
Gara-Gara Trump, Euro Lanjut Bungkam Dolar
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
05 August 2019 21:01

Jakarta, CNBC Indonesia - Mata uang euro terus menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin (5/8/19), semakin menjauhi level terlemah dua tahun.
Pada pukul 20:10 WIB, euro diperdagangkan di kisaran US$ 1,1173 atau menguat 0,59% di pasar spot, melansir data Refinitiv.
Presiden AS Donald Trump membuat arah angin di pasar forex berubah drastis. Dolar AS yang sebelumnya perkasa kini sangat loyo, euro berhasil menguat tiga hari berturut-turut.
Bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang memangkas suku bunga acuan 25 basis poin (bps) menjadi 2,00%-2,25% tetapi mengindikasikan tidak akan agresif melakukan pemangkasan di tahun ini membuat indeks dolar melesat naik ke level tertinggi dua tahun pada Kamis (1/8/19).
Namun, kurang dari 24 jam setelah The Fed mengumumkan suku bunga, Trump menaikkan bea impor 10% terhadap produk China yang selama ini belum dikenakan tarif. Total nilai produk tersebut sebesar US$ 300 miliar dan mulai berlaku pada September.
Sejak saat itu dolar terus tertekan membuat euro leluasa melaju naik. Tekanan besar bagi dolar muncul akibat potensi membesarnya perang dagang AS-China yang akan berdampak pada pelambatan ekonomi yang lebih dalam dan tentunya turut menyeret ekonomi Paman Sam. Akibatnya The Fed kembali diprediksi akan memangkas suku bunga acunannya secara agresif di tahun ini.
Data dari piranti FedWatch milik CME Group malam ini menunjukkan probabilitas suku bunga 1,75%-2,00% di bulan September sebesar 83,5%, dan probabilitas suku bunga sebesar 1,50%-1,75% sebesar 16,5%. Sementara probabilitas suku bunga saat ini 2,00%-2,25% sebesar 0% alias tidak ada sama sekali.
Piranti yang sama menunjukkan probabilitas suku bunga 1,50%-1,75% di bulan Desember sebesar 43,6%, probabilitas tersebut menjadi yang terbesar dibandingkan yang lainnya.
Data dari FedWatch tersebut menunjukkan pelaku pasar sangat yakin The Fed akan kembali memangkas suku bunga bulan depan, dan sekali lagi di bulan Desember.
Kondisi tersebut membuat euro menjadi sedikit lebih unggul melihat pengumuman kebijakan moneter terakhir European Central Bank (ECB) 25 Juli lalu. Presiden ECB, Mario Draghi, kala itu bersikap tidak terlalu dovish.
Draghi mengatakan dalam jangka menengah inflasi diperkirakan akan meningkat akibat berlanjutnya ekspansi ekonomi serta pertumbuhan upah yang cukup bagus.
Pernyataan terkait inflasi tersebut bisa jadi indikasi jika ECB tidak akan terlalu agresif dalam memberikan stimulus moneter. Pemangkasan suku kemungkinan akan dilakukan satu kali saja, dan program pembelian aset (obligasi dan surat berharga) atau yang dikenal dengan quantitative easing (QE) jika ada juga tidak terlalu besar jumlahnya.
Sama dengan The Fed, ECB juga diprediksi akan mengeluarkan stimulusnya pada bulan depan, apalagi jika euro terus menguat melawan dolar AS.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/dru) Next Article Trading Cuan Rp 70 Juta, Euro Dulu Dibuang Kini Disayang!
Pada pukul 20:10 WIB, euro diperdagangkan di kisaran US$ 1,1173 atau menguat 0,59% di pasar spot, melansir data Refinitiv.
Presiden AS Donald Trump membuat arah angin di pasar forex berubah drastis. Dolar AS yang sebelumnya perkasa kini sangat loyo, euro berhasil menguat tiga hari berturut-turut.
Bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang memangkas suku bunga acuan 25 basis poin (bps) menjadi 2,00%-2,25% tetapi mengindikasikan tidak akan agresif melakukan pemangkasan di tahun ini membuat indeks dolar melesat naik ke level tertinggi dua tahun pada Kamis (1/8/19).
Namun, kurang dari 24 jam setelah The Fed mengumumkan suku bunga, Trump menaikkan bea impor 10% terhadap produk China yang selama ini belum dikenakan tarif. Total nilai produk tersebut sebesar US$ 300 miliar dan mulai berlaku pada September.
Sejak saat itu dolar terus tertekan membuat euro leluasa melaju naik. Tekanan besar bagi dolar muncul akibat potensi membesarnya perang dagang AS-China yang akan berdampak pada pelambatan ekonomi yang lebih dalam dan tentunya turut menyeret ekonomi Paman Sam. Akibatnya The Fed kembali diprediksi akan memangkas suku bunga acunannya secara agresif di tahun ini.
![]() Sumber: CME Group |
Data dari piranti FedWatch milik CME Group malam ini menunjukkan probabilitas suku bunga 1,75%-2,00% di bulan September sebesar 83,5%, dan probabilitas suku bunga sebesar 1,50%-1,75% sebesar 16,5%. Sementara probabilitas suku bunga saat ini 2,00%-2,25% sebesar 0% alias tidak ada sama sekali.
Piranti yang sama menunjukkan probabilitas suku bunga 1,50%-1,75% di bulan Desember sebesar 43,6%, probabilitas tersebut menjadi yang terbesar dibandingkan yang lainnya.
Data dari FedWatch tersebut menunjukkan pelaku pasar sangat yakin The Fed akan kembali memangkas suku bunga bulan depan, dan sekali lagi di bulan Desember.
Kondisi tersebut membuat euro menjadi sedikit lebih unggul melihat pengumuman kebijakan moneter terakhir European Central Bank (ECB) 25 Juli lalu. Presiden ECB, Mario Draghi, kala itu bersikap tidak terlalu dovish.
Draghi mengatakan dalam jangka menengah inflasi diperkirakan akan meningkat akibat berlanjutnya ekspansi ekonomi serta pertumbuhan upah yang cukup bagus.
Pernyataan terkait inflasi tersebut bisa jadi indikasi jika ECB tidak akan terlalu agresif dalam memberikan stimulus moneter. Pemangkasan suku kemungkinan akan dilakukan satu kali saja, dan program pembelian aset (obligasi dan surat berharga) atau yang dikenal dengan quantitative easing (QE) jika ada juga tidak terlalu besar jumlahnya.
Sama dengan The Fed, ECB juga diprediksi akan mengeluarkan stimulusnya pada bulan depan, apalagi jika euro terus menguat melawan dolar AS.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/dru) Next Article Trading Cuan Rp 70 Juta, Euro Dulu Dibuang Kini Disayang!
Most Popular