Perang Mata Uang Memanas, Rupiah Terlemah Sejak 30 Mei

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
06 August 2019 08:44
Perang Mata Uang Memanas, Rupiah Terlemah Sejak 30 Mei
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali melemah di perdagangan pasar spot hari ini. Dolar AS sudah menembus level Rp 14.300. 

Pada Selasa (6/8/2019), US$ 1 setara dengan Rp 14.300 kala pembukaan pasar spot. Rupiah melemah 0,35% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya. 

Seiring perjalanan, rupiah semakin lemah. Pada pukul 08:32 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.350 di mana rupiah melemah 0,7%. Mata uang Tanah Air berada di posisi terlemah sejak 30 Mei terhadap dolar AS.


 

Tidak cuma rupiah, berbagai mata uang utama Asia juga melemah di hadapan dolar AS. Rupee India menjadi mata uang terlemah di Asia, dengan depresiasi mencapai 1,6%. 

Selain rupiah dan rupee, mata uang Benua Kuning yang juga terjebak di zona merah adalah ringgit Malaysia, baht Thailand, dan dolar Taiwan. 

Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 08:35 WIB: 




(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Pelaku pasar masih cemas dengan hubungan AS-China yang memanas. Seperti diduga, AS sudah mengeluarkan tudingan bahwa China memanipulasi kurs yuan. 

Pagi ini, yuan masih melemah signifikan yaitu di kisaran 1,5%. Yuan menyentuh titik terlemah sejak 2008 di hadapan greenback

 

"Sebagai konsekuensi dari tindakan ini, Menteri Keuangan Steven Mnuchin akan meminta Dana Moneter Internasional (IMF) untuk menindak kompetisi tidak adil yang dilakukan oleh China," demikian bunyi pernyataan resmi Kementerian Keuangan AS. 

"China menjatuhkan nilai mata uangnya ke titik nyaris terlemah sepanjang sejarah. Ini disebut manipulasi kurs. Apakah Anda mendengar ini, Federal Reserve? Pelanggaran besar ini justru akan melemahkan China," cuit Presiden AS Donald Trump, seperti biasa, di Twitter.  

Tidak cuma 'melemahkan' nilai tukar yuan, China juga menunda pembelian produk-produk pertanian AS. Seperti dikutip Reuters, Kementerian Perdagangan China menyatakan perusahaan-perusahaan Negeri Tirai Bambu menghentikan pembelian produk pertanian dari Negeri Adidaya. 

Apa yang dilakukan China merupakan balasan atas ancaman Trump untuk mengenakan bea masuk 10% bagi impor senilai US$ 300 miliar. Balasan China sepertinya lebih pedih, karena langsung berdampak signifikan terhadap pasar keuangan dunia. 

Kini dunia tidak hanya dihadapkan kepada perang dagang AS vs China, tetapi juga perang mata uang (currency war). Jika praktik yang dilakukan China ditiru oleh negara lain demi menggenjot ekspor, maka akan terjadi devaluasi mata uang secara kompetitif.


Berbagai negara berlomba-lomba melemahkan mata uangnya dengan mengabaikan mekanisme pasar. Ini tentu sangat berbahaya. 

Ancaman perang mata uang yang sudah di depan mata membuat investor cemas. Kecemasan itu ditransmisikan dengan 'memeluk' aset-aset aman (safe haven). Terlihat yen Jepang masih menguat, mata uang ini diburu investor karena statusnya sebagai safe haven

Tidak hanya yen, safe have lain seperti mata uang franc Swiss juga menjadi primadona. Pada pukul 08:30 WIB, franc menguat 0,07% terhadap dolar AS. 

Selain mata uang, emas juga dijadikan sebagai 'bunker' tempat berlindung. Pada pukul 08:31 WIB, harga emas dunia naik 0,04% dan menyentuh titik tertinggi sejak 2013. 



TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular