
Sinergi BUMN, Akankah Mengancam Emiten Pelayaran Swasta?
Syahrizal Sidik, CNBC Indonesia
30 July 2019 11:54

Jakarta, CNBC Indonesia - Sinergi antara perusahaan BUMN yang cenderung membentuk konglomerasi bisnis yang tidak tepat dinilai berpotensi mematikan pelaku usaha swasta, termasuk di sektor pelayaran yang saat ini masih tertekan gejolak harga komoditas terutama batu bara dan minyak dunia.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara mengungkapkan latar belakang sinergi BUMN yang tidak tepat terjadi lantaran kondisi keuangan yang tertekan oleh penugasan pemerintah.
Kondisi itu membuat BUMN akhirnya mengembangkan bisnis di luar bisnis utamanya (core business) yang lebih menguntungkan, tetapi berpotensi head to head dengan swasta.
"Cara cara seperti ini tidak sehat bagi perekonomian. Pemerintah terlalu jauh ikut campur di sektor yang seharusnya bisa dimasuki swasta domestik, akibatnya swasta makin kurang tertarik berbisnis di Indonesia," kata Bhima kepada CNBC Indonesia, Senin (29/7/2019).
Bhima menegaskan, khusus sektor pelayaran, masuk kategori sektor yang sensitif terhadap guncangan ekonomi sehingga sinergi tersebut juga punya potensi menekan swasta. "Naik turunnya ekspor impor bisa mempengaruhi kinerja pelayaran," kata Bhima.
Dari data yang dihimpun Tim Riset CNBC Indonesia, kinerja emiten pelayaran di Bursa Efek Indonesia (BEI) masih mencatatkan kinerja kurang menggembirakan di tengah sentimen negatif global, harga komoditas, dan tingkat persaingan yang tinggi.
Tidak hanya itu, meningkatnya tensi dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China juga menambah katalis negatif bagi emiten pelayaran di Bursa Efek Indonesia.
Mayoritas emiten pelayaran masih mencatatkan pertumbuhan negatif pada pos laba bersih, atau bahkan gagal meraup keuntungan dan harus pasrah merugi.
Beberapa emiten yang mencatat kinerja menurun ialah PT Humpuss Intermoda Transportasi Tbk (HITS), PT Jasa Armada Indonesia Tbk (IPCM), dan PT Berlian Laju Tanker Tbk. (BLTA). Bahkan BLTA, dalam keterbukaan informasi di BEI pada Senin (29/7/2019) malam, menyebutkan perseroan menyampaikan informasi kepada para pemegang saham terkait pemberian Notifikasi Delisting dari Singapore Exchange Limited (SGX).
"Perseroan belum menyampaikan permohonan pembukaan kembali perdagangan saham kepada SGX pada periode tersebut dikarenakan perseroan masih dalam proses PKPU [penundaan kewajiban pembayaran utang] dan di samping itu perseroan belum mendapat persetujuan dari BEI atas pembukaan kembali perdagangan saham [suspensi," tulis manajemen BLTA.
Sebelumnya, dikutip CNN Indonesia, Kementerian BUMN juga meninjau kembali bentuk konglomerasi BUMN, setelah anak dan cucu usaha BUMN 'disentil' Presiden Joko Widodo (Jokowi) lantaran memiliki bisnis yang tak berkaitan dengan induknya. Bahkan Presiden Jokowi pada Oktober 2017 bahkan menegaskan agar BUMN menjual atau menggabungkan (merger) anak dan cucu usahanya yang tidak sesuai dengan inti bisnis induk usahanya.
Saat ini menurut dia, jumlah BUMN mencapai sekitar 118 perusahaan. Namun, anak dan cucu usahanya hampir mencapai 800 perusahaan. Perusahaan-perusahaan tersebut menurut dia, sudah ada jauh sebelum pemerintahannya. "Yang buat anak cucu BUMN kan bukan saya, sudah ada dari dulu. Dijual saja anak (usahanya), kalau tidak di-merger," ungkap dia, dikutip CNN Indonesia, Selasa (3/10/2017).
Dalam kesempatan terpisah, Vice President Research PT Artha Sekuritas Frederik Rasali menambahkan dengan tekanan yang ada baik eksternal global dan dalam negeri, saham-saham sektor pelayaran memang berisiko tinggi. Pasalnya emiten pelayaran sangat rentan terdampak dari gejolak harga komoditas.
"Investasi di sektor ini risikonya lebih tinggi karena eksposurnya ke industri komoditas," ungkap Frederik, Senin (29/7/2019).
Hanya saja yang menarik, kendati muncul polemik Swasta vs BUMN di pelayaran, Tim Riset CNBC Indonesia, mencatat meski kinerja laba bersih mayoritas emiten pelayaran tertekan, namun pemasukan dari proyek kerja sama dengan perusahaan milik pemerintah atau BUMN, seperti PT Pertamina (Persero) masih meningkat.
Sebagai contoh, sepanjang kuartal I-2019, Humpuss Intermoda mencatat pemasukan dari Pertamina naik menjadi US$ 11,51 juta (Rp 163,93 miliar) dari US$ 9,1 juta (Rp 129,55 miliar) di kuartal I-2018.
Selain itu, PT Logindo Samudramakmur (LEAD) yang per Maret 2019 merugi Rp 49,73 miliar juga masih mencatatkan pertumbuhan pendapatan dari PT Pertamina Hulu Mahakam, yang sebelumnya sebesar US$ 2,38 juta (Rp 33,87 miliar) menjadi US$ 2,62 juta (Rp 37,29 miliar).
Di luar itu, pada awal Februari lalu, Pertamina juga menggandeng PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) I hingga IV untuk sinergi dalam pendistribusian energi. Sinergi ini juga sempat diperdebatkan ketika BUMN dengan core business berbeda mulai merangsek bersaing lebih dekat dengan sektor yang dijalani swasta.
"Dengan kerjasama ini distribusi energi di seluruh pelabuhan akan semakin efektif dan efisien," ujar Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati dalam siaran pers yang dilansir di laman Pertamina, 18 Januari 2019.
Di tengah persaingan ini, Frederik mengingatkan bahwa bisnis perkapalan adalah bisnis derivatif. "Jadi bila bisnis utamanya belum growing, maka bisnis pelayaran juga belum bisa berkibar, kecuali ambil pasar di luar Indonesia," kata Frederik menambahkan.
Simak suntikan vitamin bagi emiten pelayaran.
[Gambas:Video CNBC]
(tas) Next Article Dapat Utang Rp 2,5 T, Soechi Lines Buyback Obligasi Rp 1,9 T
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara mengungkapkan latar belakang sinergi BUMN yang tidak tepat terjadi lantaran kondisi keuangan yang tertekan oleh penugasan pemerintah.
Kondisi itu membuat BUMN akhirnya mengembangkan bisnis di luar bisnis utamanya (core business) yang lebih menguntungkan, tetapi berpotensi head to head dengan swasta.
Bhima menegaskan, khusus sektor pelayaran, masuk kategori sektor yang sensitif terhadap guncangan ekonomi sehingga sinergi tersebut juga punya potensi menekan swasta. "Naik turunnya ekspor impor bisa mempengaruhi kinerja pelayaran," kata Bhima.
Dari data yang dihimpun Tim Riset CNBC Indonesia, kinerja emiten pelayaran di Bursa Efek Indonesia (BEI) masih mencatatkan kinerja kurang menggembirakan di tengah sentimen negatif global, harga komoditas, dan tingkat persaingan yang tinggi.
Tidak hanya itu, meningkatnya tensi dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China juga menambah katalis negatif bagi emiten pelayaran di Bursa Efek Indonesia.
Mayoritas emiten pelayaran masih mencatatkan pertumbuhan negatif pada pos laba bersih, atau bahkan gagal meraup keuntungan dan harus pasrah merugi.
![]() |
Beberapa emiten yang mencatat kinerja menurun ialah PT Humpuss Intermoda Transportasi Tbk (HITS), PT Jasa Armada Indonesia Tbk (IPCM), dan PT Berlian Laju Tanker Tbk. (BLTA). Bahkan BLTA, dalam keterbukaan informasi di BEI pada Senin (29/7/2019) malam, menyebutkan perseroan menyampaikan informasi kepada para pemegang saham terkait pemberian Notifikasi Delisting dari Singapore Exchange Limited (SGX).
"Perseroan belum menyampaikan permohonan pembukaan kembali perdagangan saham kepada SGX pada periode tersebut dikarenakan perseroan masih dalam proses PKPU [penundaan kewajiban pembayaran utang] dan di samping itu perseroan belum mendapat persetujuan dari BEI atas pembukaan kembali perdagangan saham [suspensi," tulis manajemen BLTA.
Sebelumnya, dikutip CNN Indonesia, Kementerian BUMN juga meninjau kembali bentuk konglomerasi BUMN, setelah anak dan cucu usaha BUMN 'disentil' Presiden Joko Widodo (Jokowi) lantaran memiliki bisnis yang tak berkaitan dengan induknya. Bahkan Presiden Jokowi pada Oktober 2017 bahkan menegaskan agar BUMN menjual atau menggabungkan (merger) anak dan cucu usahanya yang tidak sesuai dengan inti bisnis induk usahanya.
Saat ini menurut dia, jumlah BUMN mencapai sekitar 118 perusahaan. Namun, anak dan cucu usahanya hampir mencapai 800 perusahaan. Perusahaan-perusahaan tersebut menurut dia, sudah ada jauh sebelum pemerintahannya. "Yang buat anak cucu BUMN kan bukan saya, sudah ada dari dulu. Dijual saja anak (usahanya), kalau tidak di-merger," ungkap dia, dikutip CNN Indonesia, Selasa (3/10/2017).
Dalam kesempatan terpisah, Vice President Research PT Artha Sekuritas Frederik Rasali menambahkan dengan tekanan yang ada baik eksternal global dan dalam negeri, saham-saham sektor pelayaran memang berisiko tinggi. Pasalnya emiten pelayaran sangat rentan terdampak dari gejolak harga komoditas.
"Investasi di sektor ini risikonya lebih tinggi karena eksposurnya ke industri komoditas," ungkap Frederik, Senin (29/7/2019).
Hanya saja yang menarik, kendati muncul polemik Swasta vs BUMN di pelayaran, Tim Riset CNBC Indonesia, mencatat meski kinerja laba bersih mayoritas emiten pelayaran tertekan, namun pemasukan dari proyek kerja sama dengan perusahaan milik pemerintah atau BUMN, seperti PT Pertamina (Persero) masih meningkat.
Sebagai contoh, sepanjang kuartal I-2019, Humpuss Intermoda mencatat pemasukan dari Pertamina naik menjadi US$ 11,51 juta (Rp 163,93 miliar) dari US$ 9,1 juta (Rp 129,55 miliar) di kuartal I-2018.
Selain itu, PT Logindo Samudramakmur (LEAD) yang per Maret 2019 merugi Rp 49,73 miliar juga masih mencatatkan pertumbuhan pendapatan dari PT Pertamina Hulu Mahakam, yang sebelumnya sebesar US$ 2,38 juta (Rp 33,87 miliar) menjadi US$ 2,62 juta (Rp 37,29 miliar).
Di luar itu, pada awal Februari lalu, Pertamina juga menggandeng PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) I hingga IV untuk sinergi dalam pendistribusian energi. Sinergi ini juga sempat diperdebatkan ketika BUMN dengan core business berbeda mulai merangsek bersaing lebih dekat dengan sektor yang dijalani swasta.
"Dengan kerjasama ini distribusi energi di seluruh pelabuhan akan semakin efektif dan efisien," ujar Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati dalam siaran pers yang dilansir di laman Pertamina, 18 Januari 2019.
Di tengah persaingan ini, Frederik mengingatkan bahwa bisnis perkapalan adalah bisnis derivatif. "Jadi bila bisnis utamanya belum growing, maka bisnis pelayaran juga belum bisa berkibar, kecuali ambil pasar di luar Indonesia," kata Frederik menambahkan.
Simak suntikan vitamin bagi emiten pelayaran.
[Gambas:Video CNBC]
(tas) Next Article Dapat Utang Rp 2,5 T, Soechi Lines Buyback Obligasi Rp 1,9 T
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular