
Kerja Keras Topang Rupiah, BI Siapkan 3 Jurus Intervensi
Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
02 August 2019 10:30

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus melemah di perdagangan pasar spot Jumat ini. Ketegangan yang mewarnai dunia membuat mata uang Garuda tertekan.
Pada Jumat (2/8/2019) pukul 09:02 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.205. Rupiah melemah 0,67% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya dan menyentuh titik terlemah sejak 19 Juni.
Bank Indonesia (BI) sebagai garda terdepan penjaga stabilitas nilai tukar pun tak tinggal diam menyikapi kondisi ini. BI berkomitmen untuk menjaga agar volatilitas rupiah terhadap mata uang Negeri Paman Sam tetap terjaga.
Salah satu upaya yang dilakukan BI, yakni melalui intervensi. Tak tanggung-tanggung, bank sentral sampai-sampai harus mengeluarkan jurus 'triple' intervensi agar rupiah tidak semakin terbawa arus ketidakpastian global.
"Kita intervensi di spot, DNDF [domestic non deliverable forward], dan bond [pembelian obligasi]," kata Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Moneter BI Nanang Hendarsah kepada CNBC Indonesia, Jumat (2/7/2019).
Situs resmi BI menjelaskan transaksi DNDF adalah bagian dari upaya pengayaan instrumen lindung nilai (hedging) yang dapat digunakan oleh para pelaku pasar yang memiliki risiko nilai tukar.
Instrumen transaksi DNDF memberikan alternatif lindung nilai bagi pelaku pasar, sehingga mengurangi demand di pasar spot. Para pelaku pasar dapat melakukan hedging atas kebutuhan pembelian valas melalui transaksi DNDF dan melakukan pembelian valas melalui transaksi spot di kemudian hari.
Nanang menilai, depresiasi terhadap nilai tukar rupiah dipicu oleh aksi profit taking (ambil untung) investor di pasar obligasi yang merespons risiko keputusan pemerintah AS yang kembali mengenakan tarif produk impor baru untuk barang China.
BI melihat, situasi ini hanya bersifat sementara dan tidak akan berlarut-larut.
[Gambas:Twitter]
Seperti diketahui, Presiden Donald Trump kembali memantik api perang dagang dengan China. Eks taipan properti itu mengancam bakal menerapkan bea masuk 10% bagi impor produk-produk China senilai US$ 300 miliar.
Padahal delegasi AS baru saja kembali dari negosiasi dagang di Shanghai, perundingan yang disebut cukup konstruktif oleh kedua belah pihak. Namun sang presiden justru membuat suasana kembali keruh.
Sejauh ini belum ada respons dari Beijing mengenai rencana Trump tersebut. Namun sangat mungkin China akan murka dan melancarkan serangan balasan dengan balik mengenakan bea masuk terhadap produk-produk made in the USA.
(tas) Next Article Kalau Pasar Buka, Rupiah Bakal Loyo Hari Ini
Pada Jumat (2/8/2019) pukul 09:02 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.205. Rupiah melemah 0,67% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya dan menyentuh titik terlemah sejak 19 Juni.
Bank Indonesia (BI) sebagai garda terdepan penjaga stabilitas nilai tukar pun tak tinggal diam menyikapi kondisi ini. BI berkomitmen untuk menjaga agar volatilitas rupiah terhadap mata uang Negeri Paman Sam tetap terjaga.
Salah satu upaya yang dilakukan BI, yakni melalui intervensi. Tak tanggung-tanggung, bank sentral sampai-sampai harus mengeluarkan jurus 'triple' intervensi agar rupiah tidak semakin terbawa arus ketidakpastian global.
"Kita intervensi di spot, DNDF [domestic non deliverable forward], dan bond [pembelian obligasi]," kata Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Moneter BI Nanang Hendarsah kepada CNBC Indonesia, Jumat (2/7/2019).
Situs resmi BI menjelaskan transaksi DNDF adalah bagian dari upaya pengayaan instrumen lindung nilai (hedging) yang dapat digunakan oleh para pelaku pasar yang memiliki risiko nilai tukar.
Instrumen transaksi DNDF memberikan alternatif lindung nilai bagi pelaku pasar, sehingga mengurangi demand di pasar spot. Para pelaku pasar dapat melakukan hedging atas kebutuhan pembelian valas melalui transaksi DNDF dan melakukan pembelian valas melalui transaksi spot di kemudian hari.
![]() |
Nanang menilai, depresiasi terhadap nilai tukar rupiah dipicu oleh aksi profit taking (ambil untung) investor di pasar obligasi yang merespons risiko keputusan pemerintah AS yang kembali mengenakan tarif produk impor baru untuk barang China.
BI melihat, situasi ini hanya bersifat sementara dan tidak akan berlarut-larut.
[Gambas:Twitter]
Seperti diketahui, Presiden Donald Trump kembali memantik api perang dagang dengan China. Eks taipan properti itu mengancam bakal menerapkan bea masuk 10% bagi impor produk-produk China senilai US$ 300 miliar.
Padahal delegasi AS baru saja kembali dari negosiasi dagang di Shanghai, perundingan yang disebut cukup konstruktif oleh kedua belah pihak. Namun sang presiden justru membuat suasana kembali keruh.
Sejauh ini belum ada respons dari Beijing mengenai rencana Trump tersebut. Namun sangat mungkin China akan murka dan melancarkan serangan balasan dengan balik mengenakan bea masuk terhadap produk-produk made in the USA.
(tas) Next Article Kalau Pasar Buka, Rupiah Bakal Loyo Hari Ini
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular