Bad Day! Masih Pagi, Rupiah Terlemah di Asia Rp 14.030/US$

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
30 July 2019 08:58
Bad Day! Masih Pagi, Rupiah Terlemah di Asia Rp 14.030/US$
Foto: Ilustrasi Rupiah dan Dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Dibuka flat di level Rp 14.015/dolar AS, rupiah berangsur-angsur bergerak ke zona depresiasi. Pada pukul 08:35 WIB, rupiah ditransaksikan melemah 0,11% di pasar spot ke level Rp 14.030/dolar AS. Jika depresiasi rupiah bertahan hingga akhir perdagangan, maka akan menjadi pelemahan ketiga secara beruntun.

Rupiah melemah kala mata uang negara-negara Asia lainnya ditransaksikan bervariasi melawan dolar AS, ada yang menguat, ada yang melemah, dan ada juga yang flat. Namun jika dibandingkan dengan yang sama-sama melemah, praktis depresiasi sebesar 0,11% yang dicatatkan rupiah menjadi yang terdalam.



Pasca kemarin (29/7/2019) berhasil menaklukan mata uang negara-negara Asia, kini bensin bagi dolar AS untuk menguat nampak sudah berkurang. Beberapa mata uang negara-negara Asia kini bisa menaklukan mata uang Negeri Paman Sam tersebut.

Bensin bagi dolar AS untuk menguat melawan beberapa mata uang negara Asia (termasuk rupiah) pada hari ini masih datang dari ekspektasi atas hasil pertemuan The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS yang akan digelar pada tanggal 30 dan 31 Juli waktu setempat.

Sekedar mengingatkan, probabilitas The Fed memangkas tingkat suku bunga acuan hingga 50 bps pada pekan ini sempat meroket ke atas 50%. Belum lama ini, John Williams selaku New York Federal Reserve President mengatakan bahwa The Fed perlu untuk "bertindak cepat" di tengah pelemahan ekonomi yang saat ini tengah terjadi, dilansir dari CNBC International.

"Lebih baik untuk mengambil langkah pencegahan ketimbang menunggu datangnya bencana," kata Williams.

Namun, pernyataan tersebut kemudian didinginkan oleh Federal Reserve Bank of New York yang menyebut bahwa pernyataan dari Williams tersebut bersifat akademis dan tidak mencerminkan arah kebijakan moneter dari bank sentral paling berpengaruh di dunia tersebut.

Kini, ekspektasi yang ada justru adalah The Fed hanya akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps. Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak fed fund futures per 29 Juli 2019, probabilitas bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps pada pertemuan pekan ini adalah sebesar 75%. Sementara itu, probabilitas tingkat suku bunga acuan dipangkas hingga 50 bps berada di level 25%.

Sebelumnya, Tim Riset CNBC Indonesia juga memproyeksikan bahwa tingkat suku bunga acuan hanya akan dipangkas sebesar 25 bps oleh The Fed dalam pertemuan pekan ini.


Kala The Fed tak agresif dalam memangkas tingkat suku bunga acuan, imbal hasil dari instrumen berpendapatan tetap di AS akan berada di level yang relatif tinggi. Akibatnya, aliran modal berlarian meninggalkan meninggalkan mata uang negara-negara Asia dan menyemut di dolar AS.
Dari dalam negeri, tekanan bagi rupiah datang dari rilis angka realisasi investasi oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang direncanakan pada pukul 10:30 WIB hari ini.

Bagi Indonesia, yang terpenting itu bukanlah penanaman modal dalam negeri (PMDN) atau domestic direct investment (DDI), melainkan penanaman modal asing (PMA) atau foreign direct investment (FDI). Pasalnya, dari total penanaman modal di tanah air, lebih dari 50% disumbang oleh PMA. Karena nilainya lebih besar, tentu pertumbuhan PMA yang signifikan akan lebih terasa bagi perekonomian ketimbang pertumbuhan PMDN.

Untuk diketahui, pertumbuhan PMA di era Joko Widodo (Jokowi) sangatlah mengecewakan. Pada tahun 2014, PMA tercatat tumbuh 13,54% jika dibandingkan dengan realisasi tahun 2013. Pada tahun 2015, pertumbuhannya sempat naik menjadi 19,22%.

Dalam dua tahun berikutnya (2016-2017), PMA hanya tumbuh di kisaran satu digit. Pada tahun 2018, PMA bahkan tercatat ambruk hingga 8,8%. Untuk periode kuartal I-2019, PMA kembali jatuh yakni sebesar 0,92% secara tahunan, jauh memburuk dibandingkan capaian periode kuartal I-2018 yakni pertumbuhan sebesar 12,27%.

 
Jika PMA masih saja lesu, bisa dikatakan bahwa prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia tidaklah kinclong. Pada akhirnya, secara fundamental rupiah tak akan menarik bagi pelaku pasar.

Selain itu, kala PMA masih saja lesu, suplai dolar AS di dalam negeri juga akan relatif rendah sehingga membuat nilainya menjadi mahal (dolar AS menguat dan rupiah melemah).

Guna mengantisipasi rilis angka realisasi investasi oleh BKPM, terutama PMA, pelaku pasar melego mata uang Garuda.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular