Utang Pemerintah Rp 4.570 T, Dipakai Buat Apa Sih?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
17 July 2019 11:53
Utang Pemerintah Rp 4.570 T, Dipakai Buat Apa <i>Sih</i>?
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Kalau melihat nominal utang pemerintah, maka mungkin angkanya bisa membuat mata terbelalak. Per akhir Juni 2019, jumlah utang pemerintah adalah Rp 4.570,17 triliun. Wow. 

Bukan cuma besar, jumlah utang pun terus meningkat. Pada 2014, kala pemerintahan beralih dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke Joko Widodo (Jokowi), jumlah utang pemerintah 'hanya' Rp 2,608.78 triliun. Hingga akhir 2018, pertumbuhan utang rata-rata per tahun adalah 13,29%. 



Secara rasio terhadap Produk Domestik Brut0 (PDB), utang pemerintah memang berada di kisaran 30%. Jauh dari batas atas 60% PDB seperti yang diamanatkan UU Keuangan Negara. Namun tetap saja secara nominal jumlahnya besar dan menjadi beban bagi anggaran negara.

Sayang kalau utang itu tidak dipakai untuk sesuatu yang produktif, yang bisa menggerakkan perekonomian, yang mampu menjamin kesejahteraan rakyat.
 Namun agak sulit untuk mengetahui sebenarnya utang itu dipakai untuk apa. Sebab uang dari utang yang dipakai untuk membiayai belanja negara dijadikan satu gelondongan (bulk) dengan penerimaan dalam negeri, baik itu perpajakan atau Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Jadi memang agak sulit mendeteksi, kecuali kalau utang memang khusus ditarik untuk pembiayaan suatu proyek. Namun yang seperti ini jumlahnya tidak banyak.
 

Oleh karena itu, yang bisa dilakukan adalah melihat belanja secara keseluruhan. Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), ada delapan pos belanja pemerintah yaitu belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, pembayaran bunga utang, subsidi, hibah, belanja bantuan sosial (bansos), dan belanja lain-lain. Kira-kira pos mana yang tumbuh di atas pertumbuhan penarikan utang? 

Kalau belanja modal menjadi pos dengan pertumbuhan tertinggi, maka boleh diklaim bahwa penarikan utang tidak sia-sia karena digunakan untuk pembangunan, misalnya infrastruktur. Ini bisa menjadi modal untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi. 

Namun kalau yang tumbuh tinggi justru belanja barang atau pegawai, maka boleh dibilang tidak tepat jika utang terpakai untuk sesuatu yang produktif. Belanja barang dan pegawai memang menggerakkan konsumsi, tetapi itu temporer belaka. One shot, sekali pakai dan selesai. Tidak ada efek bola salju. 

Apalagi kalau ternyata pertumbuhan belanja subsidi dan pembayaran bunga utang menjadi yang paling tinggi. Kalau ini yang terjadi, APBN akan lebih bersifat konsumtif, bukan produktif seperti keinginan Presiden Jokowi. 

Baca:
Jokowi Pastikan, Periode Kedua APBN Harus Tepat Sasaran

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Mari kita lihat pertumbuhan belanja di masing-masing pos tersebut. Namun kita sepakati dulu, belanja hibah dan belanja lain-lain kita kesampingkan saja ya. Sebab jumlahnya tidak terlampau signifikan, kawan...

Untuk belanja pegawai, rata-rata pertumbuhan setiap tahunnya selama 2014-2018 adalah 9,45%. Masih di bawah pertumbuhan utang.  

Jadi kalau ada yang bilang penarikan utang hanya untuk membiayai gaji pegawai negeri, pemerintah boleh menegaskan bahwa itu salah. Belanja pegawai memang naik, tetapi lajunya terkendali dan di bawah pertumbuhan utang. 




Kemudian belanja barang. Sepanjang 2018, rata-rata pertumbuhan belanja barang adalah 15,78% per tahun. 

Seperti belanja pegawai, laju pertumbuhan belanja barang juga di bawah kenaikan utang. Namun lajunya lumayan cepat, ini yang perlu menjadi catatan. Jika pertumbuhan belanja barang menjadi yang tertinggi, maka bisa jadi APBN banyak terpakai untuk hal-hal rutin seperti pembelian alat tulis kantor, perjalanan dinas, dan sejenisnya.



Lantas bagaimana dengan belanja modal? Ternyata kok ngenes ya... Selama 2014-2018, rata-rata pertumbuhan belanja modal hanya 3,54%.  

Laju pertumbuhan belanja modal juga bak roller coaster. Pada 2015, belanja modal tumbuh tinggi 46,2%. Namun setahun sesudahnya turun 21,33%. 

Jadi apakah bisa dibilang penarikan utang digunakan untuk belanja produktif? Ummm, bagaimana ya...  



(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Kemudian untuk pembayaran bunga utang. Rata-rata pertumbuhan pembayaran bunga utang sepanjang 2014-2018 adalah 1,85%. Juga jauh lebih kecil dari pertumbuhan utang.

Namun perlu dicatat bahwa laju ini disebabkan anjloknya pembayaran pada 2014. Selepas 2014, sebenarnya pembayaran bunga utang tumbuh dalam laju yang lumayan kencang, sekitar 17% per tahun.




Lalu subsidi. Dalam hal ini sudah oke, karena rata-rata pertumbuhan belanja subsidi adalah -4,53%.

Sedikit demi sedikit porsi subsidi dalam APBN berkurang, sehingga ada kapasitas fiskal untuk belanja yang lebih produktif. 




Sementara untuk belanja bansos, sepanjang 2014-2018 laju pertumbuhannya hanya 4,1%. Lagi-lagi di sisi ini APBN sudah lebih produktif. 

Jadi, klaim bahwa utang digunakan untuk belanja produktif sepertinya perlu dikaji kembali. Sebab walau subsidi berkurang dan bansos tumbuh minimal, tetapi pertumbuhan belanja modal jauh di bawah pertumbuhan penarikan utang baru.

Ternyata pertumbuhan tertinggi dialami oleh belanja barang, hampir mendekati pertumbuhan utang. Apakah ternyata utang banyak terpakai untuk membiayai operasional pemerintah? Apakah utang hanya dipakai untuk membeli alat tulis kantor, perjalanan dinas pegawai negeri, dan semacamnya?

Silakan simpulkan sendiri...


TIM RISET CNBC INDONESIA

(aji/dru) Next Article Mengintip Kejelian Strategi Penerbitan Obligasi Pemerintah

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular