
Waduh! Likuiditas Perbankan Ketat, Benarkah?
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
23 July 2019 14:34

Namun, pelaku pasar keuangan sekaligus pelaku industri perbankan harus berhati-hati. Pasalnya, permasalahan ketatnya likuiditas yang dihadapi industri perbankan tanah air bisa terus berlanjut untuk beberapa waktu ke depan.
Masalah serius yang mengancam masa depan likuiditas perbankan datang dari shortfall penerimaan negara. Shortfall merupakan kondisi di mana realisasi penerimaan negara lebih rendah dibandingkan dengan target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP).
Berdasarkan publikasi APBN KITA (Kinerja dan Fakta) edisi Juli 2019 yang diterbitkan oleh Kementerian Keuangan, per semester I-2019 realisasi penerimaan negara adalah senilai Rp 898,8 triliun atau hanya setara dengan 41,5% dari target.
Jika ditilik lebih lanjut, diketahui bahwa penerimaan perpajakan hanya menyentuh angka Rp 688,9 triliun dalam enam bulan pertama tahun ini atau setara 38,6% dari target. Bagi Indonesia, penerimaan perpajakan sangatlah penting lantaran lebih dari 80% penerimaan negara ditargetkan datang dari penerimaan perpajakan.
Untuk diketahui, realisasi penerimaan negara dan penerimaan perpajakan periode semester I-2019 adalah lebih rendah ketimbang realisasi pada periode yang sama tahun lalu (semester I-2018). Pada semester I-2018, realisasi penerimaan negara dan penerimaan perpajakan adalah masing-masing 44% dan 40,4%.
Implikasi dari rendahnya penerimaan perpajakan (yang akan membuat penerimaan negara rendah) adalah pemerintah harus menerbitkan obligasi lebih besar dari target jika tak ingin belanjanya terpangkas.
Nah, penerbitan obligasi yang lebih besar ini sangat berpotensi membuat dana masyarakat tetap lari ke pasar obligasi. Apalagi, terlepas dari pergerakannya yang cenderung ke selatan dalam beberapa waktu terakhir, yield obligasi pemerintah Indonesia masih menarik jika disandingkan dengan inflasi.
Jika menggunakan angka inflasi tahunan periode teranyar (Juni 2019) yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat selisih (spread) sebesar 3,9% dengan yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun.
Memang, spread yang kini ditawarkan oleh obligsi pemerintah Indonesia cenderung lebih kecil ketimbang spread yang ditawarkan pada tahun-tahun sebelumnya. Namun perlu diingat, pada tahun 2019 Standard and Poor's (S&P) yang merupakan lembaga pemeringkat kenamaan dunia memutuskan untuk menaikkan peringkat surat utang jangka panjang Indonesia.
"S&P menaikkan peringkat pemerintah Indonesia ke BBB dengan alasan prospek pertumbuhan yang kuat dan kebijakan fiskal yang prudent," tulis S&P dalam keterangan resminya.
Hal ini mengimplikasikan bahwa risiko yang ditanggung investor kala memeluk obligasi terbitan pemerintah Indonesia adalah lebih rendah jika dibandingkan dengan sebelumnya atau kala peringkat belum dikerek naik ke level BBB. Risiko yang lebih rendah ini tentu bisa menjustifikasi spread yang lebih sempit yang kini ditawarkan oleh obligasi pemerintah Indonesia.
Jadi, walaupun ada kabar gembira yang datang dari pemangkasan tingkat suku bunga acuan, masalah berat bernama likuiditas yang kini dihadapi oleh industri perbankan tanah air belum tentu akan usai. Bisa jadi, dalam bulan-bulan mendatang justru likudiitas akan mengetat.
TIM RISET CNBC INDONESIA (ank/hps)
Masalah serius yang mengancam masa depan likuiditas perbankan datang dari shortfall penerimaan negara. Shortfall merupakan kondisi di mana realisasi penerimaan negara lebih rendah dibandingkan dengan target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP).
Berdasarkan publikasi APBN KITA (Kinerja dan Fakta) edisi Juli 2019 yang diterbitkan oleh Kementerian Keuangan, per semester I-2019 realisasi penerimaan negara adalah senilai Rp 898,8 triliun atau hanya setara dengan 41,5% dari target.
Untuk diketahui, realisasi penerimaan negara dan penerimaan perpajakan periode semester I-2019 adalah lebih rendah ketimbang realisasi pada periode yang sama tahun lalu (semester I-2018). Pada semester I-2018, realisasi penerimaan negara dan penerimaan perpajakan adalah masing-masing 44% dan 40,4%.
Implikasi dari rendahnya penerimaan perpajakan (yang akan membuat penerimaan negara rendah) adalah pemerintah harus menerbitkan obligasi lebih besar dari target jika tak ingin belanjanya terpangkas.
Nah, penerbitan obligasi yang lebih besar ini sangat berpotensi membuat dana masyarakat tetap lari ke pasar obligasi. Apalagi, terlepas dari pergerakannya yang cenderung ke selatan dalam beberapa waktu terakhir, yield obligasi pemerintah Indonesia masih menarik jika disandingkan dengan inflasi.
Jika menggunakan angka inflasi tahunan periode teranyar (Juni 2019) yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat selisih (spread) sebesar 3,9% dengan yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun.
Memang, spread yang kini ditawarkan oleh obligsi pemerintah Indonesia cenderung lebih kecil ketimbang spread yang ditawarkan pada tahun-tahun sebelumnya. Namun perlu diingat, pada tahun 2019 Standard and Poor's (S&P) yang merupakan lembaga pemeringkat kenamaan dunia memutuskan untuk menaikkan peringkat surat utang jangka panjang Indonesia.
"S&P menaikkan peringkat pemerintah Indonesia ke BBB dengan alasan prospek pertumbuhan yang kuat dan kebijakan fiskal yang prudent," tulis S&P dalam keterangan resminya.
Hal ini mengimplikasikan bahwa risiko yang ditanggung investor kala memeluk obligasi terbitan pemerintah Indonesia adalah lebih rendah jika dibandingkan dengan sebelumnya atau kala peringkat belum dikerek naik ke level BBB. Risiko yang lebih rendah ini tentu bisa menjustifikasi spread yang lebih sempit yang kini ditawarkan oleh obligasi pemerintah Indonesia.
Jadi, walaupun ada kabar gembira yang datang dari pemangkasan tingkat suku bunga acuan, masalah berat bernama likuiditas yang kini dihadapi oleh industri perbankan tanah air belum tentu akan usai. Bisa jadi, dalam bulan-bulan mendatang justru likudiitas akan mengetat.
TIM RISET CNBC INDONESIA (ank/hps)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular