (SMAR) yang hingga akhir Juni 2019 membukukan piutang usaha mencapai CNY 20,05 juta dengan tingkat nilai tukar Rp 2.057/CNY. Ini berarti dalam rupiah piutang usaha tersebut setara dengan Rp 41,24 miliar.
Apabila, nilai piutang yang sama dikonversi dengan kurs saat ini, yakni 2.025/CNY, maka nilai piutang usaha turun menjadi Rp 40,6 miliar. Dengan demikian, pendapatan SMAR terkikis sebesar Rp 641,55 juta. Untuk diketahui, piutang usaha adalah pemasukan yang masih belum dibayarkan.
Selain itu, emiten produsen kertas, PT Fajar Surya Wisesa Tbk (FASW) dan PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk (INKP) juga akan mengalami nasib serupa.
Sepanjang enam bulan pertama tahun 2019, FASW mencatat total piutang usaha dalam yuan setara Rp 11,5 miliar (asumsi kurs Rp 2.057/CNY). Dengan melemahnya yuan, nilai tersebut turun Rp 179 juta menjadi Rp 11,33 miliar.
Sedangkan, pada periode yang sama, INKP mencatat piutang usaha sebesar CNY 123.217 atau setara Rp 253,46 juta. JIka menggunakan nilai tukar terbaru, maka piutang perusahaan turun ke Rp 249,51 juta atau amblas Rp 3,94 juta.
Dengan demikian, terbukti bahwa pelemahan yuan mengakibatkan terkikisnya pendapatan beberapa pelaku industri Tanah Air. Jika nilai tukar Negeri Tiongkok tidak stabil, maka tidak menutup kemungkinan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia akan semakin terperosok.
China Ogah Disebut Manipulator Mata Uang
[Gambas:Video CNBC]
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(dwa/hps) Next Article Emiten Sawit Sinar Mas Incar Rp 6 Triliun dari Obligasi
Most Popular