
Dolar Tembus Rp 14.000 (Lagi), Rupiah Terlemah Sejak 11 Juli
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
29 July 2019 16:06

Faktor eksternal dan domestik mempengaruhi gerak rupiah hari ini. Dari dalam negeri, setidaknya ada dua alasan pelemahan rupiah.
Pertama, rupiah memang sudah 'kebangetan' , penguatannya agak terlalu kuat. Sejak awal tahun, rupiah menguat hingga 2,7% di hadapan dolar AS. Rupiah menjadi mata uang terbaik kedua di Asia, hanya kalah dari baht Thailand.
Oleh karena itu, bayang-bayang ambil untung (profit taking) akan selalu meghantui langkah rupiah. Apresiasi yang sudah begitu tajam tentu mengundang minat investor untuk mencairkan keuntungan sehingga rupiah rentan mengalami tekanan jual.
Kedua, ini adalah jelang akhir bulan. Kebutuhan valas korporasi sedang tinggi untuk pembayaran utang, impor, dan sebagainya. Siklus seperti ini memang kerap membuat rupiah tertekan.
Sedangkan dari sisi eksternal, rupiah (dan mata uang Asia lainnya) menjadi korban kegalauan investor yang tengah menanti rapat bulanan komite pengambil kebijakan Bank Sentral AS The Federal Reserves/The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC). Pelaku pasar dibuat bingung akibat rilis data terbaru di Negeri Paman Sam.
Akhir pekan lalu, US Bureau of Economic Analysis mengumumkan angka pembacaan awal pertumbuhan ekonomi AS periode kuartal II-2019 sebesar 2,1% secara kuartalan yang disetahunkan (quarterly annualized). Di satu sisi, angka ini menunjukkan perlambatan yang signifikan dibandingkan kuartal sebelumnya yang masih mampu tumbuh 3,1%.
Jika ini yang dilihat, maka tentu kemungkinan besar suku bunga acuan bisa turun 50 basis poin (bps). Lumayan agresif, karena perekonomian AS sudah butuh solusi cepat untuk mendongrak pertumbuhan. Kalau ini sampai terjadi, maka tentu dolar AS bakal dirugikan.
Akan tetapi di sisi lain, angka pertumbuhan ekonomi 2,1% lebih baik dibandingkan ekspektasi pasar. Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan ekonomi AS tumbuh 1,8%.
Oleh karena itu, sebenarnya ekonomi AS masih bergeliat. Masih tumbuh di atas ekspektasi.
Apabila faktor ini dihitung, maka penurunan suku bunga acuan 25 bps mungkin sudah cukup. Tidak perlu terlampau agresif. Ini akan menjadi sentimen positif bagi dolar AS.
Tidak heran investor bimbang, karena baik penurunan 25 bps maupun 50 bps sama-sama punya alasan kuat. Kebimbangan ini dituangkan dalam bentuk memasang mode bermain aman, jauh-jauh dulu dari instrumen berisiko di negara berkembang, termasuk Indonesia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pertama, rupiah memang sudah 'kebangetan' , penguatannya agak terlalu kuat. Sejak awal tahun, rupiah menguat hingga 2,7% di hadapan dolar AS. Rupiah menjadi mata uang terbaik kedua di Asia, hanya kalah dari baht Thailand.
Kedua, ini adalah jelang akhir bulan. Kebutuhan valas korporasi sedang tinggi untuk pembayaran utang, impor, dan sebagainya. Siklus seperti ini memang kerap membuat rupiah tertekan.
Sedangkan dari sisi eksternal, rupiah (dan mata uang Asia lainnya) menjadi korban kegalauan investor yang tengah menanti rapat bulanan komite pengambil kebijakan Bank Sentral AS The Federal Reserves/The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC). Pelaku pasar dibuat bingung akibat rilis data terbaru di Negeri Paman Sam.
Akhir pekan lalu, US Bureau of Economic Analysis mengumumkan angka pembacaan awal pertumbuhan ekonomi AS periode kuartal II-2019 sebesar 2,1% secara kuartalan yang disetahunkan (quarterly annualized). Di satu sisi, angka ini menunjukkan perlambatan yang signifikan dibandingkan kuartal sebelumnya yang masih mampu tumbuh 3,1%.
Jika ini yang dilihat, maka tentu kemungkinan besar suku bunga acuan bisa turun 50 basis poin (bps). Lumayan agresif, karena perekonomian AS sudah butuh solusi cepat untuk mendongrak pertumbuhan. Kalau ini sampai terjadi, maka tentu dolar AS bakal dirugikan.
Akan tetapi di sisi lain, angka pertumbuhan ekonomi 2,1% lebih baik dibandingkan ekspektasi pasar. Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan ekonomi AS tumbuh 1,8%.
Oleh karena itu, sebenarnya ekonomi AS masih bergeliat. Masih tumbuh di atas ekspektasi.
Apabila faktor ini dihitung, maka penurunan suku bunga acuan 25 bps mungkin sudah cukup. Tidak perlu terlampau agresif. Ini akan menjadi sentimen positif bagi dolar AS.
Tidak heran investor bimbang, karena baik penurunan 25 bps maupun 50 bps sama-sama punya alasan kuat. Kebimbangan ini dituangkan dalam bentuk memasang mode bermain aman, jauh-jauh dulu dari instrumen berisiko di negara berkembang, termasuk Indonesia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular