Mengejutkan! Ini Pandangan Komisaris Selain Roy Soal KRAS

Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
26 July 2019 16:53
Rupanya pandangan serupa juga disampaikan komisaris perseroan yang lainnya, Ridwan Djamaluddin
Foto: Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) (CNBC Indonesia/Anastasia Arvirianty)
Jakarta, CNBC Indonesia - Komisaris Independen PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) Roy Maningkas menjelaskan salah satu alasan mundur dari jabatannya karena proyek blast furnace tidak layak lagi diteruskan. Rupanya komisaris lain perseroan Ridwan Djamaluddin juga punya pandang soal proyek blast furnace.

Ridwan yang juga menjabat sebagai Deputi III Bidang Koordinasi Infrastruktur Kemenko Bidang Kemaritiman menyebutkan, setelah proyek diujicobakan kalau ternyata malah merugikan, maka akan dilakukan kajian lagi untuk tindak lanjut berikutnya.

"Itu yang nanti akan ada kajiannya, tindak lanjutnya seperti apa. Itu yang justru jadi perhatian komisaris sebagai antisipasi setelah uji coba. Nanti ada beberapa opsi yang disiapkan untuk eliminir (kalau benar merugikan dan disetop). Ada kajiannya, lagi disiapkan," pungkas Ridwan.


Sebelumnya, Roy menjelaskan pengunduran dirinya didasari oleh pengujian blast furnace dipaksakan untuk selesai dalam dua bulan agar dapat diterima Krakatau Steel. Padahal begitu banyak item yang harus diuji keandalan dan keamanan, tidak mungkin hanya diuji dalam dua bulan. Sementara dalam kontrak minimal enam bulan pengujian.

Persiapan operasi Project Blast Furnace (proyek yang akan menghasilkan hot metal) Krakatau Steel dimulai sejak 2011. Saat ini sedang dimulai beroperasi, dan Krakatau Steel sudah mengeluarkan uang sekitar US$ 714 juta atau setara Rp 10 triliun. Terjadi over-run atau membengkak Rp 3 triliun, dari rencana semula Rp 7 triliun.

Roy juga menilai Kementerian BUMN, kementerian yang menugaskan dirinya di KRAS, justru merasa kurang nyaman dengan pernyataannya terkait kondisi perusahaan.

"Kementerian BUMN seolah-olah tidak happy, padahal saya ditugaskan Kementerian BUMN untuk mengawasi perusahaan. Loh ini ada yang enggak beres, tapi malah apa yang saya sampaikan mereka (BUMN) tidak nyaman," tegas Roy.

"Surat saya juga dijawab pakai WhatsApp, saya rasa enggak etis seperti itu," kata Roy yang juga kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), yang juga Anggota Barisan Relawan Jokowi Presiden ini.


Berdasarkan laporan keuangan KRAS 2018, tercatat utang mencapai US$ 2,49 miliar atau sekitar Rp 35 triliun (asumsi kurs Rp 14.000/US$), naik 10,45% dibandingkan 2017 sebesar US$ 2,26 miliar.

Utang jangka pendek yang harus dibayarkan oleh perusahaan mencapai US$ 1,59 miliar, naik 17,38% dibandingkan 2017 senilai US$ 1,36 miliar. Jumlah ini jauh lebih besar dibandingkan utang jangka panjang sebesar US$ 899,43 juta.

Roy menegaskan persoalan perusahaan saat ini di bawah kendali Silmy Karim sebagai Direktur Utama KRAS ialah bagaimana memperbaiki ke depan dan tidak menambah masalah baru.

"Jadi KS ini jadi seperti bonsai, ada kepentingan yang bermain."

Menanggapi pernyataan Roy, Direktur Utama KRAS Silmy Karim yang mulai memimpin BUMN baja tersebut pada September 2018 menegaskan bahwa ketika dia pertama kali masuk, banyak persoalan melingkupi Krakatau Steel.

Persoalan-persoalan tersebut kemudian difilter dan dicari solusi terbaik untuk mengatasinya, salah satunya Proyek Blast Furnace.

"Sebenarnya proyek ini dicanangkan 10 tahun lalu, harusnya sudah jadi tahun 2015. Ketika saya masuk [September 2018], saya paksa proyek itu selesai, itu tugas kita [manajemen baru], terus otomatis proyek itu selesai. Setelah itu ya harus test, dengan test itu kita tahu bener atau tidak proyek itu," kata Silmy dalam talkshow Closing Bell di CNBC Indonesia, Rabu (24/7/2019).


Dia menegaskan, dengan adanya performance test itu akan kelihatan apakah tujuan proyek tersebut sudah sesuai dengan feasibility study (FS/studi kelayakan) atau tidak.

Menurut dia, alangkah lebih baik jika yang membuktikan ketidaklayakan proyek itu dari hasil tes dilakukan oleh pihak ketiga. Dengan begitu bisa ditarik justifikasi apakah memang benar proyek itu dilanjutkan atau ada opsi untuk menyetop proyek itu.

"Buat kita manajemen baru tak ada beban masa lalu di KRAS, dilanjutkan atau disetop proyek ini adalah bagian dari suatu proses, yang terpenting proyek ini selesai," tegas mantan CEO Barata Indonesia ini.

"Kalau mangkrak [proyek Blast Furnace] akan lebih parah, mengenai tiga bulan operasi atau satu tahun operasi, itu berdasarkan pengujian tes, realibilty-nya bagaimana. Udah gitu oh ternyata mahal tak sesuai FS, karena naiknya harga gas, lalu investasi membengkak, lalu dicari solusinya, setop atau dikasi penambahan sistem, karena ini masih sistem lama," lanjut Silmy.
(hoi) Next Article KRAS Raih Pendapatan US$ 689,8 Juta di Kuartal I 2023

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular