Dolar Tembus Rp 14.000 (Lagi), Rupiah Terlemah Sejak 11 Juli

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
29 July 2019 16:06
Dolar Tembus Rp 14.000 (Lagi), Rupiah Terlemah Sejak 11 Juli
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup melemah di perdagangan pasar spot hari ini. Rupiah yang dibuka menguat langsung tergelincir ke zona merah, dan bertahan di sana hingga tutup lapak. 

Pada Senin (29/7/2019), US$ 1 dihargai Rp 14.015 kala penutupan pasar spot. Rupiah melemah 0,11% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu, dan menyentuh posisi terlemah sejak 11 Juli. 

Padahal rupiah memulai perdagangan dengan baik, menguat 0,06%. Namun itu fana belaka, karena dalam hitungan menit rupiah langsung melemah. Mata uang Tanah Air terus melemah, dan dolar AS agak nyaman di kisaran Rp 14.000. 

Berikut perjalanan kurs dolar AS terhadap rupiah sepanjang hari ini: 

 

Namun rupiah tidak sendirian di zona merah. Mayoritas mata uang utama Asia juga melemah, tinggal menyisakan yen Jepang, dolar Hong Kong, rupee India, dan peso Filipina yang masih mampu terapresiasi di hadapan dolar AS. 

Pagi tadi, rupiah sempat menjadi mata uang terlemah di Asia. Namun sore ini tidak lagi, karena pelemahan para tetangganya ternyata lebih dalam. 

Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 16: WIB: 





(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Faktor eksternal dan domestik mempengaruhi gerak rupiah hari ini. Dari dalam negeri, setidaknya ada dua alasan pelemahan rupiah. 

Pertama, rupiah memang sudah 'kebangetan' , penguatannya agak terlalu kuat. Sejak awal tahun, rupiah menguat hingga 2,7% di hadapan dolar AS. Rupiah menjadi mata uang terbaik kedua di Asia, hanya kalah dari baht Thailand. 

 

Oleh karena itu, bayang-bayang ambil untung (profit taking) akan selalu meghantui langkah rupiah. Apresiasi yang sudah begitu tajam tentu mengundang minat investor untuk mencairkan keuntungan sehingga rupiah rentan mengalami tekanan jual. 


Kedua, ini adalah jelang akhir bulan. Kebutuhan valas korporasi sedang tinggi untuk pembayaran utang, impor, dan sebagainya. Siklus seperti ini memang kerap membuat rupiah tertekan. 

Sedangkan dari sisi eksternal, rupiah (dan mata uang Asia lainnya) menjadi korban kegalauan investor yang tengah menanti rapat bulanan komite pengambil kebijakan Bank Sentral AS The Federal Reserves/The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC). Pelaku pasar dibuat bingung akibat rilis data terbaru di Negeri Paman Sam. 

Akhir pekan lalu, US Bureau of Economic Analysis mengumumkan angka pembacaan awal pertumbuhan ekonomi AS periode kuartal II-2019 sebesar 2,1% secara kuartalan yang disetahunkan (quarterly annualized). Di satu sisi, angka ini menunjukkan perlambatan yang signifikan dibandingkan kuartal sebelumnya yang masih mampu tumbuh 3,1%. 

Jika ini yang dilihat, maka tentu kemungkinan besar suku bunga acuan bisa turun 50 basis poin (bps). Lumayan agresif, karena perekonomian AS sudah butuh solusi cepat untuk mendongrak pertumbuhan. Kalau ini sampai terjadi, maka tentu dolar AS bakal dirugikan. 

Akan tetapi di sisi lain, angka pertumbuhan ekonomi 2,1% lebih baik dibandingkan ekspektasi pasar. Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan ekonomi AS tumbuh 1,8%. 

Oleh karena itu, sebenarnya ekonomi AS masih bergeliat. Masih tumbuh di atas ekspektasi.  

Apabila faktor ini dihitung, maka penurunan suku bunga acuan 25 bps mungkin sudah cukup. Tidak perlu terlampau agresif. Ini akan menjadi sentimen positif bagi dolar AS.

Tidak heran investor bimbang, karena baik penurunan 25 bps maupun 50 bps sama-sama punya alasan kuat. Kebimbangan ini dituangkan dalam bentuk memasang mode bermain aman, jauh-jauh dulu dari instrumen berisiko di negara berkembang, termasuk Indonesia.  




TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular